SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0061) SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA



BAB II
URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM
PIDANA DI INDONESIA


1. Latar Belakang Lahirnya Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek tindak pidana, merupakan dampak dari makin besarnya peranan korporasi dalam pembangunan, terutama dibidang ekonomi, perdagangan dan teknologi yang berlangsung di negeri ini. Perubahan demikian, tidak hanya perubahan mengenai modal usaha yang dijalankan secara perseorangan menjadi usaha bersama, tetapi juga perubahan orientasi nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha.9
Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalam perkembangan dan perubahan di bidang kegiatan sosial okonomi adalah penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam, manipulasi pajak, pengurasan sumber daya alam, manipulasi pajak, pencucian uang eksploitasi terhadap buruh, penipuan terhadap konsumen, dan lain-lain.10
Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu adalah sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk per soon) Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia.
Tahun 1984 terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian semacam itu akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, efek dari perusahaan itu dirasakan hingga 20 tahun.u
Tragedi bhopal hanyalah sebahagian kecil dari peristiwa dari kegiatan yang dilakukan oleh korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diidentifikasi disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT . Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaanya.12
Akibat semakin dirasakannya dampak negatif yang disebabkan oleh korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminilisir atau mencegah dampak tersebut salah satunya dengan menggunakan instrumen hukum pidana (bahagian dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi . Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bahagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar Crime sendiri diperkenalkan oleh pakar krimonologi yang terkenal yaitu Sutherland (1883-1950)
Dalam pidato bersejarahnya di Philadelphia pada 27 Desember 1939. semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.13
Pemikiran mengenai kejahatan korporasi, banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik ( tindak pidana) mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus). 14
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya perkembangan ekonomi dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senatiasa berganti kemasan Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kompleksitasnya. Di sisi, ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai saat ini pengaturannya masih menggundang tanda tanya. Akibatnya banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus ilegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Banyak penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan bahwa sebahagian besar masyarakat kurang mengenal kejahatan korporasi, sehingga mereka kurang menyedari bahaya yang ditimbulkan oleh korporasi. Hal ini disebabkan karateristik kejehatan ini memang sangat kompleks ditambah dengan lemahnya penegakan hukum serta lemahnya sanksi hukum dan sosial. Oleh berbagai pihak, kejahatan korporasi sering dikacaukan dengan berbagai macam istilah kejahatan, seperti occupational crime (kejahatan jabatan), professional crime (kejahatan profesi), organized crime (kejahatan terorganisasi) crime against corporation (kejahatan terhadap korporasi).15
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban atau criminal liability. Yang pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanngungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa dalam di dalam kitab-kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang di anggap sebagai subjek hukum pidana adalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.16
Di Belanda sebelum tahun 1976, yaitu pada tahun dimana ditetapkan dalam hukum pidana umum bahwa suatu badan hukum dapat melakukan tindak pidana, dan oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, tetapi pertumbuhan melalui tiga tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek tindak pidana.17
1. Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-uasaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon), sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus badan hukum tersebut . Dalam tahap ini berlaku asas "Universitas delinguere non potest ", yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban yang dijatuhkan disini hanya berkaitan dengan kewajiban memelihara (zorgplicht) yang dilakukan oleh pengurus. Misalnya mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 11 Armen Wet tahun 1854, dimana semua anggota pengurus suatu lembaga sosial yang tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan diancam dengan pidana denda. Kecuali anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan segala kewajibannya.
