SKRIPSI PRINSIP PENGHORMATAN HAK ATAS TANAH DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0041) SKRIPSI PRINSIP PENGHORMATAN HAK ATAS TANAH DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A.Kerangka Teori 
1. Tinjauan Tentang Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah
Hak atas tanah yang dimiliki seseorang sesuai dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak lain tanpa alas hak yang sah, dalam segala bentuk (fisik maupun nonfisik). Demikian juga hak atas tanah seseorang tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, termasuk oleh penguasa. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tampak usaha untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum yaitu dalam Pasal 36 ayat (1) setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum, ayat (2) tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, dan ayat (3) hak milik mempunyai fungsi sosial.
Sedangkan berkenaan dengan pengambialalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 37 ayat (1) bahwa pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ayat (2) apabila suatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain (Maria S.W. Sumardjono, 2008: 269).
Pedoman dalam pengaturan pengadaan tanah hendaknya mengakomodasikan tiga hal, yakni:
a. Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam bentuk penghapusan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan.
b. Keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat.
c. Pemberdayaan masayrakat melalui pengembangan dan pelaksanaan good governance (partisipasi, transparasi, akuntabilitas dan rule of law) (Maria S.W. Sumardjono, 2008: 271).
Kebijakan pemerintah mengenai pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, semuanya mengarah pada prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Secara mutlak ini harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemerintah, agar tidak menimbulkan rasa sakit kepada pemilik atau pemegang hak atas tanah yang menyerahkan atau melepaskan hak atas tanahnya dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Walaupun dilaksanakan oleh pemerintah yang mewakili negara dalam penerapan konsep hak menguasai negara atas tanah yang menjadikan negara sebagai pengatur peruntukan, pemeliharaan, pemberian hak atas tanah dan sebagainya, yang merupakan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945, dimaksudkan bahwa hak menguasai negara tersebut harus dapat memberikan kemakmuran kepada seluruh rakyat Indonesia.
Selama ini peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pengadaan tanah belum mengakomodasikan paradigma pembangunan tersebut. Hal ini tampak dari ketidakesuaian antara bentuk pengaturan dan materi muatannya (Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006), karena materi muatan terkait dengan hak dasar manusia terhadap tanah yang dijamin oleh UUD 1945, maka bentuk peraturannya adalah undang-undang (Maria S.W. Sumardjono, 2008: 271).
Dalam proses pengadaan tanah yang terjadi selama ini, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan pasca pengadaan tanah tidak memperoleh perhatian. Proses pengadaan tanah dianggap telah selesai dengan diserahkannya ganti kerugian, dilepaskannya hak atas tanah dan diberikannya hak atas tanah kepada pihak yang memerlukan tanah tersebut. Bahwa jika kemudian ternyata kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat yang terkena dampak itu menurun bila dibandingkan dengan keadaan pra-pengadaan tanah, masyarakat seolah-olah dibiarkan untuk mencari solusinya sendiri.
2. Tinjauan TentangAsas-Asas Pengadaan Tanah UntukKepentingan Umum
Sebagai cermin penghormatan terhadap Hak Atas Tanah, pelepasan atau pembebasan Hak Atas Tanah didasarkan pada asas-asas hukum yang berlaku.
a. Asas-Asas Mengenai Pengadaan Tanah
Menurut Boedi Hersono asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum tanah nasional kita kepada pemegang hak atas tanah, adalah (Boedi Harsono, 2005: 342) :
1) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional;
2) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal),tidakdibenarkan, bahkandiancamdengansanksipidana (Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960);
3) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada dasar hukumnya;
4) Bahwaolehhukumdisediakanberbagaisarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada :
a) Gangguanolehsesama anggota masyarakat: gugatanPerdata melaluiPengadilan Negeri ataumemintaperlindungankepada Bupati atau Walikotamadya menurut Undang-Undang Nomor 51 Prp
1960 di atas;
b) Gangguan dari penguasa : gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
5) Bahwa dalam keadaan biasa,diperlukanolehsiapapundan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang, harus melalui musyawarah untuk kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya;
6) Bahwa sehubungan dengan apa yang disebut di atas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada pengadilan negeri, seperti yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata;
7) Bahwa dalam keadaan memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukanuntukmenyelenggarakankepentinganumum, dantidak mungkin menggunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secarapaksa, dalamartitidakmemerlukanpersetujuanpemegang haknya, denganmenggunakan acarapencabutanhak,yang diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
8) Bahwadalamperolehanataupengambilantanah, baikatas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, bangunan dan tanaman milik pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan;
9) Bahwa dalam bentuk dan jumlah imbalan atau ganti-kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
b. Asas-asas dalam pengadaan tanah
Menurut Maria S.W. Sumardjono asas-asas dalam pengadaan tanah, yaitu (Maria S.W. Sumardjono, 2008: 282-284) :
1) Asas Kesepakatan.
Seluruh kegiatan pengadaan tanah, terutama dalam bentuk pelepasan hak atas tanah beserta segala aspek hukumnya seperti persoalan ganti kerugian, bentuk ganti kerugian, pemukiman kembali, kondisi sosial ekonomi, dan lain-lain harus didasarkan pada asas kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.
2) Asas Kemanfaatan.
Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan.
3) Asas Keadilan.
Kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik
4) Asas Kepastian Hukum.
Pelaksanaan pengadaan tanah harusmemenuhiasaskepastian
hukum,yangdilakukandengancara yangdiaturdalam peraturan perundang-undangan di mana semua pihak dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajibannya masing-masing.
5) Asas Keterbukaan.
Dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti (bila ada), dan hak masyarakat untuk menyampaikan keberatan.
6) Asas Keikutsertaan atau Partisipasi.
Peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam setiap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.
7) Asas Kesetaraan.
Asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya akan dilepaskan atau dicabut harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan tanah.
8) Asas Minimalisasi Dampak Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi.
Pengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk meminimalkan dampak negatif atau dampak penting yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan tersebut.
Asas-asas sebagaimana yang diuraikan di atas dimaksudkan untuk melindungi hak setiap orang atas tanahnya, agar tidak dilanggar atau dirugikan ketika berhadapan dengan keperluan negara akan tanah untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah harus dilandasi oleh asas-asas hukum yang berlaku, karena asas-asas hukum tersebut dapat menghindarkan aparat penegak hukum untuk bertindak menyimpang. Sehingga pelaksanaan pengadaan tanah bagi


Artikel Terkait

Previous
Next Post »