PTK-PENERAPAN MODIFIKASI ALAT BANTU PEMBELAJARAN BOKORTASKO TERHADAP HASIL BELAJAR BULUTANGKIS

PTK-PENERAPAN MODIFIKASI ALAT BANTU PEMBELAJARAN BOKORTASKO TERHADAP HASIL BELAJAR BULUTANGKIS

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0022) PENERAPAN MODIFIKASI ALAT BANTU PEMBELAJARAN BOKORTASKO TERHADAP HASIL BELAJAR BULUTANGKIS


BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS


2.1 KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian Belajar
Slameto dalam Kurnia (2007: 2), mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Gagne dan Berliner dalam Achmad Rifa'i RC, dkk (2009:82), belajar merupakan proses di mana suatu organisme mengubah perilakunya karena hasil dari pengalaman. Lebih lanjut Gagne menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan disposisi kecakapan manusia yang berlangsung dalam periode waktu tertentu dan perubahan perilaku itu tidak berasal dari proses pertumbuhan. Slavin dalam Rifa'i (2009: 82) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.
Dari pengertian-pengertian belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman dalam interaksi dengan lingkungannya, dan perubahan perilaku tersebut tidak berasal dari proses pertumbuhan. Dengan kata lain, belajar adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang sengaja dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, sebagai hasil hasil pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan belajar, siswa yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, tidak mampu melakukan sesuatu menjadi mampu melakukan sesuatu, atau yang tidak terampil menjadi terampil.
2.1.2 Unsur-unsur Belajar
Menurut Catharina Tri Anni, dkk (2007:4-5) yang mengutip dari Gagne (1977:4), belajar merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat pelbagai unsur yang saling kait-mengait sehingga menghasilkan perubahan perilaku.
Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.) Pembelajar, dapat berupa peserta didik, pembelajar, warga belajar, dan peserta pelatihan. Pembelajaran memiliki organ pengindraan yang digunakan untuk menangkap rangsangan; otak yang digunakan untuk mentransformasikan hasil pengindraannya ke dalam memori yang kompleks; dan syaraf atau otot yang digunakan untuk menampilkan kinerja yang menunjukkan apa yang telah dipelajari. Rangsangan (stimulus) yang diterima oleh pembelajar kemudian diorganisir dalam bentuk kegiatan syaraf, beberapa rangsangan itu disimpan di dalam memorinya. Kemudian memori tersebut diterjemahkan ke dalam tindakan yang dapat diamati seperti gerakan syaraf atau otot dalam merespon stimulus.
2.) Rangsangan (stimulus). Peristiwa yang merangsang pengindraan peserta didik disebut situasi stimulus. Dalam kehidupan seseorang terdapat banyak stimulus yang berada di lingkungannya. Suara, sinar, warna, panas, dingin, tanaman, gedung, dan orang adalah stimulus yang selalu berada di lingkungan seseorang. Agar pembelajar mampu belajar optimal, ia harus memfokuskan pada stimulus tertentu yang diminati.
3.) Memori. Memori pembelajar berisi pelbagai kemampuan yang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dihasilkan dari aktivitas belajar sebelumnya.
4.) Respon. Tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori disebut respon. Pembelajar yang sedang mengamati stimulus, maka memori yang ada di dalam dirinya kemudian memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon dalam pembelajaran diamati pada akhir proses belajar yang disebut dengan perubahan perilaku atau perubahan kinerja (performance). Keempat unsur belajar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Aktivitas belajar akan terjadi pada diri pembelajar apabila terdapat interaksi antara situasi stimulus dengan isi memori sehingga perilakunya berubah dari waktu sebelum dan setelah adanya situasi stimulus tersebut. Perubahan perilaku pada diri pembelajar itu menunjukkan bahwa pembelajar telah melakukan aktivitas belajar.
2.1.3 Hasil Belajar Siswa Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar (Chatarina Tri Anni, dkk, 2007:5). Hasil belajar merupakan faktor yang sangat penting, karena hasil belajar mencerminkan kemampuan siswa dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Bentuk dari hasil belajar biasanya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan guru. Seperti yang diungkapkan oleh Rifa'i (2009: 85), bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami kegiatan belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut bergantung pada apa yang dipelajari oleh siswa. Oleh karena itu, apabila siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep, maka perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti yang diukur menggunakan teknik penilaian tertentu setelah mengalami kegiatan belajar. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan patokan, ukuran, atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan.
Bloom dalam Rifa'i (2009: 86), menyatakan bahwa hasil belajar meliputi tiga taksonomi yang disebut dengan ranah belajar. Diantaranya yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah sikap (affective domain), dan ranah psikomotorik (psychomotoric domain). Rinciannya yaitu sebagai berikut:
a. Ranah kognitif
Berkaitan dengan hasil belajar berupa pengetahuan, kemampuan, dan kemahiran intelektual. Mencakup kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian.
b. Ranah afektif
Berkaitan dengan hasil belajar berupa perasaan, sikap, minat, dan nilai. Mencakup kategori penerimaan, penanggapan, penilaian, pengorganisasian, dan pembentukan pola hidup.
c. Ranah psikomotor
Berkaitan dengan hasil belajar berupa kemampuan fisik seperti keterampilan motorik dan syaraf, manipulasi objek dan koordinasi syaraf. Kategori jenis perilaku untuk ranah psikomotorik yaitu persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian, dan kreati vitas.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah, ranah kognitiflah yang banyak dinilai karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan pembelajaran. Hasil belajar afektif dan psikomotorik juga harus menjadi bagian dari penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.
Hasil belajar mata pelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan materi permainan bulutangkis yaitu berupa kemampuan kognitif yang dimiliki siswa yang dapat diketahui melalui tes formatif. Dan hasil belajar afektif dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa. Serta hasil belajar psikomotorik siswa dapat diperoleh melalui tes ketrampilan/tes praktek.
2.1.4 Karakteristik Perkembangan Anak Sekolah Menengah Pertama 2.1.4.1 Perkembangan Penguasaan Gerak Dasar pada Fase Anak Usia Besar (6-14 Tahun)
Sejalan dengan meningkatnya kemampuan tubuh dan kemampuan fisik maka meningkat pula kemampuan gerak anak besar. Berbagai kemampuan gerak dasar yang sudah mulai biasa dilakukan pada masa anak kecil semakin dikuasai. Peningkatan kemampuan gerak dapat didefinisikan dalam bentuk sebagai berikut:
1. Gerakan dapat dilakukan dengan mekanika tubuh yang semakin efisien,
2. Gerakan bisa semakin lancar dan terkontrol,
3. Pola atau bentuk gerakan bervariasi,
4. Gerakan semakin bertenaga (Sugiyanto dan Sudjarwo, 1993:100).
Berbagai gerakan yang mulai bisa dilakukan atau gerakan yang dimungkinkan bisa dilakukan apabila anak memperoleh kesempatan melakukannya, pada masa anak kecil adalah gerakan-gerakan jalan, mendaki, loncat, mencongklang, lompat tali, meyepak, lempar, menangkap, melempar bola, memukul dan berenang. Gerakan-gerakan tersebut mulai dikuasai dengan baik. Kecepatan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kesempatan yang diperoleh melakukan berulang-ulang dalam aktivitasnya. Anak-anak yang kurang melakukan aktivitas fisik akan mengalami hambatan untuk berkembang.
Pada masa akhir besar, umumnya gerakan-gerakan seperti yang disebutkan diatas bisa dilakukan dengan bentuk gerakan yang menyerupai gerakan orang dewasa pada umumnya. Perbedaannya terletak pada pelaksanaan gerak yang masih kurang bertenaga. Hal ini disebabkan karena kapasitas fisik anak yang memang belum bisa menyerupai/menyamai fisik orang dewasa.
Apabila ditinjau dari segi kebenaran mekanika tubuh dan kecepatan dalam melakukan berbagai gerakan, maka faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan gerak anak adalah faktor-faktor peningkatan koordinasi ukuran tubuh dan kekuatan otot. Ada berbagai macam tes yang biasa

PTK-PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAMS GAMES TOURNAMENT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGISTANDAR KOMPETENSI PENCEMARAN LINGKUNGAN

PTK-PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAMS GAMES TOURNAMENT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGISTANDAR KOMPETENSI PENCEMARAN LINGKUNGAN

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0021) PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAMS GAMES TOURNAMENT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGIS TANDAR KOMPETENSI PENCEMARAN LINGKUNGAN


BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN


A. Kajian Pustaka
 1. Belajar
Belajar mempunyai banyak rumusan yang dikemukakan para ahli pendidikan. Masing -masing merumuskan berdasarkan padanga dan titik tolak berfikirnya, namun antara satu dengan yang lain keterkaitannya.
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) belajar artinya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu
b. Dahar (1996) belajar didefenisikan sebagai suatu proses dimana uatu organism berubah perilakunya sebagai akibat pengalama.
c. Syah (2004) mengemukakan belajar adalah kegiatan yang berproses dan merapakan unsur yang sangat fundamental dalam peyelengaran setuiap jenis dan jenjang pendidikan. mencakup perabahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan sebagainya. Perabahan-perabahan itu bersifat relatif (konsisten) dan berbekas.
e. Slameto (2003) menyatakan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk maemperoleh suatu perabahan tingkah laku yang bara secara
d. Dalyono (2001) menytakan belajar dapat didefenisikan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perabahan dalam dari seseorang, keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dan lingkungannya. Dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagai kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.
Dari beberapa pendapat tentang definisi belajar diatas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah proses pembahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Jadi, belajar akan membawa pembahan - pembahan pada individu - individu yang belajar
Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar, yaitu: perubahan terjadi secara sadar, perbahan dalam belajar bersifat kontinu dan finsional, perabahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, perubahan dalam belajr bukan bersifat sementara, perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, dan perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku ( slameto, 2003).
2. Pembelajaran
Beberapa definisi tentang pembelajaran yang ditemukan oleh para ahli ra lain sebagai berikut:
a. UU No. 20 tentang Sisdiknas, arti pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan somber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar dalam konteks pembelajaran merupakan komponen penting, yaitu pendidikan dan peserta didik yang saling berinteraksi.
b. Darsono (1999) mengemukakan pembelajaran yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehinga tingkah laku siswa berubah ke arah yang baik.
c. Mulyasa (2003) menyatakan bahwa pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan prilaku kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali factor yang mempengaruhinya, baik factor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun factor external yang dating dari lingkungan
3. Hasil belajar
Hasil belajar merupakan tingkah laku yang diperoleh siswa setelah mengalami aktifitas belajar (Ani, 2004) perolehan aspek-aspek perubahan prilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh siswa. Oleh karena itu apabila siswa mempeiajari pengetahuan tentang konsep, maka perubahan prilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep, dalam pembelajaran, belajar dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Hasil belajar dapat dikatan sebagai ukuran keberasilan seseorang yang telah mengikuti suatu proses pembelajaran dengan membandinkannya terhadap tujuan pembelajran yang telah ditetapkan. Apabila siswa memperoleh yang sesuai dengan titjuan pembelajran yang telah ditetapkan secara otomatis siswa tersebut dikatakan berhasil. Dengan demikian pula sebaiknya siswa tidak memiliki hasil
belajar yang sesuai dengan tujuan, jelas hal tersebut dikatakan tidak berhasil. Dengan kata lain bahwa basil belajar ialah hasil yang dicapai setelah seseorang Melakukan kegiatan belajar, sebagai mana hasil belajar merapakan bukti usaha yang dapat dicapai seseorang.
Dengan demikian hasil belajar biologi dapat diartikan sebagai bukti dari usaha yang telah dilakukan selama proses kegiatan pembelajaran mata pembelajaran biologi sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Sejauh mana hasil belajar siswa dapat dicapai oleh siswa dapat diukur secara konkret dalam bentuk nilai atau angka (kuantitatif) maupun dalam bentuk penguasaan materi yang tercermin dalam perilaku belajar (kualitatif), ukur hasil belajar siswa dapat dituangkan dalam bentuk angka berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
4. Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
a. Pengertian TGT
TGT adalah suatu tournamen kelompok bermain yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 siswa yang mempunyai kemampuan akademik setara dan masing-asing mewakili tim yang berbeda.
Ciri khas pembelajaran koopreatif tipa TGT dengan pembelajaran kooperatif tipe yang lain adalah adanya turnamen. Dengan adanya turnamen
diharapkan dapat menanamkan sportifitas siswa dan dapat membangkitkan motivasi siswa untuk bemsaha lebih bagi dirinya maupun untuk anggota lain. Dalam turnament juga dapat membentuk siswa menjadi biasa dan selanjutnya
Berani dalam berkompetisi, sehingga siswa selalu berusaha dalam posisi unggul karena mempunyai daya saing tinggi dalam biologi (Thelan, 2002).
b. Komponen TGT
Dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT terdapat lima komponen sebagai berikut.
1) Presentasi Kelas
Presentasi kelas digunakan untuk menrangkan materi secara garis besar dan menjelaskan teknik pembelajaran yang akan dilaksanakan.
2) Tim atau Kelompok
anggota, saling membangingkan jawaban, memeriksa dan mengoreksi kesalahan konsep anggota lain.
Tim terdiri dari 4 sampai 6 siswa anggota kelas. Anggota tim mewakili kelompok yang ada dikelas dalam hal kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku. Dalam penelitian ini siswa ditetapkan kedalam tim berdasarkan nilai rata-rata raport semester 1 dan skor pretest. Fungsi utama tim tersebut adalah ntuk memastikan bahwa semua anggota tim belajar, sehingga mencapai prestasi tertinggi. Setelah presentasi kelas, kegiatan tim umumnya adalah diskusi antar
3) Permainan
Permainan digunakan untuk menguji pengetahuan yang dicapai siswa setelah persentasi kelas dan belajar kelompok, dilakukan oleh 3 sampai 6 siswa dengan kemampuan setara dan masing-masing mewakili tim yang berbeda. Kelengkapan yang permainan kebanyakan berupa lembar pertanyaan/soal dan jawaban yang bernomor, membaca pertanyaan/soal sesuai dengan nomor yang terambil, dan berasaha menjawab pertanyaan. Siswa lain boleh menantang apabila mempunyai jawaban yang berbeda.
4) Turnamen
Turnamen adalah saat dimana permainan berlangsung. Ilustrasi hubungan antara tim-tim yang anggotanya heterogen dan meja-meja turnamen dengan anggota yang homogen.
meja 3. Meja 4 adalah meja turnamen yang "terendah" tingkatannya. (sumber)
Setelah turnamen selesai dan dilakukan penilaian, guru melakukan pengaturan kembali kedudukan siswa pads tiap meja hzrnamen, kecuali pemenang pa*da meja "tertinggi" pemenang pada setiap meja "dinaikkan" atau digeser satu tingkat ke meja yang lebih tinggi tingkatannya. Dan yang mendapat skor terendah pada setiap meja turnamen selain yang ada pada meja "terendah" tingkatannya Penetapan siswa pads meja turnamen berdasarkan rangking siswa pada setiap tim. Meja turnamen 1 adalah meja tempat kompetisi siswa dengan awal tertinggi dalam tim sebagdi meja "tertinggi" iingkatannya, lebih tinggi atannya dengan meja turnamen 2. Meja 2 lebih tinggi

PTK-PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN FIKIH MELALUI PENGGUNAAN MEDIA GRAFIS PADA SISWA KELAS VIII

PTK-PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN FIKIH MELALUI PENGGUNAAN MEDIA GRAFIS PADA SISWA KELAS VIII

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0020) PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN FIKIH MELALUI PENGGUNAAN MEDIA GRAFIS PADA SISWA KELAS VIII


BAB II 
KAJIAN TEORI

A. Memahami Hasil Belajar 
1. Pengertian Belajar
Belajar adalah sangat kompleks, sehingga tidak dapat dikatakan dengan pasti apakah sebenarnya belajar itu? Banyak orang beranggapan, bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah mencari ilmu atau menuntut ilmu. Dan juga ada yang mengartikan belajar menyerap pengetahuan. Ini berarti orang mesti menyimpulkan fakta sebanyak-banyaknya jika konsep ini tidak diakui orang maka opini tersebut perlu dipertanyakan apakah dengan belajar semacam itu orang menjadi tumbuh dan berkembang.
Memang kalau kita bertanya kepada seseorang tentang apakah belajar itu, maka akan memperoleh jawaban yang bermacam-macam. Banyak jenis kegiatan yang oleh kebanyakan orang dapat disepakati sebagai perbuatan misalnya meniru ucapan kalimat, mengumpulkan perbendaharaan kata, mengumpulkan fakta-fakta dan sebagainya. Penting juga dipahami tidak semua kegiatan tergolong sebagai kegiatan belajar misalnya melamun, marah dan menikmati hiburan dan seterusnya.8 Untuk menghindari ketidaklengkapan persepsi tersebut berikut ini akan disajikan beberapa definisi para ahli.
8 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Rosda Karya Cetakan V, 1990),
hlm. 85 Chaplin dalam Dictinory of Pshicology yang telah dikutip oleh muhibbin Syah membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan
pertama berbunyi " acquisition of any relatively permanent change in
behavior as a result of practice and experience". Dengan demikian belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Rumusan kedua adalah " process of acquiring responses as a result of special practice". Artinya belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus.9
Pengertian belajar yang lain adalah: "a relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi relative langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Belajar adalah suatu proses yag dapat dilakukan oleh jenis-jenis makhluk hidup tertentu sebagian besar binatang, termasuk manusia, tetapi tumbuhan tidak. Belajar merupakan proses yang memungkinkan makhluk-makhluk ini merubah prilakunya cukup cepat dalam cara yang kurang lebih sama, sehingga perubahan yang sama tidak harus terjadi lagi dan lagi pada setiap situasi baru. Pengamat dari luar dapat mengenali bahwa belajar telah terjadi ketika melihat adanya perubahan perilaku dan perubahan ini cukup langgeng.10
Belajar merupakan dasar dari pada perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar.
Meskipun tidak seorangpun yang mengajar seseorang, namun orang itu dapat belajar, guru atau orang lain dapat mengarahkan belajar, dapat menunjukkan sumber pengalaman belajar, menyajikan bahan belajar dan dapat mendorong seseorang untuk belajar. Kebutuhan dan motivasi seseorang menjelma menjadi tujuan seseorang dalam belajar. Dengan demikian belajar itu berorientasi kepada tujuan si belajar.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar bukanlah hasil tingkah laku yang nampak tetapi terutama adalah proses terjadinya, secara internal di dalam diri sendiri dan dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan baru. Untuk mencapai hasil yang maksimal maka diperlukan proses belajar mengajar yang dinamis, seimbang dan terarah.
Selanjutnya, dalam prespektif keagamaan pun (dalam hal ini Islam), belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam surat al-mujadalah:1 1
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yang artinya:....niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang yang beriman dan "berilmu". Ilmu dalam hal ini tentu saja harus berupa pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman dan bermanfaat bagi kehidupan orang banyak.
2. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan prilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, biasanya guru menetapkan tujuan belajar siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.11
Menurut Juliah dalam bukunya Asep Jihad hasil belajar adalah segala sesuatu yang menjadi milik siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dilakukannya. Menurut Hamalik hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan sikap-sikap, serta apersepsi dan apabilitas. Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran.12
Setelah melalui proses belajar maka siswa diharapkan dapat mencapai tujuan belajar yang disebut juga sebagai hasil belajar yaitu kemampuan yang dimiliki siswa setelah menjalani proses belajar. Sujana berpendapat, hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa.13
3. Hasil Belajar Sebagai Objek Penelitian
Horward Kingsley14 membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumuan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler baik tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dan Benyamin Bloom yang secara garis besar membagi menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. a. Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.15 1) Tipe hasil belajar: Pengetahuan
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowladge dalam taksonomi Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuhnya tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual disamping pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, istilah, pasal dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-nama kota. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang perlu dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi pengetahuan atau pemahaman kosep-konsep lainnya.16
Dibandingkan dengan tipe hasil belajar atau tingakat kemampuan berpikir lainnya, tipe pengetahuan hafalan termasuk tingkat yang paling rendah. Meskipun demikian, pengetahuan yang lebih tinggi. Disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemampuan berpikir siswa, soal-soal tes yang banyak menuntut pengetahuan hafalan hanya cocok untuk murid-murid SD kelas-kelas rendah. Untuk kelas-kelas yang lebih tinggi, seperti kelas V dan VI SD, siswa-siswa SMTP dan SMTA, dan untuk para mahasiswa, proporsi jumlah soal yang mengungkapkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi harus semakin besar.17
Rumusan tujuan instruksional khusus yang mengukur jenjang penguasaan yang bersifat ingatan biasanya menggunakan kata kerja operasional, antara lain: menyebutkan, menunjukkan, mengenal, mengingat kembali, mendefinisikan.
Perlu kiranya dikemukakan disini bahwa, dilihat dari segi bentuknya, tipe tes yang paling banyak dipakai untuk

PTK-PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI PERMAINAN BILANGAN "KERETA ANGKA" KELOMPOK B

PTK-PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI PERMAINAN BILANGAN "KERETA ANGKA" KELOMPOK B

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0019) PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI PERMAINAN BILANGAN "KERETA ANGKA" KELOMPOK B