2. Tahap Kedua
Tahap ini bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh badan hukum, tetapi tanggungjawab tetap dibebankan pada pengurus badan hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut adalah : apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan pada pengurus. Jadi dalam hal ini orang bersikap bahwa seolah-olah badan hukum dapat melakukan tindak pidana tetap secara riel yang melakukan perbuatan adalah manusia sebagai wakil-wakilnya. Oleh karena itu tuntutan pidana tetap diajukan kepada pengurusnya. Contohnya ialah : "Telegraaf en Telefoon Wet tahun 1904, yang diberlakukan pada tahun 1928; dimana menurut undang-undang ini sekalipun badan hukum yang bertanggungjawab pidana ialah pengurus.18 3. Tahap Ketiga
Tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapat dipertanggungawabkan menurut hukum pidana di samping mereka yang sebagai pemberi perintah atau pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk "Ondering Strafrecht", yaitu keputusan pengendalian harga dari tahun 1941, kemudian dalam " Wet op de Economische Delicten” (Undang-undang tindak pidana ekonomi tahun 1950). Namun pembentukan Undang-undang yang tersebar ini telah berhenti sejak ditetapkannya Hukum Pidana Umum Belanda pada tahun 1976.19
Di Negara Indonesia sendiri, badan hukum dijadikan subjek hukum (tertulis) pidana mulai dikenal pada tahun 1951, yaitu terdapat pada undang-undang penimbunan Barang-barang, Undang-undang No. 17/ 1951, yang sekarang tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.8 tahun 1962., setelah itu mulai dikenal dengan luas pada tahun 1955, yaitu dengan keluarnya Undang-undang tindak Pidana ekonomi, Undang-undang No.7 / Drt /1955, dan Undang-undang Tindak Pidana Subversi, Undang-undang No 11/ PNPS/1963. Dengan demikian mulai pada tahun 1955 maka dalam bidang-bidang tertentu di luar KUHPidana (tindak pidana khusus) badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan oleh karena dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana.20
Dengan melihat sejarah perkembangannya dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan badan hukum itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama sekali disebabkan perkembangan di bidang perekonomian. Yang kedua adalah merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang memiliki aspek ganda, yaitu:
1. Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai dengan kebutuhan
untuk melayani masyarakat seirama dengan perkembangan masyarakat.
2. Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum untuk ikut dalam
mengadakan perubahan pada masa pembangunan.21
Mengenai penempatan badan hukum sebagai subjek hukum di dalam hukum pidana secara umum (dalam KUHP) sampai sekarang masih menjadi masalah, sehingga hal ini menimbulkan pro dan kontra.
Bagi pihak yang tidak menyetujui dimasukkannya badan hukum sebagai subjek didalam KUHP memberikan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Karena perbuatan yang menyangkut masalah tindak pidana yang sebenarnya
berbentuk kesengajaan dan atau kelalaian hanya terdapat pada manusia
(naturlijk per soon).
2. Bahwa tingkah laku materiel yang merupakan syarat dapat dipidananya
beberapa macam tindak pidana hanya dapat dilaksanakan oleh manusia
(misalnya mencuri, menganiaya, dan sebagainya).
3. Bahwa sanksi pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan terhadap badan hukum.
4. Menurut Bemmelen: Bahwa dalam prakteknya tidak mudah menentukan
norma-norma atas dasar apa yang apat diputuskan, apakah pengurus saja atau
badan hukum itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
5. Bahwa tuntutan terhadap dan pemidanaan dari korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa orang yang tidak bersalah, misalnya pemegang saham dan
para karyawan.
6. Sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaan dari suatu
perbuatan badan hukum.
Sedangkan bagi pihak yang menyetujui, memberikan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Menurut Saleh: Karena ternyata bahwa dipidananya pengurus saja tidak cukup
untuk mengadakan repressi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau
dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan
memidana korporasi dan pengurus saja.
2. Mengingat bahwa dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi
(badan hukum ) semakin memainkan peranan yang penting pula.
3. Tanpa pertanggungjawaban pidana dari korporasi (badan hukum) maka akan
terdapat kekosongan pemidanaan dalam hukum pidana, jika korporasi adalah
pemilik atau pemegang izin.
4. Menurut Muladi : Dipidananya suatu korporasi dengan ancaman pidana
adalah salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pidana terhadap para
pegawai korporasi (badan hukum) itu sendiri.


Artikel Terkait

Previous
Next Post »