SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0060) SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT


BAB II 
URGENSI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT


A. Defenisi Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie ini mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah:
"Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah."
Agunan dalam konteks ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur kepada bank. Unsur-unsur agunan ini meliputi:
1. Jaminan tambahan;
2. diserahkan oleh debitur kapada bank;
3. untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.8
Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga dalam pelaksanaannya bank hams memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang hams diperhatikan oleh bank.9
Untuk memperoleh keyakinan dalam pemberian kredit kepada debitur, maka sebelum memberikan kredit bank hams melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Karena agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka jika berdasarkan unsur-unsur lain dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat bempa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Dengan demikian, jaminan tersebut dapat berarti material maupun immaterial. Hal ini diperkuat dengan melihat ketentuan pasal 1131 KUHPerdata yang menentukan bahwa segala kebendaan pihak yang bemtang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang bam akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) asas pemberian jaminan jika ditinjau dari sifatnya, yakni:
1. Jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan debitur kepada setiap kreditur, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur yang
lainnya. 2. Jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur
kepada kreditur, hak-hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga
ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).
Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur memiliki suatu kepentingan bahwa debitur harus memiliki kewajibannya dalam suatu perikatan. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa:
a. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan
maupun hak perorangan. Hak kebendaan ini berupa benda berwujud dan
benda tak berwujud, benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Sedangkan hak perorangan adalah penanggungan utang, yang diatur dalam
pasal 1820-1850 KUHPerdata.
b. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur
sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau
penanggung. Jaminan perorangan atau penanggungan utang selalu diberikan
oleh pihak ketiga kepada kreditur. Penanggungan tersebut diberikan baik
dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan.
c. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, untuk keamanan dan
kepentingan kreditur, haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus,
Yessy Susanna Tarigan : Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, 2008. USU Repository © 2009

perikatan tersebut bersifat accesoir dari Perjanjian Kredit atau Pengakuan
Utang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.10
Pentingnya keberadaan jaminan dalam pemberian kredit oleh bank ini tidak lain adalah suatu upaya dalam mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.
Adapun dalam pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 2001 tentang Jaminan Pemberian Kredit, menyebutkan pengertian jaminan dalam pemberian kredit yakni keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.11 Dengan demikian jaminan kredit itu merupakan hak dan kekuasaan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur/bank guna menjamin pelunasan utangnya apabila kredit yang diterimanya tidak dapat dilunasi sesuai waktu sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit.12
B. Jenis-Jenis Jaminan
Dalam praktik perbankan khususnya dalam pemberian kredit, pada umumnya jenis-jenis jaminan terdiri dari: 1. Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan {Personal Guarantee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).
Namun saat ini, bukan saja jaminan perorangan yang dikenal tetapi bank sudah sering menerima jaminan serupa yang diberikan oleh perusahaan yang dikenal dengan istilah Corporate Guarantee.
Adapun jaminan ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang pengaturannya dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 (termasuk pula pasal 1316).
Pada pasal 1820 KUHPerdata memberikan pengertian penanggungan utang sebagai suatu persetujuan dengan mana seseorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan unsur-unsur dalam suatu penanggungan utang, yaitu:
a. Adanya hubungan utang piutang (antara si berutang dengan si berpiutang);
b. Disepakatinya persetujuan penanggungan utang dengan masuknya pihak
ketiga (penanggung) dalam hubungan hukum tersebut diatas;
c. Masuknya pihak ketiga dinyatakan dalam suatu persetujuan yang berisi
kesanggupan penanggung untuk memenuhi perikatan debitur jika ia
melakukan wanprestasi.
Demi kepentingan bank, apabila penanggungan utang ini diterima sebagai jaminan atas kredit yang akan dilepasnya, agar terhindar dari berbagai resiko yang merugikan dan tidak diinginkan maka bank haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Perjanjian penanggungan utang adalah perjanjian accesoir, artinya hams
ada perjanjian utang piutang yang diikutinya. Sebagaimana diatur dalam
pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa tiada
penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dalam hal ini
sekaligus berarti kualitas dari perjanjian utang piutang haruslah benar-
benar sempurna tanpa cacat sedikitpun, karena cacatnya perjanjian utang
piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya pula penanggungan utang
sebagai perjanjian accesoir.
b. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Personal Guarantee, atau
dengan kata lain penaggung utang (guarantor)- nya adalah perorangan,
maka diperlukan persetujuan istri (atau bantuan suami) dalam melakukan
perjanjian penanggungan utang tersebut. Filosofinya terletak pada pasal
1826 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan papra
penanggung berpindah kepada ahli warisnya.
c. Apabila penanggungan utang tersebut adalah Corporate Guarantee, atau
dengan kata lain penanggung utang (guarantor)-nya adalah perusahaan
(biasanya Perseroan Terbatas), maka yang pertama-tama harus
diperhatikan dalah Anggaran Dasar/Akta Pendirian Perseroan, tentang
siapa-siapa yang berhak mewakili perseroan tersebut.
d. Dalam perjanjian penanggungan utang, hendaknya dimasukkan klausula
yang menyebutkan bahwa penanggung utang (guarantor) melepaskan hak- hak istimewanya yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga kreditur (bank) dapat juga menagih si penanggung tanpa adanya kewajiban menagih terlebih dahulu si berutang (debitur). Mengenai hal ini pengaturannya dimuat pada pasal 1831 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Sedangkan pada pasal 1832 antara lain menyebutkan pengecualiannya bahwa si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual.
e. Debitur tidak dibenarkan menjadi penanggung utang (guarantor), baik
berupa Personal Guarantee maupun Corporate Guarantee. Filosofinya,
bahwa debitur atau orang yang berutang, secara yuridis formal menjadikan
seluruh harta bendanya - baik yang sudah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari - menjadi jaminan atas utang-utangnya (pasal 1131
KUHPerdata).
f. Apabila diadakan tambahan kredit dan atau perpanjangan masa perjanjian
kredit atau utang piutang, yang dijamin oleh penanggungan utang, maka
haruslah dengan sepengetahuan dan persetujuan penanggung utang
(guarantor) yang bersangkutan. Filosofinya:
1. Bahwa setiap utang yang dijamin oleh guarantor, hams diketahui olehnya, sehingga tidak akan ada sangkalan mengenai adanya perubahan struktur kredit tersebut, karena ia pun ikut mengetahui dan
menyetujuinya;
2. Bahwa setiap perubahan perikatan pokoknya, maka secara yuridis formal perjanjian yang mengikutinya harus pula diubah sesuai dengan perikatan pokoknya;
3. Tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan utang hingga
melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu
mengadakannya (pasal 1824 KUHPerdata).
2. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan baik dari si debitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).
Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi atas 2 (dua), yaitu: jaminan dengan benda berwujud (material) dan jaminan dengan benda tidak berwujud (immaterial).
Benda berwujud, dapat berupa benda/barang bergerak dan atau barang tidak bergerak. Sedangkan benda tidak berwujud yang lazim diterima bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.
Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, dapat berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang, dan sebagainya yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, dapat berupa tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik keatas, dan Iain-lain termasuk mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah. Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak tersebut diatur dalam ketentuan pasal 506 sampai dengan pasal 518 KUHPerdata.13
Dalam skripsi ini akan lebih diutamakan jaminan kredit yaitu berupa barang tidak bergerak. a. Tanah dan Bangunan
Adanya kenyataan bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya bangunan di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka apabila bank akan menerima tanah sebagai jaminan kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut harus diminta pula sebagai jaminan atas kredit tersebut. Dalam prakteknya, benda-benda tersebut biasanya adalah bangunan, baik rumah maupun kantor yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang dibiayai.
Untuk menerima tanah sebagai jaminan kredit, haruslah dilihat jenis hak atas tanah tersebut. Pentingnya mengetahui jenis hak atas tanah yang akan dijaminkan tersebut, adalah agar dapat dinilai dengan benar serta dapat mengantisipasi resiko-resiko yang mungkin timbul dikemudian hari, apabila terjadi kemacetan atas kredit yang telah diberikan.
Jenis-jenis hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut meliputi:
1. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang daapt
dipunyai orang atas tanah, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain, serta dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial.
2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan dan diberikan atas tanah yang
luasnya paling sedikit 5 hektar serta dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun serta dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain.
4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal

Artikel Terkait

Previous
Next Post »