BAB II 
LANDASAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN


A. Hakikat Berhitung
1. Pengertian Berhitung
Anak usia TK adalah masa yang sangat strategis untuk mengenalkan berhitung di jalur matematika, karena usia TK sangat peka terhadap rangsangan yang diterima dari lingkungan. Rasa ingin tahunya yang tinggi akan tersalurkan apabila mendapat stimulasi atau rangsangan dan motivasi yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Dalam perkembangan banyak para ahli yang melakukan penelitian tentang kemampuan berhitung yang dimiliki manusia dari berbagai macam latar belakang.
Beberapa pendapat dan teori para ahli tentang berhitung yaitu menurut Moris Kline (dalam Munawir, 2005: 204) berhitung adalah salah satu cabang matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa hampir semua cabang matematika yang berjumlah delapan puluh cabang besar selalu ada berhitung. Ilmu hitung adalah suatu bahasa yang digunakan untuk menjelaskan suatu hubungan antara berbagai proyek, kejadian dan waktu. Kemudian menurut Wahyudi dan Damayanti (2005: 104) matematika (berhitung) meliputi semua pemikiran dan keahlian yang membantu manusia dalam mengatur dunia. Pemikiran dan keahlian untuk anak-anak meliputi mencocokkan, mengelompokkan, mengatur, berhitung, memisahkan, mengukur, dan membandingkan. Anak juga akan belajar melalui pengalamannya dengan bentuk, ukuran, ruang, angka, dan simbol-simbol angka.
Selanjutnya dalam Depdiknas (2010: 299) dijelaskan bahwa: berhitung merupakan bagian dari matematika, diperlukan untuk menumbuh kembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan juga dasar bagi pengembangan kemampuan matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar. Kemudian menurut Sriningsih, N (2008: 63) mengungkapkan bahwa kegiatan berhitung untuk anak usia dini disebut juga sebagai kegiatan menyebutkan urutan bilangan atau membilang buta {route counting/rational counting). Anak menyebutkan urutan bilangan tanpa menghubungkan dengan benda-benda konkrit. Pada usia 4 tahun mereka dapat menyebutkan urutan bilangan sampai sepuluh. Sedangkan usia 5 atau 6 tahun dapat menyebutkan bilangan sampai seratus. Lebih lanjut Sriningsih,N (2008: 80) menjelaskan bahwa kegiatan menyebutkan bilangan ini dapat dilakukan melalui permainan bilangan.
Berdasarkan defmisi di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa berhitung adalah kemampuan mengenal angka dalam hal membilang atau mengurutkan lambang bilangan, menunjuk urutan benda untuk bilangan dan memahami konsep benda. Kemampuan berhitung melalui tahapan berhitung yaitu orespondensi satu satu, kemampuan mengenal pola yaitu mampu memperkirakan urutan berikutnya setelah melihat bentuk dua sampai tiga pola yang berurutan, mampu memilah atau menyortir atau klasifikasi, kemudian kemampuan membilang angka 1-20, serta kemampuan anak dalam menghafal bilangan, makna angka dan pengenalannya, kemampuan memahami ukuran waktu dan ruang kemudian penambahan dan Pengurangan yang diperlukan untuk menumbuh kembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tujuan Pembelajaran Berhitung di Taman Kanak-Kanak
Pendidikan di TK sangat penting untuk mencapai keberhasilan belajar pada tingkat pendidikan selanjutnya. Bloom bahkan menyatakan bahwa mempelajari bagaimana belajar (learning to learn) yang terbentuk pada masa pendidikan TK akan tumbuh menjadi kebiasaan di tingkat pendidikan selanjutnya.Hal ini bukanlah sekedar proses pelatihan agar anak mampu membaca, menulis dan berhitung, tetapi merupakan cara belajar mendasar, yang meliputi kegiatan yang dapat memotivasi anak untuk menemukan kesenangan dalam belajar, mengembangkan konsep diri (perasaan mampu dan percaya diri), melatih kedisiplinan, keberminatan, spontanitas, inisiatif, dan apresiatif.
Dalam (Depdiknas, 2010: 299) menjelaskan tujuan dari pembelajaran berhitung di Taman Kanak-Kanak, yaitu : Tujuan Umum, secara umum berhitung permulaan di TK adalah untuk mengetahui dasar-dasar pembelajaran berhitung sehingga pada saatnya nanti anak akan lebih siap mengikuti pembelajaran berhitung pada jenjang selanjutnya yang lebih kompleks.
Tujuan Khusus, secara khusus tujuannya yaitu, (1) dapat berpikir logis dan sistematis sejak dini, melalui pengamatan terhadap benda-benda kongkrit, gambar-gambar atau angka-angka yang terdapat di sekitar anak, (2) dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat yang dalam kesehariannya memerlukan keterampilan berhitung, (3) memiliki ketelitian, konsentrasi, abstraksi dan daya apresiasi yang tinggi, (4) memiliki pemahaman konsep ruang dan waktu serta dapat memperkirakan kemungkinan urutan sesuatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya, (5) memiliki kreatifitas dan imajinasi dalam menciptakan sesuatu secara spontan.
3. Manfaat Pembelajaran Matematika Berhitung anak
Dalam pembelajaran matematika terutama berhitung sangat bermanfaat bagi perkembangan kognitifnya. Saat anak berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Menurut Wahyudi dan Damayanti (2005: 106-109) berikut ini adalah beberapa hal yang mungkin bisa memberikan pembelajaran matematika kepada anak:
a. Perspektif Islam, anak hams memahami kenyataan bahwa; hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah S.W.T; Allah S.W.T. telah memberikan kita 5 indera untuk mengamati dan belajar; Allah telah mengirimkan nabi-nabinya untuk mengajari kita.
b. Kosakata Matematika, anak dibantu untuk mendapatkan kosakata angka-angka dan jumlah melalui aktivitas yang terencana dan alami.
c. Mengerti bunyi dan urutan angka, anak akan mampu berhitung sampai angka 20 (dengan urutan yang baik dan benar); mampu memahami angka-angka yang mewakili suatu rangkaian benda;
mampu memahami angka-angka yang mewakili urutan suatu benda dalam rangkaian (contoh: bola 1, bola 2, bola 3, bola 4, dan seterusnya).
d. Memahami arti angka, anak akan mengembangkan pemahaman: arti angka-angka; menghubungkan benda dengan angka; satu persatu.
e. Mengenali simbol numerikal, anak akan mampu untuk mengembangkan obyek dengan urutan tertentu; konsep urutan angka yang berhubungan dengan persesuaian satu per satu antara obyek
dan angka; menguasai tugas pengenalan simbol yang mewakili angka, mampu mencocokkan kumpulan benda; menghubungkan nomor dengan angka di dalam suatu kumpulan.
f. Menyusun angka dan bilangan, akan: mengurutkan angka dengan dengan urutan yang baik (bukan hanya secara acak, sederhana, dan dengan kemampuan yang terbatas); mencoba menyusun obyek dengan urutan tertentu, seperti dari yang paling sedikit ke yang paling banyak, atau sebaliknya yang merupakan permulaan dari kemampuannya.
g. Penulisan bilangan dengan terarah, anak akan mampu: menempatkan angka pada posisi yang benar (tidak terbalik); mengerti perbedaan arah penulisan antara angka 9 dan angka 6 yang benar.
h. Ukuran dan urutan, anak akan mampu: membuat perbandingan antara 2 buah obyek atau lebih, menata obyek yang berbeda ukuran dari yang paling kecil ke yang paling besar; memahami bahwa ukuran itu relatif, menggunakan kosakata ukuran relatif; menggunakan kosakata ukuran relatif seperti lebih luas dari, lebih kecil dari, lebih besar dari, lebih tinggi dari, dan lain sebagainya.
i. Bentuk, anak akan: mengenali bentuk-bentuk dasar lingkaran, kotak, segitiga, persegi panjang, dan oval, membedakan bentuk-bentuk; mampu menggolongkan benda sesuai dengan ukuran dan bentuknya; mampu memberi pengertian tentang ruang, bentuk dan ukuran.
j. Bagian-bagian dan utuh, anak akan belajar bahwa suatu keutuhan terdiri atas bagian-bagian dan keutuhan.
4. Prinsip-Prinsip Berhitung di Taman Kanak-Kanak
Kemampuan numerik juga merupakan salah satu kemampuan yang dipelajari anak secara otomatis dalam periode masa kanak-kanak awal.
Menurut Flavel (Hildayani, 2005: 9.23-9.25) ada 5 prinsip dalam berhitung, yaitu:
a. The One-One Principle
Menurut prinsip ini, pada dasarnya menghitung harus diajarkan secara berurutan dan satu per satu. "satu, dua, tiga, dan seterusnya". Setiap angka harus disebutkan, tidak boleh ada yang dilewati dan tidak boleh diulang. Cara ini terbukti efektif untuk mengajar anak, bahkan yang baru berusia 2,5-3 tahun. R Gelman melaporkan bahwa anak akan secara otomatis memperbaiki hitungan, baik yang mereka maupun guru mereka lakukan, bila terdapat kesalahan.
b. The Stable-Order Principle
Apabila kita akan memperkenalkan konsep jumlah pada anak, prinsip the stable-order principle menekankan akan keteraturan. Misalnuya, kita akan menghitung 3 buah benda maka mulailah selalu dengan "satu, dua, tiga" dan bukan "tiga, dua, satu" atau "tiga, satu, dua". Dengan pembiasaan seperti ini, anak akan lebih mudah belajar. Bahkan berdasarkan penelitiannya, Gelman menemukan bahwa anak biasanya patuh pada prinsip ini. Saat ditanya jumlah, mereka akan selalu menghitung mulai dari satu dan urut ke angka selanjutnya walaupun kadang mereka melompat, seperti "satu, dua, enam". Hal ini terjadi karena anak belum hafal akan urutan angka yang benar

PTK- PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI DAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA SISWA MENGGUNAKAN METODE PERMAINAN DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN

PTK- PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI DAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA SISWA MENGGUNAKAN METODE PERMAINAN DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0018) PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI DAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA SISWA MENGGUNAKAN METODE PERMAINAN DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN


BAB II 
LANDASAN TEORI


2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian pertama yang relevan dilakukan oleh Nyami (2006) berjudul Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi dengan Metode Student Team Achievement Division (STAD) pada siswa kelas VI SD Negeri 02 Soco, Slogohimo, Wonogiri (penelitian tindakan kelas). Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan intensitas proses pembelajaran puisi dengan menerapkan metode STAD, (2) meningkatkan kemampuan apresiasi puisi dengan menerapkan metode STAD, pada siswa kelas VI SD Negeri 02 Soco, Slogohimo, Wonogiri. Subjek penelitian adalah guru dan siswa kelas VI SD Negeri 02 Soco, Slogohimo, Wonogiri. Objek penelitian adalah penggunaan metode STAD dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi pada siswa. Sumber data meliputi: (1) informan, (2) tempat dan peristiwa, (3) angket, (4) tes/pemberian tugas.
Teknik analisis data dengan teknik deskriptif komparatif dan teknik analisis kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode STAD dapat: (1) meningkatkan intensitas proses pembelajaran puisi, (2) meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa kelas VI SD Negeri 02 Soco, Slogohimo, Wonogiri. Hal ini dapat diketahui dari hasil pretes maupun postes yang dilakukan selama tiga kali siklus. Pada pratindakan jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas KKM (70) 5 siswa (17%) dengan nilai rata-rata sebesar 60,12. Pada siklus I yang memperoleh nilai di atas KKM meningkat menjadi 10 siswa (35,71%), kenaikan sebesar 17,85%, sedang nilai rata-rata kelas sebesar 67,85 juga belum mencapai KKM. Pada siklus II nilai rata-rata kelas sebesar 70,82 dan ketuntasan klasikal belum mencapai 75%. Sehingga pembelajaran apresiasi puisi dilanjutkan pada siklus III. Setelah dilakukan uji kompetensi siklus III siswa yang dapat mencapai KKM sebanyak 26 siswa atau (92,85%) dengan nilai rata-rata kelas menjadi 75,39. Pada siklus III pencapaian ketuntasan klasikal sudah lebih dari 75% dan nilai kemampuan 70,00. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran apresiasi puisi dengan menerapkan metode STAD dapat meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran serta dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi.
Penelitian lain yang relevan disusun oleh Suprapti (2009). Ia melakukan penelitian dengan judul Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Penggunaan Metode Role Playing: Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VIII B MTs Negeri Kebumen 2, Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan: (1) intensitas pembelajaran berbicara kelas VIII B MTs Negeri Kebumen 2, dan (2) kemampuan berbicara siswa kelas VIII B MTs Negeri Kebumen 2.
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VIII B MTs Negeri Kebumen 2 dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2009. Penelitian tindakan kelas ini melalui tiga siklus, dan setiap siklus dua kali pertemuan. Tiap siklus meliputi empat tahapan: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan tes. Teknik analisis data menggunakan teknik drskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII B MTs Negeri Kebumen 2 dan guru bahasa Indonesia.
Hasil penelitian tindakan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Adanya peningkatan intensitas pembelajaran berbicara siswa kelas VIII B MTs Negeri Kebumen dengan menggunakan metode role playing. Hal ini dapat terlihat peningkatan keaktifan siswa dari 40%, 70%, menjadi 87,5% pada siklus III. 2) Dengan menggunakan metode role playing dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa, baik peningkatan jumlah ketuntasan belajar siswa maupun reratanya. Peningkatan jumlah ketuntasan belajar dari 27,5% sebelum tindakan menjadi 40% pada silkus I, siklud II naik menjadi 60%., dan siklus III meningkat menjagi 85%. Nilai rata-rata meningkat dari sebelum dilaksanakan 55,1 menjadi 65,6 pada siklus I, siklus II menjadi 73.6, dan siklus III meningkat menjadi 79,3. Peningkatan nilai tersebut telah memenuhi batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan yaitu 70. Untuk itu guru diharapkan dapat menggunakan metode role playing agar dapat melatih siswa dengan baik, sehingga pembelajaran role playing dapat berjalan efektif.
Berdasarkan penelitian terdahulu, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain mengenai peningkatan kemampuan apresiasi puisi dengan metode student team achievement division (STAD) dan pengembangan metode kooperatif dengan teknik bermain peran terhadap pembelajaran apresiasi puisi relevan untuk digunakan oleh peneliti. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lainnya.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Kemampuan Mengapresiasi Puisi
Apresiasi puisi adalah sikap jiwa memperlakukan sajak sesuai kadar seni dan kandungan isinya. Kemampuan mengapresiasi puisi terwujud dalam berbagai bentuk, antara lain kegemaran membaca sajak dan keterampilan mendeklamasikan sajak itu. Kemampuan apresiasi puisi dapat perupa keterampilan menulis seni tentang pusi., kemampuan menemukan dan merumuskan makna sajak itu dalam bentuk tulisa yang dapat dibaca dan dipahami orang lain (Waluyo, 1987:6). a. Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi. 1) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
2) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi. 3) Altenberg dan Lewis (dalam Waluyo, 1987:26), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, buku mereka bisa dilihat diksi, imajeri, bahasa kiasan, simbol, bunyi, ritme, dan bentuk.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi tema, nada, rasa, amanat, diksi, imaji, bahasa figuratif, kata konkret, ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).
b. Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami sembilan aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
3) Imaji (citraan), yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan

PTK-PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI DENGAN TEKNIK PETA PIKIRAN IMAJINATIF PADA SISWA KELAS VB

PTK-PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI DENGAN TEKNIK PETA PIKIRAN IMAJINATIF PADA SISWA KELAS VB

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0017) PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI DENGAN TEKNIK PETA PIKIRAN IMAJINATIF PADA SISWA KELAS VB


BAB II 
LANDASAN TEORI


A. Penelitian yang Relevan
Keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa. Oleh karena itu, menulis sering diteliti dengan berbagai sudut pandang masalah dan tujuan yang berbeda-beda. Keterampilan menulis berkaitan pula dengan variasi teknik pembelajaran dan kesusasteraan dalam pembelajaran. Berikut adalah hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.
Maryudani (2010) melakukan penelitian yang berjudul "Peningkatan Prestasi Belajar dalam Mata Pelajaran IPS dengan Teknik Mind Mapping Siswa kelas V SDK Kintelan 1 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2009/2010". Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, siswa mengalami kesulitan dalam menghapal materi karena scoope yang terlalu luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai penggunaan teknik mind mapping agar pembelajaran dapat efisien dan efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar dari 21 siswa SDK Kintelan 1 Yogyakarta tahun pelajaran 2008/2009 idealnya mendapatkan nilai sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan sekolah, yaitu 60,00. Berdasarkan data yang ada, 81% siswa belum mampu menguasai mated tersebut. 18 siswa mendapatkan hasil yang kurang memenuhi KKM. Dari tes tersebut, nilai rata-rata yang diperoleh 21 siswa adalah 50,42. Hasil penelitian Maryudani dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan teknik mind mapping menunjukkan adanya peningkatan prestasi belajar siswa kelas V SD Kanisius Kintelan 1 dengan nilai rata-rata dapat mencapai 80,00 dengan KKM 6,1.
Pamungkas (2010) melakukan penelitian yang berjudul "Peningkatan Kemampuan Mengapresiasi Puisi dan Keaktifan Siswa dalam Pembelajaran Berbicara Siswa Kelas X-2, Semester 2, Tahun Ajaran 2009/2010 SMA Negeri 6
Penelitian ini mengkaji peningkatan kemampuan mengapresiasi puisi dan keaktifan
siswa kelas 2 SMA Negeri 6 Yogyakarta, semester 2 tahun ajaran 2009/2010. Hasil
penelitian ini jukkan bahwa dengan menggunakan metode permainan dengan
teknik bermain peran pada pembelajaran berbicara, hasil belajar siswa mengalami peningkatan pada masing-masing siklus. Persentase ketuntasan siswa 90,9%. Keaktifan siswa juga mengalami peningkatan pada masing-masing siklus. Persentase ketuntasan siswa pada kondisi awal sebesar 0%, siklus I sebesar 82,15%, dan di siklus II sebesar 90,9%. Keaktifan siswa juga mengalami peningkatan. Pada kondisi awal sebesar 29,41%, siklus I sebesar 67,85% siswa yang aktif, dan meningkat menjadi 84,84% di siklus II.
Shofia Hattarina (2008) juga menemukan teknik peta pikiran sebagai inovasi dalam pembelajaran dalam tulisannya yang berjudul "Penerapan Model Pembelajaran Mind Map (Peta Pikiran) untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sejarah XI IPS SMAN I Talun ". Hasil penelitian ini merujuk pada saran bahwa teknik peta pikiran ini dapat dijadikan sebagai salah satu teknik yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa.
Partinem, S. Pd. (2009) dalam tulisannya yang berjudul " Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Melalui Teknik Gali Kunci Siswa Kelas X Program
baru dalam pembelajaran menulis puisi melalui teknik gali kunci. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa teknik Gali Kunci dapat secara efektif meningkatkan apresiasi puisi siswa kelas X akselerasi SMA 1 Purworejo tahun 2008/2009. Hasil ini dapat diperoleh oleh peneliti melalui serangkaian kegiatan tes dan observasi selama proses pembelajaran. Teknik Gali Kunci dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif teknik dan variasi dalam pengajaran puisi.
B. Kajian Pustaka
1. Keterampilan Menulis
Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat, dan sebagainya) dengan tulisan (KBBI Edisi Keempat, 2008:1497). Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang produktif. Menulis bukan berarti sekadar menulis. Kegiatan ini memerlukan penuangan ide dan gagasan kreatif dalam suatu tulisan. Modal utama dalam menulis adalah ide, gagasan, rasi. Oleh karena itu, langkah awal dalam menulis adalah menyiapkan ide sebagai bahan membuat tulisan. Tahap kreatif universal dalam menulis menurut Sutardi (2012:15) yaitu
a. Tahap pencarian ide dan pengendapan.
Tahap ini berkaitan dengan kepekaan terhadap peristiwa dan fenomena alam sekitar. Pahami peristiwa yang terjadi, dan tuliskan pada selembar kertas. Inspirasi yang didapat dalam kepekaan rasa terhadap suatu peristiwa atau hal yang membuat gejolak untuk menuliskannya. Setelah mendapatkan momen estetik sebagai sumber inspirasi untuk dijadikan sebagai bahan tulisan, sumber inspirasi itu diendapkan dan dikreasikan dalam pikiran dan perasaan. Proses pengendapan itu biasanya dilakukan dengan perenungan atau kontemplasi, yang bisa saja ditambahkan dengan menulis hal penting lain yang akan diceritakan. Proses pengendapan pengalaman ini biasanya dilakukan dengan merenung, kontemplasi, atau membuat coretan dalam kertas.
1) Tahap penulisan.
Jika ide dan kemungkinan-kemungkinan dramatisasi peristiwa atau logika cerita atau puisi sudah dikuasai, maka segera tuliskan. Tuliskan! Bangun suatu keyakinan bahwa setiap ada ide maka harus jadi. Jangan pikir baik dan buruknya dulu. Harus jadi adalah harga mati dengan usaha yang sungguh-sungguh. Apabila terjadi kebuntuan, maka tinggalkan. Refresing sejenak dengan melakukan hal-hal yang memunculkan semangat. Jika kebuntuan itu sudah reda, maka cari waktu yang tepat untuk menyelesaikan tulisan yang telah kita buat.
2) Tahap editing dan revisi.
Editing adalah pemeriksaan kembali karya yang baru ditulis dari aspek kebahasaannya, baik kesalahan kata, frasa, tanda baca, penulisan, sampai ke kalimat- kalimatnya; sedangkan revisi adalah pemeriksaan kembali karya yang baru ditulis dari aspek isi atau logika cerita. Proses editing dan revisi ini berlangsung secara simultan atau bersamaan, dan keduanya dilakukan dalam dua tahap. Pertama, setelah cukup istirahat, baca kembali tulisan yang sudah jadi, dan lakukan editing dan revisi. Baca dengan cermat dan lakukan perbaikan-perbaikan aspek kebahasaan (editing), isi, dan logika cerita (revisi). Proses ini membutuhkan totalitas pikiran dan perasaan yang tenang dan cermat.
2. Hakikat Puisi dan Karakteristik Puisi a. Konsep Puisi
Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dikaji dari beragam aspek. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, bahwa puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Puisi dapat pula dikaji dari sudut kesejarahannya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan sepanjang zaman. Hal ini dapat terjadi mengingat pada hakikatnya puisi adalah sebuah karya seni yang di dalamnya selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan serta inovasi (Teeuw, 1980:12 dalam Pradopo, 1990:3). Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (Riffaterre, 1978:1 dalam Pradopo, 1990:3).
Definisi puisi cukup banyak, salah satu pendapat yang cukup mudah dipahami adalah Waluyo (1995:25) yang mendefinisikan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan emua kekuatan bahasa dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, serta penyusunan larik dan bait; gubahan dari bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat ehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (KBBI edisi Keempat, 2008:1112). Meskipun demikian, orang secara awam tidak dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, memiliki arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Puisi memang tidak dapat didefinisikan secara jelas dalam tataran pengertiannya, namun setiap orang dapat memandang dan mendimensikan puisi dengan sudut pandang tertentu misalnya dipandang dari segi estetiknya. Puisi dipandang sebagai suatu karya seni. Puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Aspek yang khas dari puisi adalah ketika unsur dalam puisi dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan. Hal-hal khusus seperti itulah yang disebut puitis.
Puisi sebagai sebuah karya sastra perlu dikaji secara khusus terutama dalam proses pembelajaran. Siswa sebagai aktor utama dalam pembelajaran tentu saja dapat memahami pembelajaran tersebut secara lebih baik tidak serta merta melalui kegiatan ceramah saja, namun dapat melalui metode dan teknik-teknik pembelajaran khusus yang dimotivatori oleh para guru. Itulah mengapa variasi teknik dalam pembelajaran sangat penting sebagai stimulus dan motivator siswa dalam proses pembelajaran karya sastra, dalam hal ini adalah puisi.
b. Karakteristik Puisi
Pemahaman awal tentang karakteristik puisi diungkapkan dalam oleh Sutardi (2012:26-38), meliputi:
1) Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Media pengungkapan puisi sebagai pengalaman estetis adalah dengan kata-kata. Kreativitas menulis puisi adalah kreativitas memilih diksi, karena kekuatan puisi terletak pada kata-katanya, bagaimana kata-kata yang singkat, pendek, dan sederhana, tetapi bisa menggambarkan pengalaman, perasaan, imajinasi, dan keindahan yang banyak. Oleh karena itu, diksi dalam puisi harus nsentrat mungkin, yaitu padat dan selalu menimbulkan makna lebih. Dalam hal penggunaan diksi ini, ada dua jenis puisi yang bisa diidentifikasi, yaitu (a) puisi diafan, yaitu puisi-puisi yang diksi-diksinya menggunakan bahasa sehari-hari, namun tetap memiliki makna yang mendalam; (b) puisi prismatis, yaitu puisi-puisi yang menggunakan diksidiksi metaforis yang perlu perenungan intens untuk memahami maknanya.
2) Kalimat
Ciri khas dari aspek kalimat puisi adalah ritmik-semantik, yaitu kalimat dalam pusi selalu menekankan pada aspek ritmik (bunyi) dan semantik (makna). Dalam

