SKRIPSI PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0042) SKRIPSI PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


BAB II
 TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA


A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945. menurut Philipus M. Hadjon dkk., kedua pasal tersebut mengandung tiga kaidh hokum, yaitu:
1. Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan-badan kehakiman
(peradilan) yang berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung;
2. Bahwa susunan dn kekuasaan kehakiman itu akn diatur lebih lanjut;
3. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim,demikian pula
pemberhentiannya juga akan diatur lebih lanjut.3
Dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 dikemukakan "Kekuasaan Kehakiman ialh kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim." Dari penjelasan tersebut nyatalah bahwa kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.
3 Philipus M. Hadjon Et. Al: Pengantar limit Hukum administrasi Indonesia (intoduction To The Indonesian Administrative Law) Cet. Ketujuh, Gajah Mada uniiversity Press, Bandung 201, hal 293
Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah departemen.
Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami pembahan pula karena hams disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimbah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pembahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menumt Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakimandiaturdenganperaturanperundang-undangandemiterciptanyadan terselenggaranya suatu Negara Hukum.
B. Pelaksanaan Dan Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice),4 dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak
4 UU No.4 Tahun 2004, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas kebebasan; asas larangan menolak memeriksa dan mengadili perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas penyelesaian perkara secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar "Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri", diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal 22 Maret 2000 di Jakarta, Varia Peradilan, No. 178, Juli 2000, hal. 118.
tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice)5 Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dalam penyelenggarannya diserahkan kepada badan peradilan yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24, dalam pelaksanaan kehakiman yang merdeka yang diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, begitu pula Mahkamah Agung merupakan Peradilaan Negara tertinggi, penyelenggraan kekuasaan kehakiman oleh badan peradilan memiliki beberapa prinsip atau azas yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
1. azas bahwa pengadilan tidakboleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih atau alasan bahwa
hukum kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili;
2. peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan berbiaya ringan;
5 Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan seminar "P ember day aan dan Tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri", IKAHI, Varia Peradilan, No. 178, Mi 2000, hal.118
Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret. 6 Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.7 Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah. 8
C. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara
6 Moh. Koesnoe,1997,Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966, Varia
Peradilan, No. 143 Tahun XII, h. 138
7 Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks
Pembagian Kekuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII
Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman, h. 156-170.
Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule ofLawItu ?, Bandung: Alumni, h.45
negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK. Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah.
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama, Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »