SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DELIK PEMALSUAN SURAT SERTIFIKAT TANAH

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0059) SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DELIK PEMALSUAN SURAT SERTIFIKAT TANAH


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Umum Terhadap Delik 1. Pengertian Delik
Dalam hukum pidana delik dikenal dalam beberapa istilah seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana. Menurut kamus hukum llham Gunawan (2002 : 75) bahwa :
Delik adalah perbuatan yang melanggar Undang-Undang pidana dan karena itu bertentangan dengan Undang-Undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Subekti (2005 : 35) delik adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam undang-undang sendiri dikenal beberapa istilah untuk delik seperti peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950), perbuatan pidana (Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil), perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat No.2 Tahun 1951 Tentang perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen, tindak pidana (Undang-Undang Darurat No.7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum). A.Zainal Abidin Farid (1987 : 33), menyatakan bahwa :
"Delik sebagai suatu perbuatan atau pengabdian yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan".
Lebih lanjut Moeljatno (Leden Marpaung, 2005 : 7),menyatakan :
"Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut".
Sedangkan E. Utrecht (Leden Marpaung, 2005 : 7) memakai istilah "Peristiwa Pidana" karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.
Simons (P.A.F. Lamintang, 1997 : 176), merumuskan Strafbaar feit adalah:
"Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum".
Menurut Rush Effendy (1986 : 46) bahwa :
"Dalam pemakain perkataan peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja maka hal ini dapat mempunyai arti lain umpamanya peristiwa alamiah."
Tongat membagi pengertian tindak pidana menjadi dua pandangan, pembagian ini didasarkan pada doktrin. Pandangan yang pertama adalah monitis. Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. para ahli yang menganut pandangan ini antara lain : Simons dan J. Bouman (Adami Chazawi, 2002 : 70).
J.Bouman (Adami Chazawi, 2002 : 104) berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
Pandangan yang kedua ,disebut dengan pandangan dualistik. Pandangan ini berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana hams dipisahkan. Salah satu ahli berpandangan dualistik adalah Moeljanto (Adami Chazawi, 2002 : 105) yang memberikan rumusan tindak pidana :
a. Adanya perbuatan manusia.
b. Perbuatan tersebut memenuhi rumusan dalam undang-undang.
c. Bersifat melawan.
2. Unsur Delik
Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik bila memenuhi unsur-unsur, (Lamintang, 1997 : 184) sebagai berikut:
1. Hams ada perbuatan manusia;
2. Perbuatan manusia tersebut hams sesuai dengan perumusan pasal dari undang-undang yang bersangkutan;
3. Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);
4. Dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara (Leden Marpaung, 2005 : 10) mengemukakan bahwa :
Unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:
1. Suatu tindakan;
2. Suatu akibat dan;
3. Keadaan (omstandigheid).
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :
1. Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid);
2. Kesalahan (schuld).
Menurut Moeljatno (Leden Marpaung, 2005 : 10), tiap-tiap perbuatan pidana hams terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang di timbulkan adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.