PTK- PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PTK- PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0016) PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS TINDAKAN


Pada bab ini akan dibahas tentang kajian teori, peneliti yang relevan, kerangka berpikir, dan perumusan hipotesis. Kajian teori yang dipaparkan adalah teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian yang akan dibahas beserta indikator-indikatornya. Peneliti yang relevan merupakan sistematis tentang hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Kerangka berfikir akan membahas tentang landasan teori dan hipotesis akan berhubungan antar semua variabel dalam penelitian. Hipotesis tindakan akan mengulas tentang jawaban sementara melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dengan hasil yang diharapkan.
A. Kajian Teori
1. Hakikat Keterampilan Berbicara Bahasa Indonesia
Manusia adalah mahkluk sosial dan tindakan pertama dan paling penting adalah tindakan sosial, suatu tindakan tepat saling menukar pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan perasaan dan saling mengekpresikan, serta menyetujui suatu pendirian atau keyakinan. Oleh karena itu maka didalam tindakan sosial haruslah terdapat elemen-elemen umum yang disetujui bersama dan dipahami oleh sejumlah orang merupakan suatu masyarakat, untuk menghubungkan sesama anggota masyarakat maka diperlukanlah komunikasi.
Menurut pendapat Hubbard (1997: 51-72) dalam jurnal international yang berjudul Effective Communication Independent Study menjelaskan bahwa
komunikasi adalah aspek kehidupan yang menjelajahi dengan sangat mendalam, akhirnya menulis ratusan ribu kata tentang subjek vital ini. Keterampilan komunikasi sangat penting dalam setiap lingkup interaksi manusia. Bahkan, ketika semuanya telah dikatakan dan dilakukan, pada tingkat apa pun, komunikasi adalah satu-satunya aktivitas semua orang berbagi.
Komunikasi adalah aktivitas proses yang kompleks, dan menggunakan model akan membantu mengirim dan menerima komunikasi seseorang dan akan membantu memastikan bahwa orang lain menanggapi seperti yang diperlukan dalam keadaan darurat. Segera sebelum, selama, dan segera setelah keadaan darurat, personil tanggap darurat dan harus merespon dengan cepat. Waktu untuk berkomunikasi adalah terbatas, dan sering pesan tertentu yang harus menghasilkan tindakan praktis harus diteruskan kepada kelompok besar. Sebuah model yang sangat sederhana mengirim pesan secara efisien dan memunculkan respon yang diinginkan akan sangat berguna.
Dari pendapat Hubbard dapat disimpulkan bahwa manusia memerlukan komunikasi dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, komunikasi dikatakan berhasil jika pesan yang disampaikan komunikator mendapat tanggapan atau respon dari komunikan dan dalam komunikasi yang sifatnya darurat komunikator harus memperhatikan waktu sehingga pesan yang disampaikan akan mendapat umpan balik yang sesuai.
Dalam pendapatnya Bloomfield (1933: 21) mengemukakan bahwa "tulisan bukanlah bahasa, melainkan hanya sarana untuk mencatat bahasa, semua bahasa diucapkan atau dilisankan (all language were spoken) ". Bahasa merupakan alat komunikasi yang umum dalam masyarakat. Setiap masyarakat memiliki bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa sebenarnya ucapan.
Dalam berinteraksi masyarakat menggunakan bahasa lisan dan tulis. Bahasa lisan adalah alat komunikasi bema simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, selanjutnya saluran untuk memindahkannya adalah udara (St. Y. Slamet, 2009: 32). Untuk dapat berkomunikasi dengan bahasa lisan secara efektif diperlukan keterampilan berbicara dan menyimak. Kesimpulan dari pendapat-pendapat di atas dalam berkomunikasi seseorang memerlukan bahasa yang telah menjadi consensus atau kesepakatan antara penyampai pesan maupun penerima pesan.
Berbicara merupakan kegiatan pembicara merencanakan dan melaksanakan tuturan atau ujaran secara lisan dengan memanfaatkan lambang-lambang fonetis untuk mencapai tujuan atau keperluan tertentu, misalnya mengungkapkan suatu gagasan, mengemukakan suatu pikiran, dan mengekspresikan perasaan. Adapun berdasarkan produknya, berbicara adalah pengiriman pesan tertentu dari seorang pembicara kepada kepada pendengar. Jadi, berbicara pada hakikatnya adalah produksi bahasa lisan yang yang dilakukan oleh seseorang pembicara kepada pendengar untuk mencapai tujuan tertentu (Taryono, tanpa tahun; Tarigan, 2008:15). Berdasarkan batasan berbicara tersebut dapat diketahui bahwa berbicara sangat erat kaitannya dengan menyimak. Berbicara merupakan salah satu bentuk kegiatan berbahasa yang bersifat produktif lisan. Dikatakan produktif karena pembicara mengungkapkan gagasan menggunakan lambang-lambang bunyi, baik yang berupa lafal, intonasi, kosakata/ungkapan, kalimat, dan wacana yang disebut bahasa. Di samping itu, pembicara juga menggunakan lambang nonkebahasaan, baik yang berupa ekspresi wajah (mimik), gerak anggota tubuh (gesture), kontak mata (eye contact), sikap tubuh, maupun posisi pembicara. Hal itu dilakukan karena kegiatan berbicara merupakan kegiatan berkomunikasi langsung antara pembicara dan penyimak. Dengan demikian, ada hubungan timbal balik antara pembicara dan penyimak. Keterampilan berbicara sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dalam proses pembelajaran, keterampilan berbicara sangat diperlukan. Dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk mampu mengungkapkan gagasan dan informasi yang diperolehnya baik kepada guru maupun kepada siswa lain. Apalagi bagi seorang dosen atau guru, keterampilan berbicara sangat diperlukan untuk menyampaikan informasi atau pertanyaan dan jawaban kepada pembelajar.
Bertolak dari kenyataan tersebut, siswa perlu dibekali keterampilan berbicara secara memadai. Sesuai dengan hakikat berbicara sebagai bentuk keterampilan menyampaikan gagasan atau pesan secara lisan kepada orang lain, yang disebut juga sebagai keterampilan berbahasa produktif, maka
pengembangan keterampilan berbicara hams dilakukan dengan memberikan pengalaman langsung kepada pebelajar untuk mengembangkan keterampilan berbicaranya. Oleh sebab itu, diperlukan strategi pembelajaran yang dapat secara langsung memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk mengekspresikan kemampuan berbicaranya dalam menanggapi suatu masalah.
Pada saat berbicara, seseorang tidak dapat secara langsung mengetahui kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya. Dalam kegiatan berbicara, kelebihan dan kelemahan pembicara dapat diketahui secara langsung oleh lawan bicara (penyimak). Melalui pengetahuan tentang kelebihan dan kelemahan tersebut, pembicara dapat mengetahui apa yang harus diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya.
Sesuai dengan kecenderungan tersebut, hal ini juga sesuai dengan prinsip pembelajaran bahasa Indonesia, yakni harus disesuaikan dengan hakikat bahasa sebagai alat komunikasi, maksudnya bahwa pelaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia, termasuk keterampilan berbicara harus dilaksanakan dengan memperhatikan konteks pemakaian bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran keterampilan berbicara harus selalu dilaksanakan secara terpadu dengan keterampilan menyimak (pendekatan terpadu). Hal itu sesuai dengan kenyataan pemakaian bahasa dalam komunikasi.
Dalam kegiatan komunikasi lisan, kegiatan berbicara selalu dilakukan jika ada yang menyimak. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran berbicara berlangsung secara serempak dengan pelaksanaan pembelajaran menyimak. Hal itu sesuai dengan hakikat pembelajaran terpadu bahasa dan sastra Indonesia, yakni konsepsi dan gambaran kegiatan belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia yang dapat membuahkan pengalaman belajar secara terpadu dan bermakna bagi aktivitas kehidupan pembelajar secara konkret.
Keterpaduan dalam pembelajaran itu antara lain ditandai oleh keterpaduan proses dan isi pembelajaran, mated dan proses pembelajaran secara lintas kurikulum, isi pembelajaran dengan fakta yang dipelajari, kesesuaian pengalaman dan pengetahuan awal dengan sesuatu yang dipelajari, pemahaman, keterampilan, keterpaduan aktivitas berpikir secara kritis maupun kreatif, maupun keterpaduan peran pengajar, pebelajar, dan masyarakat (Saryono, diktat tanpa tahun).
Kegiatan pembelajaran berbicara dipadukan dengan pembelajaran menyimak dengan didasarkan pada hakikat menyimak sebagai proses memahami dengan sungguh-sungguh informasi, gagasan, dan pesan yang disampaikan pembicara serta menelaah mated simakan melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi.
Berbahasa merupakan proses keterkaitan antara keterampilan-keterampilan yang ada di dalamnya. Dalam pendapatnya, Tompkis dan Hoskisson (1995: 57) menyebutnya sebagai proses berbahasa yang sangat misterius. Pemaduan kegiatan berbicara dan menyimak dalam pembelajaran berbicara antara lain dapat dilaksanakan dengan menugasi pebelajar untuk

PTK-PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA INDAH PUISI MENGGUNAKAN MODEL DRALADATER BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL

PTK-PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA INDAH PUISI MENGGUNAKAN MODEL DRALADATER BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0015) PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA INDAH PUISI MENGGUNAKAN MODEL DRALADATER BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL

BAB II 
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka
Penelitian pada pembelajaran sastra khususnya membaca puisi telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan secara terstruktur dan sudah cukup mencapai keberhasilan. Peneliti melakukan penelitian pada pembelajaran membaca puisi bertujuan untuk melengkapi penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sekaligus menyempurnakannya.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli berkenaan dengan topik keterampilan membaca puisi yang dapat dijadikan bahan kajian dalam penelitian ini antara lain, Marta (2005), Putera (2006), Ariwibowo (2008), Aminanto (2008), Naryati (2008), dan Ratna (2009).
Penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Membacakan Puisi dengan Latihan Terbimbing Siswa Kelas VIII SMP 13 Semarang oleh Nia Ulfah Marta (2005), menghasilkan simpulan bahwa pembelajaran membaca puisi denga latihan terbimbing dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam membacakan puisi karya sendiri. Hal itu berdasarkan penialaian penguasaan penghayatan, teknik vokal, dan penampilan. Pada pembelajaran siklus I, kelas VII F SMP 13 Semarang mencapai rata-rata nilai 52,60, kemudian pada siklus II nilai rata-rata kelas meningkat sebanyak 20,16 menjadi 72,76. Perilaku siswa selama mengikuti pembelajaran juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada siklus I yang masih cenderung bosan dan malas selama mengikuti pembelajaran, sedangkan pada siklus II kecenderungan itu berubah menjadi antusias mengajukan pertanyaan. Meningkatnya nilai rata-rata dan perubahan perilaku tersebut menunjukkan bahwa penelitian tersebut berhasil.
Persamaan penelitian yang telah dilakukan oleh Nia Ulfa dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada variabel bebasnya sedangkan perbedaannya terletak pada penggunaan media dan model. Nia Ulfa menggunakan teknik latiahan terbimbing sedangkan peneliti menggunakan model Draladater dengan media audiovisual.
Guru sebagai Model Pembelajaran, merupakan judul makalah yang disusun oleh Zulfaisal Putera (2006). Makalah ini menjelaskan tentang bagaimana strategi guru dalam membelajarkan sastra. Selama ini guru selalu merasa kesulitan dalam membelajarkan siswa. Faktor-faktor penyebabnya antara lain : (1) kurang buku penunjang pembelajaran sastra, seperti hukum pegangan guru dan siswa serta kurangnya buku karya sastra sebagai bacaan siswa; (2) kurangnya pengetahuan guru terhadap materi pembelajaran sastra itu sendiri dibanding materi kebahasaan; (3) rendahnya minat siswa dalam pembelajaran sastra di kelas. Simpulan dari makalah ini dalah tidak ada yang susah dari pembeljaran sastra di sekolah. Yang susah adalah kalau kita tidak bersedia belajar dengan teman-teman bahasa khususnya sastra di sekolah maupun di tempat lain.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Zulfaisal dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada jenis bidang penelitiannya, yaitu pembelajaran sastra sedangkan perbedaanya terletak pada jenis penelitiannya. Zulfaisal menggunakan jenis penelitian pengembangan sedangkan peneliti menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Danang Wahyu Aribowo (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Kemampuan Membaca Puisi dengan Teknik Pemodelan Melalui VCD Pembacaan Puisi Pada Siswa Kelas VII G SMP N 40 Semarang menunjukkan bahwa pembelajaran membaca puisi pada siswa kelas VII G SMP N 40 Semarang meningkat setelah mengikuti pembelajaran puisi dengan teknik pemodelan melalui VCD pembacaan puisi. Peningkatan diketahui dari peruabahan hasil prasiklus, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 4,56 atau sebesar 7,39% dari 62,87 menjadi 67,52. Nilai rata-rata membaca puisi setelah dilakukan tindakan siklus I adalah 67,52 dengan kategori cukup. Pada siklus II nilai rata-rata tersebut mengalami peningkatan sebesar 7,93 atau 11,74% menjadi 75,45 dengan kategori baik. Peningkatan nilai rata-rata ini membuktikan keberhasilan penelitian tersebut.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Danang Wahyu dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada jenis penelitian, media dan variabel bebasnya. Perbedaanyan terletak pada penggunaan model pembelajaran. Danang Wahyu hanya menggunakan teknik pemodelan sedangkan peneliti menggunakan model Draladater.
Kemudian Penelitian tindakan kelas tentang keterampilan membaca puisi kembali dilakukan oleh Juhan Apri (2008) dengan judul Peningkatan Keterampilan Membaca Indah Puisi dengan Teknik Latihan Terbimbing dengan Media Reading Box Pada Siswa Kelas VIII SMP 39 Semarang menyimpulkan bahwa pembelajaran membaca puisi dengan teknik latihan terbimbing dan media reading box dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam membacakan puisi.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Juhan Apri dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada variabel bebasnya sedangkan perbedaannya terletak pada penggunaan media dan model pembelajaran. Juhan Apri menggunakan teknik latihan terbimbing dan media reading box sedangkan peneliti menggunakan model Draladater dan media audiovisual.
Naryati (2008) juga melakukan penelitian tentang membaca pusi yang berjudul Peningakatan Keterampilan Membaca Puisi Melalui Permaianan Bingo dengan Teknik Latihan Terbimbing Pada Siswa Kelas VII A Mts. Al-Asror Gunung Pati menghasilkan simpulan bahwa pembelajaran membaca puisi di sekolah tersebut mengalami peningkatan baik dari segi nilai maupun perubahan perilaku.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti bermaksud untuk melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya tentang keterampilan membaca puisi. Peneliti menerapkan model Draladater berbantuan media audiovisual belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pada penelitian Peningkatan Keterampilan Membaca Indah Puisi Menggunakan Model Draladater Berbantuan Media Audiovisual diharapkan mampu meningkatkan keterampilan membaca puisi siswa kelas XB SMA 2 Rembang dalam pembelajaran karena model pembelajaran ini termasuk pembelajaran yang menarik dan siswa akan lebih mudah dalam memahami, memaknai puisi.
Nilun Acik Onkas 2010 dalam jurnal Procedia Social Behavioral Sciences dengan judul World Conference on Education Sciences 2009, Poetry Teaching in Laboratory Setting menyebutkan bahwa pembelajaran membaca puisi yang paling efektif dilakukan di laboratoriun. Siswa melihat pemodelan membaca puisi melalui layar komputer.
Dalam jurnal Oxford Journals Humanities Music and Letter yang berjudul Meaning in Poetry and Music (2011),Wilson menyebutkan bahwa puisi merupakan salah satu cabang dari musik. Perbedaannya, puisi menggunakan referensi dalam kamus sehingga terdapat makna yang pasti, sedangkan musik tidak memiliki kata-kata yang dapat didefinisikan sehingga tidak memberikan makna yang pasti. Persamaan penelitian Wilson (2011) dengan peneliti yaitu sama-sama mengkaji tentang puisi.
Jennife Hennessy, Carmel Hinchion, dan Patricia Mannix McNamara (2010) dalam jurnal Literacy information and Computer Education Journal (LICEJ) dengan judul Poetry and Pedagogy: Ekploring the Opportunity for Epistimological and Affektive Development within the Clasrom menghasilkan simpulan bahwa puisi memberikan kontribusi positif terhadap sikap, kepribadian dan pola pikir.
Dalam English Journal yang berjudul Backing into Ekphrasis: Reading and Writing Poetry about Visual Art, Honor Noorman (2006) menjelaskan bahwa lukisan efektif menjadi media membaca dan menulis puisi.David Hanaur (1998) dalam jurnal School of Education, Tel-Aviv University dalam judul The Genre-Specific Hypothesis of Reading: Reading Poetry and Encyclopedic Items menjelaskan temuannya bahwa membaca puisi merupakan jenis membaca khusus dengan tingkat pemahaman yang lebih tinggi tidak sekadar mengingat informasi isi teks.
Selain itu, jurnal yang berjudul "Plain sense " and "poetic significance " Tenth-grade readers reading two poems yang termuat dalam jurnal Departement of Communication and Social Foundations, University of Victoria (1994), Harker menjelaskan adanya signifikasi memahami puisi. Untuk memahami puisi, siswa perlu membekali diri dengan pengetahuan sehingga bisa memahami puisi.
2.2 Landasan Teori
Teori dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai landasan yang digunakan peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian. Teori-teori tersebut dijadikan sebagai landasan ketika menganalisis data dan membahas permasalahan yang diteliti sehingga keberadaannya dapat memberikan informasi yang jelas. Hal ini sebagaimana dikemukakan Mc. Lauglin (dalam Hadley 1993:43) bahwa fungsi teori adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman.
2.2.1 Hakikat Puisi
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang lebih mementingkan intensitas dan konsentrasi. Intensitas dan konsentrasi artinya hanya dengan

PTK-PENGARUH MODUL BERBASIS CONTEXTUAL TEACHING LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

PTK-PENGARUH MODUL BERBASIS CONTEXTUAL TEACHING LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0014) PENGARUH MODUL BERBASIS CONTEXTUAL TEACHING LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