B. Pemalsuan Surat 1. Pengertian Pemalsuan Surat a. Pemalsuan
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan keterpercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang maju teratur tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.
Manusia telah diciptakan untuk hidup bermasyarakat, dalam suasana hidup bermasyarakat itulah ada perasaan saling ketergantungan satu sama lain. Di dalamnya terdapat tuntutan kebiasaan, aspirasi, norma, nilai kebutuhan dan sebagainya. Kesemuanya ini dapat berjalan sebagaimana mestinya jika ada keseimbangan pemahaman kondisi sosial tiap pribadi. Tetapi keseimbangan tersebut dapat goyah bilamana dalam masyarakat tersebut ancaman yang salah satunya berupa tindak kejahatan pemalsuan.
Menurut Adami Chazawi (2001 : 3) mengemukakan bahwa :
Pemalsuan surat adalah berupa kejahatan yang di dalam mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Menurut Topo Santoso (2001 : 77),mengemukakan bahwa:
Suatu perbuatan pemalsuan niat dapat dihukum apabila perkosa terhadap jaminan atau kepercayaan dalam hal mana :
1. Pelaku mempunyai niat atau maksud untuk mempergunakan suatu barang yang tidak benar dengan menggambarkan keadaan barang yang tidak benar itu seolah-olah asli, hingga orang lain percaya bahwa barang orang lain terperdaya.
2. Unsur niat atau maksud tidak perlu mengikuti unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain (sebaliknya dari berbagai jenis perbuatan penipuan)
3. Tetapi perbuatan tersebut hams menimbulkan suatu bahaya umum yang khusus dalam pemalsuan tulisan atau surat dan sebagainya dirumuskan dengan mensyaratkan "kemungkinan
kerugian" dihubungkan dengan sifat dari pada tulisan atau surat tersebut.
b. Surat
Surat adalah segala macam tulisan, baik yang ditulis dengan tangan maupun diketik atau yang dicetak dan menggunakan arti (makna). Meskipun KUHPidana tidak memberikan definisi secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan surat, tetapi dengan memperhatikan rumusan Pasal 263 (1) KUHPidana, maka dapatlah diketahui pengertian surat. Adapun rumusan Pasal 263 (1) KUHP menurut R. soesilo (1996 : 195) sebagai berikut:
Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, suatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan surat ialah sebagai berikut:
1. Yang dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda
masuk, surat andil, dll)
2. Yang dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat
perjanjian piutang, perjankjian sewa, perjanjian jual beli)
3. Yang dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (misalnya:
kwitansi atau surat semacam itu)
4. Yang dapat dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu
perbuatan atau peristiwa (misalnya: akte lahir, buku tabungan pos,
buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dll)
Dalam KUHPidana tersebut tidak dijelaskan apakah surat itu tertulis di atas kertas, kain atau batu, yang dijelaskan hanyalah macam tulisannya yaitu surat tersebut ditulis dengan tangan atau dicetak menggunakan mesin cetak. Tetapi dengan menyimak dari contoh-contoh yang dikemukakan oleh R.Soesilo (1996 : 195) di dalam KUHP, seperti:
Ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, surat perjanjian piutang, perjanjian sewa, perjanjian jual beli, kwitansi atau surat semacam itu, akte, ;lahir, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat dalam mempunyai tujuan yang dapat menimbulkan dan menghilangkan hak.
Menurut Lamintang (2009 : 9),mengemukakan bahwa:
Surat adalah sehelai kertas atau lebih di gunakan untuk mengadakan komunikasi secara tertulis. Adapun isi surat dapat berupa: Penyataan, keterangan, pemberitahuan, laporan, permintaan, sanggahan, tuntutan,gugatan dan lain sebagai.
c. Pemalsuan surat
Pemalsuan surat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mempunyai tujuan untuk meniru, menciptakan suatu benda yang sifatnya tidak asli lagi atau membuat suatu benda kehilangan keabsahannya. Sama halnya dengan membuat surat palsu, pemalsuan surat dapat terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat, juga pada tanda tangan pada si pembuat surat.
Menurut Soenarto Soerodibro (1994 : 154), mengemukakan bahwa, barangsiapa di bawah suatu tulisan mebubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu. Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat/ membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat,kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.
2. Unsur-unsur Pemalsuan Surat
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP, yang dapat dibedakan menjadi 7 macam kejahatan pemalsuan surat, yakni:
1. Pemalsuan surat pada umumnya ( Pasal 263 KUHP);
2. Pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 263 KUHP);
3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akte otentik (Pasal 266 KUHP):
4. Pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267, 268 KUHP);
5. Pemalsuan surat surat-surat tertentu (Pasal 269, 270, dan 271 KUHP);
6. Pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (Pasal 274 KUHP);
7. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (Pasal 275 KUHP);
Tindak pidana pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263, rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana, jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan
surat, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan
2. Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yg dipalsukan seolah-olah asli, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Menurut Adami Chazawi (2002 : 98-99) dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing di rumuskan pada ayat (1) dan (2). Rumusan pada ayat ke-1 terdiri dari unsur-unsur a. Unsur-unsur obyektif:
1. Perbuatan:
a. Membuat palsu;
b. Memalsu;
2. Obyeknya yakni surat:


Artikel Terkait

Previous
Next Post »