BAB II 
KAJIAN PUSTAKA


A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat dicapai dengan efektif dan efisien (Suyitno;2006). Nur dan Wikandari, (2000) menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif lebih mengacu pada model pengajaran, siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar.
Ibrahim, dkk (2000), mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan, dan pengembangan keterampilan sosial.
b. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif
Karli dan Yuliariatiningsih (2002: 72) mengemukakan kelebihan model pembelajaran kooperatif, yaitu:
1) Siswa dilibatkan secara aktif dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam suasana belajar mengajar yang bersifat terbuka.
2) Siswa dilatih berbagai sikap, nilai, dan keterampilan-keterampilan sosial untuk diterapkan dan dikembangkan dalam kehidupan di
masyarakat.
3) Siswa tidak hanya sebagai obyek belajar melainkan juga sebagai subyek belajar karena siswa dapat menjadi tutor sebaya bagi siswa lainnya.
4) Siswa dilatih untuk bekerjasama, karena bukan materi saja yang dipelajari tetapi juga tuntutan untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal bagi kesuksesan kelompoknya.
5) Siswa diberi kesempatan untuk memperoleh dan memahami pengetahuan yang dibutuhkan secara langsung.
c. Jenis-Jenis Model Pembelajaran Kooperatif
Model Pembelajaran Kooperatif terdapat bermacam-macam tipe, salah satunya adalah Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw. Aqib (2008) mengatakan bahwa macam pembelajaran kooperatif adalah :
1) Students Teams - Achievement Division (STAD)
STAD merupakan kerja tim yang anggota kelompoknya heterogen dan dalam kegiatan pembelajaran tim dituntut untuk selalu melakukan perbaikan agar berhasil dalam menghadapi kuis.
2) Teams - Game - Tournament (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
3) Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengerjalan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. 2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman - teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman -teman di Universitas John Hopkins (Sudrajat; 2008). Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw didasari oleh pemikiran filosofis " Getting Better Together" yang berarti untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dalam belajar hendaknya dilakukan secara bersama - sama. Dalam bukunya Nur (1999) juga dijelaskan bahwa peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep - konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya.
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Sudrajat; 2008).
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu model belajar yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Hisyam Zaini dkk (2007) mengatakan kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar sekaligus mengajarkan kepada orang lain.
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw ini juga memandang bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata - mata harus diperoleh oleh guru, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya. Jadi keberhasilan belajar dalam model ini bukan hanya ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan itu akan baik bila dilakukan secara bersama - sama dalam kelompok kecil yang terstruktur dengan baik.
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw merupakan pembelajaran yang terdiri dari tim-tim belajar yang heterogen beranggotakan 4 sampai 5 orang peserta didik. Materi pembelajaran diberikan kepada peserta didik dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mengajari bagian tersebut kepada anggota tim yang lain. Jigsaw merupakan teknik pertukaran kelompok dengan kelompok, namun ada perbedaan penting yakni setiap siswa mengajarkan sesuatu. Tiap siswa mempelajari sesuatu, yang bila digabungkan dengan materi yang dipelajari siswa lain membentuk pengetahuan atau ketrampilan yang padu (Siberman ;2004).
Setiap kelompok akan menerima lembar ahli yang berbeda sesuai dengan jumlah anggota kelompok. Setiap anggota kelompok yang mendapat lembar ahli yang sama, bertemu untuk berdiskusi disebut kelompok ahli. Kemudian siswa kembali kepada kelompok asal untuk menerangkan kepada anggota kelompok asal apa yang didapatkan dalam kelompok ahli.
3. Hasil Belajar
a. Pengertian Hasil Belajar
Sudjana (2009) berpendapat bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah dia menerima pengalaman belajar. Sejalan dengan Sudjana, Jihad dan Haris (2009) mengatakan bahwa hasil belajar adalah segala sesuatu yang dimiliki siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dilakukannya. Dimyati dan Mudjiono (1994), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Dari sisi guru, adalah bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa menerimanya. Abdurrahman (1999) hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melakukan kegiatan belajar. Menurut Winkel (1989) hasil belajar adalah perubahan sikap atau tingkah laku setelah anak melalui proses belajar.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah tingkatan perkembangan mental yang mengukur suatu proses tentang pengambilan keputusan untuk mengukur atau menilai kemampuan diri sendiri dengan pengukuran pada tiga ranah hasil belajar yaitu kognitif, afektif, serta psikomotorik. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran kemampuan siswa dalam mengikuti program belajar dalam waktu tertentu. Hasil belajar ini sering dicerminkan sebagai nilai yang menentukan berhasil apa tidak siswa telah belajar diiringi oleh tingkah laku yang lebih baik lagi. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Bloom dalam Sudjana (2009), mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu kognitif, motivasi, dan kualitas belajar. Menurut Slameto (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar seseorang itu adalah Faktor-faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam sebagai contoh Jasmaniah yang meliputi kesehatan, cacat tubuh. Psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan. Kelelahan yang juga ikut menjadi bagian dari faktor internal. Faktor Eksternal yang merupakan faktor hasil belajar yang terakhir dimana dipengaruhi oleh keadaan yang dialami di luar tempat belajar yang biasa dilihat pada, Keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan); Sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah); serta Masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul).
Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal (dari luar individu) adalah pencapaian tujuan belajar yang kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar diri siswa. Faktor internal yang mempengaruhi kegiatan belajar ini adalah faktor psikologis, yang meliputi motivasi, perhatian, pengamatan, dan tanggapan. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan ketrampilan, dan pembentukan sikap (Sudjana; 2009). B. Penelitian yang relevan
1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mardhiyah(2010) dengan judul "Meningkatkan hasil belajar siswa kelas 5 pada mata pelajaran
matematika melalui metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di SDN Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Semester 1 Tahun Ajar 2009/2010". Penelitian ini di laksanakan di SDN Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil siklus 1 dengan rata-rata kelas sebesar 75,81 kemudian diadakan tindak lanjut meningkat menjadi 76,96. Pada siklus 2 yang menjadi perbaikan dari siklus 1 rata-rata kelas menjadi 77,22, ketuntasan belajar yang diperoleh setelah penelitian adalah 100%.
2. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suratmi (2010) dengan judul "upaya meningkatkan prestasi belajar matematika melalui penerapan model cooperatif learning tipe jigsaw pada siswa kelas IV SDN Dengan Kecamatan Winong Kabupaten Pati Semester 1 Tahun Ajar 2011/2012". Penelitian ini dilakukan di SDN Degan Kecamatan Winong Kabupaten Pati, setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil siklus 1 tuntas 59% dengan rata-rata siswa sebesar 7,4 dan siklus 2 yang menjadi perbaikan dari siklus 1 tuntas 100% rata-rata siswa menjadi 9,0 dari KKM yang ditentukan sekolah 7,5.
3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Setiyani (2011) dengan judul "upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik dengan menggunakan metode kooperatif tipe jigsaw pada mate pelajaran siklus akuntansi pokok bahasan jurnal khusus kelas X akuntansi Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011 SMK PELITA Salatiga". Penelitian ini dilakukan SMK PELITA Salatiga, setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil belajar siswa yang tuntas meningkat menjadi 73% pada siklus 1 dan pada siklus II meningkat menjadi 93%.
4. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nenomnanu (2011) dengan judul "upaya peningkatkan hasil belajar matematika pada pokok bahasan persamaan lingkaran denagn menggunakan kooperatif tipe jigsaw bagi siswa kelas XI SMA EFATA SoE Kabupaten TTS Provinsi NTT Semester 1 Tahun Ajar 2010/2011". Kesimpulan dari penelitian ini bahwa model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar.
C. Kerangka Pikir
Hasil observasi sebelumnya menunjukkan bahwa masih rendahnya hasil belajar siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 1 Salatiga, hal ini ditunjukkan dengan masih adanya siswa yang belum mencapai nilai KKM 70 sejumlah 26 siswa. Asumsi dasar yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa adalah penggunaan model pembelajaran yang didominasi dengan model pembelajaran konvensional. Sesuai dengan hal tersebut, maka perlu diadakan suatu tindakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Tindakan yang dilakukan adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang lebih variatif, salah satunya adalah model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw. Penerapan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw dalam penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa di kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 1 Salatiga. Penerapan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut:
Kondisi Awal
Guru belum menggunakan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
Hasil belajar siswa rendah, hanya 28% atau 10 siswa tuntas KKM
Tindakan
Guru menggunakan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
Siklus I : Menggunakan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw pada pokok bahasan pernyataan dan bukan pernyataan serta konjungsi, disjungsi, implikasi, berimplikasi dan ingatannya
Kondisi
Dengan menggunakan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw hasil belajar meningkat
Siklus II:
Menggunakan model Pembelajaran Kooperatif tipe Jjigsaw pada pokok bahasan invers, konvers, kontraposisi serta penarikan kesimpulan


PTK- UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN BERBANTUAN FILM SEBAGAI SUMBER BELAJAR PADA POKOK BAHASAN SIKAP PANTANG MENYERAH DAN ULET

PTK- UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN BERBANTUAN FILM SEBAGAI SUMBER BELAJAR PADA POKOK BAHASAN SIKAP PANTANG MENYERAH DAN ULET

Tuesday, February 23, 2016
PTK-(0013) UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN BERBANTUAN FILM SEBAGAI SUMBER BELAJAR PADA POKOK BAHASAN SIKAP PANTANG MENYERAH DAN ULET

BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Dasar Kemampuan Berpikir Kritis
Setiap manusia telah dikaruniai potensi untuk berpikir. Melalui pembinaan yang tepat, pendidikan, pembelajaran, dan pengamatan yang baik, kemampuan berpikir manusia juga akan dapat berkembang dengan baik.
Salah satu berpikir yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis, karena dalam berpikir kritis siswa dituntut untuk berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menggunakan penalarannya serta membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukannya. Sehingga berpikir kritis itu berbeda dengan berpikir biasa. Berpikir kritis menurut Edgen dan Kauchak, (2012:120) "Berpikir kritis adalah kemampuan dan kecenderungan untuk membuat dan melakukan asesmen terhadap kesimpulan yang didasarkan pada bukti." Sedangkan menurut Fisher, (1997:10) definisi dari berpikir kritis adalah "Interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi". Ia mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses aktif, karena ia melibatkan tanya jawab dan berpikir tentang pemikiran diri sendiri.
Hampir setiap siswa memiliki kemampuan atau ketrampilan berpikir. Kemampuan berpikir akan mengarahkan pada pola bertindak setiap individunya dalam praktek di lingkungan masyarakat kelak. Kemampuan seseorang untuk berhasil dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan berpikirnya. Ada banyak jenis kemampuan berpikir, salah satu diantaranya yaitu kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan ketrampilan seseorang dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan persepsi melalui logical reasoning, analisis asumsi dan interpretasi logis (Hamzah, 2008:134). Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang pemikir kritis akan menggunakan akal pikirannya untuk menelaah sesuatu dengan hati-hati.
Seorang pemikir kritis juga mempunyai kecenderungan batin untuk: (1) Mencari kejelasan masalah; (2) Mencari alasan; (3) Berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin; (4) Menggunakan dan menyebutkan sumber yang handal; (5) Memperhatikan situasi keseluruhan; (6) Berusaha konsisten dengan pokok permasalahan; (7) Berperan teguh akan dasar permasalahan; (8) Mencari alternatif; (9) Berpikiran terbuka; (10) Mengambil atau berganti posisi karena bukti dan alasan yang cukup; (11) Mencari ketepatan secermat mungkin (12) Memecahkan persoalan secara teratur pada bagian-bagian keseluruhan; (13) Menggunakan ketrampilan berpikir kritis; dan (14) Sensitif terhadap perasaan, tahap pengetahuan dan derajat kecanggihan pihak lain (Marzano, et al, 1988).
Karakteristik kemampuan berpikir kritis menurut Carin dan Sound dibagi menjadi beberapa kategori diantaranya yaitu mengklasifikasi, mengasumsi, berhipotesis, membuat kesimpulan, mengukur, merancang sebuah penyelidikan, mengamati, membuat grafik, meminimalkan kesalahan percobaan, mensintesis, mengevaluasi, dan menganalisis (Carin dan Sound, 1989:160).
Dengan kemampuan berpikir kritis, siswa akan dapat menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, mengklasifikasi dan membedakan secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji serta mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Selain itu, siswa juga mampu mengembangkan diri dalam membuat keputusan serta menyelesaikan masalah. Seseorang yang mampu berpikir kritis akan dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara tepat, mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan, mampu secara kreatif dan efisien memilah-milah informasi sehingga sampai pada kesimpulan dan keputusan yang dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan.
Pengembangan dari kemampuan berpikir kristis yang berkaitan dengan kehidupan siswa itu sangat penting. Hal tersebut dapat dilatih dengan mengasah pemahaman pikiran dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, yang dapat menuntun siswa untuk berpikir logis dan rasional.
Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan bekerja, dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah/pencarian solusi. Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin baik pengembangan kemampuan -kemampuan ini, maka kita akan semakin dapat mengatasi masalah-masalah/proyek komplek dan dengan hasil yang memuaskan. (Dikutip dari
http://ediconnect.blogspot.com/2012/03/teori-belajar-berpikir-kritis.html)
2.1.1 Posisi Kemampuan Berpikir Kritis dalam Proses Pembelajaran Siswa
Proses pembelajaran sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Siswa akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya (Muslich, 2009:216).
Ciri-ciri dari proses pembelajaran yang baik menurut Sugandi, (2000:25) antara lain: (1) Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis; (2) Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar; (3) Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang bagi siswa; (3) Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan menarik; (4) Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan bagi siswa; (5) Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran baik secara fisik maupun psikologis.
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Tujuan pembelajaran menurut Sugandi, dkk (2000:25) adalah membantu siswa agar memperoleh berbagai pengalaman, dan dengan pengalaman itulah tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan nilai atau norma berfungsi sebagai pengendali sikap dan prilaku siswa. Tujuan pembelajaran menggambarkan kemampuan atau tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mereka mengikuti suatu proses pembelajaran.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran adalah suatu proses yang melibatkan guru dengan semua komponen tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian. Jadi proses pembelajaran merupakan suatu sistem yang saling terkait antar komponennya di dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Dari beberapa uraian tentang proses pembelajaran di atas, menunjukkan bahwa adanya suatu keterkaitan satu sama lain. Sebagai seorang calon guru, kita harus paham secara mendalam mengenai arti belajar dan pembelajaran secara luas. Dalam suatu proses pembelajaran, aspek berpikir itu merupakan aspek yang sangat penting bagi siswa. Dari hal-hal yang kecil saja, sebagai makhluk rasional, manusia tentu selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Kemudian dalam suatu permasalahan juga pasti dibutuhkan pemikiran-pemikiran cerdas yang berguna untuk memecahkan permasalahan tersebut. Ide dari pemikiran-pemikiran inilah yang bisa disebut dengan hasil dari berpikir secara kritis.
Oleh karena itu, tidak heran jika akhir-akhir ini di dalam suatu proses pembelajaran mulai ditanamkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Disamping karena kemampuan berpikir kritis sangat penting bagi pola pikir siswa, berpikir kritis sekarang juga dipandang luas sebagai suatu kompetensi dasar, seperti membaca dan menulis yang perlu dikuasai (Fisher, 2009). Sehingga tidak heran jika berpikir kritis dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam proses pembelajaran siswa baik di dalam maupun di luar kelas.
Untuk mengasah kemampuan berpikir kritis pada diri siswa, guru tidak mengajarkan secara khusus dalam suatu mata pelajaran. Akan tetapi, dalam setiap mata pelajaran terutama Kewirausahaan aspek berpikir kritis sebaiknya mendapatkan tempat yang utama. Maksudnya adalah dalam setiap proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas, harus mampu menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman, pengetahuan serta ketrampilan dari para siswa untuk bisa memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan nyata.
Kemampuan berpikir kritis yang baik, dapat membentuk sikap-perilaku yang rasional. Jadi, meningkatkan kemampuan berpikir kritis sangat perlu dan penting untuk dikembangkan terlebih pada masa sekarang yang penuh dengan permasalahan-permasalahan atau tantangan-tantangan hidup. Dengan demikian tidak berlebihan apabila dalam proses pembelajaran guru seringkali mengharuskan para siswa untuk mempunyai kemampuan berpikir kritis, agar para siswa juga mampu menghadapi berbagai permasalahan atau tantangan hidup.
Tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis menurut Zaini, dkk diantaranya: (1) mengembangkan kecakapan menganalisis; (2) mengembangkan kemampuan mengambil kesimpulan yang masuk akal dari pengamatan; (3) memperbaiki kecakapan menghafal; (4) mengembangkan

PTK-PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TS-TS) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MATERI POKOK SEGI EMPAT KELAS VII

PTK-PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TS-TS) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MATERI POKOK SEGI EMPAT KELAS VII

Sunday, February 21, 2016
PTK-(0012) PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TS-TS) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MATERI POKOK SEGI EMPAT KELAS VII


BAB II 
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN


A. Landasan Teori 
1. Belajar
a. Pengertian Belajar
Beberapa pengertian mengenai belajar:
Menurut kamus Oxford Learner's Pocket : Learning is knowledge gained by study, (belajar adalah pengetahuan yang didapat dari belajar).23
Belajar merupakan perubahan kelakuan (a change in behavior), seperti pendapat Ernes R. Hilgrad:
"Learning is the process by which an activity originates or is Changde through Training procedures (whether in the laboratory or in the natural Environment) as distinguished from changes by factors not attributable to training",
(seseorang belajar apabila ia dapat melakukan sesuatu yang tidak dap seb kelakuannya berubah, sehingga lain caranya menghadapi sesuatu situasi dari sebelum itu).24
Muhibin Syah dalam bukunya Psykologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru mendefinisikan belajar sebagai berikut:
Any relatively permanent change in an organism's behavioral repertoire that accurs as result of experience.
(belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/ keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai pengalaman).25
Sedangkan menurut Slameto, belajar yaitu suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperopleh suatu perubahan tingkah laku yang bam secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.26
Batasan-batasan diatas secara umum bisa disimpulkan, belajar adalah perubahan tingkah laku yang secara relatif tetap yang terjadi karena latihan dan pengalaman. Sebagimana sabda Rosulullah SAW:
Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SA W bersabda: Barang Siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu maka, maka Allah akan memudahkan baginya menuju surga. (HR. Muslim) "27
b. Prinsip - prinsip Belajar
Diantara prinsip belajar universal yang dirumuskan UNESCO melalui 4 pilar pendidikan (1996) yaitu:
1) Learning to know adalah prinsip belajar tidak hanya berorientasi kepada produk/hasil belajar, akan tetapi harus berorientasi kepada
proses belajar.
2) Learning to do adalah prinsip belajar tidak hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan,
akan tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan akhir penguasaan kompetensi.
3) Learning to live together adalah belajar untuk kerjasama.
4) Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang "menjadi dirinya sendiri" dengan kata
lain belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggungj awab sebagai manusia.2S
2. Motivasi Belajar
a. Pengertian Motivasi Belajar
Istilah motivasi berasal dari kata latin "movere" yang berarti "menggerakkan". Berdasarkan pengertian ini makna motivasi menjadi berkembang.
Menurut Oemar Hamalik dalam bukunya Proses Belajar Mengajar menerangkan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Sedangkan Martinis Yamin dalam bukunya Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi menjelaskan motivasi belajar merupakan daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah ketrampilan dan pengalaman. Motivasi mendorong dan mengarah minat belajar untuk tercapainya suatu tujuan.30 Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan yang memungkinkan peserta didik untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Dorongan itu hanya mungkin muncul dalam diri peserta didik manakala peserta didik merasa membutuhkan (need). Peserta didik yang merasa butuh akan bergerak dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhannya.31
b. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Setidak - tidaknya terdapat enam faktor yang didukung oleh sejumlah teori psikologi dan penelitian terkait yang memiliki dampak subtansial terhadap motivasi belajar peserta didik. Keenam faktor yang dimaksud yaitu (1) Sikap, (2) Kebutuhan, (3) Rangsangan, (4) Afeksi, (5) Kompetensi, (6) Penguatan.
Berikut disajikan secara ringkas untuk memperhatikan bagaimana masing-masing faktor motivasi memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku dan belajar peserta didik dan juga bagaimana faktor-faktor tersebut dapat dikombinasikan ketika guru merancang strategi motivasi dalam pembelajaran.
1) Sikap
Sikap memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku dan belajar peserta didik karena sikap itu membantu peserta didik dalam merasakan dunianya dan memberikan pedoman kepada perilaku yang dapat membantu dalam menjelaskan dunianya. Sikap merupakan produk dari kegiatan belajar. Sikap diperoleh melalui proses seperti pengalaman, pembelajaran, identifikasi, perilaku peran (guru-murid, orang tua-anak, dan sebagainya). Karena sikap itu dipelajari, sikap juga dapat dimodifikasi atau diubah. Seorang guru harus meyakini sikapnya akan memiliki pengaruh aktif terhadap motivasi belajar anak pada saat awal pembelajaran.
2) Kebutuhan
Kebutuhan merupakan kondisi yang dialami individu sebagai sesuatu kekuatan internal yang memandu peserta didik untuk mencapai tujuan. Semakin kuat seseorang merasakan kebutuhan, semakin besar perasaan yang menekan dalam memenuhi kebutuhannya. Keinginan biasanya mengarahkan pada kepuasan atau kenikmatan. Apabila peserta didik membutuhkan atau menginginkan sesuatu untuk dipelajari, mereka cenderung sangat termotivasi. Gum menumbuhkan motivasi belajar berdasarkan pada kebutuhan yang dirasakan oleh peserta didik.
3) Rangsangan
Rangsangan merupakan perubahan di dalam persepsi atau pengalaman dengan lingkungan yang membuat seseorang bersifat aktif. Rangsangan secara langsung membantu memenuhi kebutuhan belajar peserta didik apabila peserta didik tidak memperhatikan pembelajaran, maka sedikit sekali belajar akan terjadi pada peserta didik tersebut. Proses pembelajaran dan materi yang terkait dapat membuat sekumpulan kegiatan belajar. Setiap peserta didik memiliki keinginan untuk mempelajari sesuatu dan memiliki sikap positif terhadap materi pembelajaran. Namun apabila mereka tidak menemukan proses yang merangsang, maka perhatiannya akan menurun. Pembelajaran yang tidak merangsang mengakibatkan peserta didik yang pada mulanya termotivasi untuk belajar pada akhirnya menjadi bosan terlibat dalam pembelajaran.
4) Afeksi
Konsep afeksi berkaitan dengan pengalaman emosional (kecemasan, kepedulian dan kepemilikan) dari individu atau kelompok pada waktu belajar. Peserta didik merasakan sesuatu saat belajar, dan emosi peserta didik tersebut dapat memotivasi perilakunya kepada tujuan. Guru hendaknya memahami bahwa emosi peserta didik bukan saja mempengaruhi perilaku melainkan juga mempengaruhi cara berfikirnya. Afeksi dapat menjadi motivator intrinsik. Apabila emosi bersifat positif pada waktu kegiatan belajar berlangsung, maka emosi mampu mendorong peserta didik bekerja keras. Integritas emosi dan berfikir peserta didik itu dapat mempengaruhi motivasi belajar dan menjadi kekuatan terpadu yang positif, sehingga akan menimbulkan kegiatan belajar yang efektif.
5) Kompetensi
Manusia pada dasarnya memiliki keinginan untuk memperoleh kompetensi dari lingkungannya. Teori kompetensi mengasumsikan bahwa peserta didik secara alamiah bekerja keras untuk berinteraksi dengan lingkungannya secara afektif. Di dalam pembelajaran, rasa kompetensi pada peserta didik itu akan timbul apabila menyadari bahwa pengetahuan atau yang diperoleh telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Apabila peserta didik mengetahui bahwa dia merasa mampu terhadap apa yang telah dipelajari, dia akan merasa percaya diri. Hal ini datang dari kesadaran peserta didik bahwa dia secara intensional telah menguasai apa yang telah dipelajari berdasarkan pada kemampuan dan usahanya sendiri.
Hubungan antara kompetensi dan kepercayaan diri adalah saling melengkapi. Kompetensi memberikan peluang pada kepercayaan diri untuk berkembang, dan memberikan dukungan emosional terhadap usaha tertentu dalam menguasai ketrampilan dan pengetahuan baru. Perolehan kompeten dari belajar baru itu selanjutnya menunjang kepercayaan diri, yang selanjutnya dapat menjadi faktor pendukung dan motivasi belajar yang lebih luas.
6) Penguatan
Salah satu hukum psikologi paling fundamental adalah prinsip penguatan (reinforcement). Penguatan merupakan peristiwa yang mempertahankan atau meningkatkan kemungkinan respon. Para pakar psikologi telah menemukan bahwa perilaku seseorang dapat dibentuk kurang lebih sama melalui penerapan penguatan positif atau negatif. Penggunaan penguatan yang efektif, seperti penghargaan terhadap hasil karya peserta didik, pujian,