SKRIPSI PENCABUTAN DELIK ADUAN DALAM KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA

Sunday, April 03, 2016
HUKUM (0033) SKRIPSI PENCABUTAN DELIK ADUAN DALAM KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA


BAB II
HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, aturan-aturan hukum yang digunakan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas pada penggunaan ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sudah banyak terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Meskipun pada waktu itu belum ada kebijakan formulasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga, tidaklah berarti perbuatan kekerasan tersebut dapat lolos dari jerat hukum.
Sebelum UUPKDRT diundangkan, aturan-aturan hukum yang dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk memidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah KUHP. Adapun pasal-pasal mengenai tindak pidana dalam KUHP yang dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah pasal-pasal yang menentukan adanya syarat khusus untuk dapat terjadinya tindak pidana, seperti adanya hubungan ayah-anak atau ibu-anak, maupun pasal-pasal yang tidak menentukan adanya syarat-syarat khusus tersebut, misalnya pembunuhan dan penganiayaan.
Beberapa perbuatan yang termasuk dalam lingkup kekerasan dalam rumah tangga sudah dirumuskan sebagai perbuatan pidana dalam KUHP, misalnya Pasal 304 sampai dengan Pasal 309, isi dari pasal-pasal tersebut merumuskan tindak
pidana terhadap anak. Pasal 356 ayat (1) yang mengatur tentang tindak pidana terhadap perempuan sebagai istri yang hanya terbatas pada kekerasan fisik. Pasal 285 - 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual, pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan. Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP, maka tidak seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang. Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum, sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Namun pada prakteknya hal itu menjadi tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakukan-perlakuan kekerasan.
Oleh karena itu dalam rangka untuk menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, maka pada tahun 1984 negara mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 yang mengesahkan konvensi mengenai PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Against Women). Upaya normatif dari negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan (termasuk kekerasan terhadap istri), tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang secara lebih tegas dan luas merumuskan kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu tindak pidana dan dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami istri, tetapi juga pihak lain.
UUPKDRT tidak hanya mengatur hukum materilnya saja, tetapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal-hal tertentu yang tidak diatur dalam UUPKDRT, maka akan menggunakan KUHAP). Selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan atau dipakai dalam UUPKDRT.
Hal tersebut diatur didalam Pasal 103 KUHP mengenai pasal terakhir dari buku I, yaitu bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.
Dengan adanya ketentuan dalam pasal ini, berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam bab yang ke IX dari Buku I KUHP (Pasal 86 s/d Pasal 102 hanya berlaku untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP ini saja, sedangkan sebaliknya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Bab I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII (Pasal 1 s/d Pasal 85) selain untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP, berlaku pula untuk menerangkan hal-hal yangtersebut dalam Undang-Undang dan peraturan hukum lainnya, kecuali bila Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Ordonansi itu menentukan peraturan-peraturan lain.
Dengan demikian maka misalnya ketentuan-ketentuan mengenai apa yang dimaksud dengan "malam" (Pasal 98), "anak kunci palsu" (Pasal 100), dan "hewan" (Pasal 101), semua termuat dalam bab IX, itu hanya berlaku untuk menerangkan kata-kata yang tersebut dalam KUHP saja, sedangkan untuk undang-undang yang lain tidak. Sebaliknya ketentuan-ketentuan misalnya mengenai lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam undang-undang (Pasal 1 s/d Pasal 9), pengecualian, pengurangan dan penambahan hukuman (Pasal 44 s/d Pasal 52), percobaan (Pasal 53 s/d Pasal 54) dan gugurnya hak menuntut hukuman dan gugurnya hukuman (Pasal 76 s/d Pasal 85) yang masing-masing tersebut dalam Bab I, III, IV dan VIII itu selain untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP, pun berlaku pula untuk menerangkan ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut didalam undang-undang lainnya, misalnya : Undang-Undang Lalu-lintas Jalan, Undang-Undang Materai, Undang-Undang Senjata Api, Undang-Undang Penyakit Anjing Gila, Undang-Undang Obat Bius dan sebagainya. Namun demikian ada kecualinya ialah dalam hal apabila dalam Undang-Undang Lalu-lintas Jalan dan sebagainya itu menentukan paraturan lain.
Dalam UUPKDRT ditentukannya beberapa pasal yang termasuk ke dalam delik aduan, maka ketentuan dalam Bab VII tentang Memasukkan dan Mencabut Pengaduan Dalam Perkara Kejahatan, yang Hanya Boleh Dituntut Atas Pengaduan, berlaku untuk UUPKDRT.
Dalam UUPKDRT tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tenggang waktu seseorang diperbolehkan untuk mengadu dan tenggang waktu seseorangdiperbolehkan untuk mencabut pengaduannya. Sehingga mengenai tengang waktu tersebut berlakulah Pasal 74 KUHP tentang tenggang waktu diperbolehkannya untuk mengadu dan Pasal 75 KUHP tentang tenggang waktu mencabut pengaduan.
Selain itu tidak adanya dalam UUPKDRT ketentuan yang mengatur mengenai orang-orang yang turut serta melakukan tindakan kekerasan. Sehingga jika adanya seseorang yang membantu atau turut serta melakukan tindakan kekerasan tersebut, maka ketentuan yang dipakai untuk menghukum atau memberikan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Misalnya jika orang tua yaitu suami bersama dengan istrinya melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya, maka untuk memberikan sanksi atau hukuman kepada suami atau istri tersebut, dipakailah ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP.
B. Proses Penyidikan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pada pemeriksaan tingkat penyidikan dijumpai beberapa kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yaitu : penyelidikan, penyidikan, upaya paksa dan pembuatan berita acara. Adapun alasan aparat penegak hukum untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut adalah karena telah terjadi suatu tindak pidana (perbuatan pidana).
Berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka pihak penyidik (kepolisian) dapat melakukan segera tindakan yaitu berupa tindakan penyelidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan,pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum29.
Dalam hal apabila terjadi suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka tindakan segera yang dilakukan oleh penyidik yaitu disaat atau tidak beberapa lama kemudian, dalam hal ini tidak dibuat jangka waktunya untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa itu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang berhubungan dengan peristiwa itu, sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Pasal 102 KUHAP merumuskan :
1. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang erjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana ajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
2. Dalam hal terangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, enyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalamrangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2),penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidiksedaerah hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 102 KUHAP diatas, maka menjadi keharusan bagi penyidik untuk segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan sebagai kewajiban baik keadaan tertangkap tangan maupun dalam keadaan tidak tertangkap tangan.
Keharusan bagi penyidik (kepolisian) untuk segera melakukan tindakan penyelidikan tidak saja hanya diatur didalam KUHAP tetapi dalam UUPKDRT
juga mengatur mengenai hal tersebut. Dalam Pasal 19 UUPKDRT disebutkan bahwa :
"Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga".
Pasal 19 UUPKDRT mempertegas kembali apa yang telah diatur didalam Pasal 102 KUHAP, bahwa pihak kepolisian (baik itu penyelidik maupun penyidik) yang mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga segera melakukan penyelidikan guna untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan penyidikan dan membuat terangnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga tersebut dan dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Jadi setiap peristiwa yang diketahui atau dilaporkan atau yang diadukan kepada kepolisian, belum pasti merupakan suatu tindak pidana. Apabila hal demikian terjadi maka diperlukan suatu proses penyelidikan dimana pejabat polisi tersebut harus berlaku sebagai penyelidik yang wajib dengan segera melakukan tindakan yang diperlukan yaitu tindakan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP. Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan.
Penyelidik yang telah melaksanakan wewenangnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP membuat berita acaranya dan melaporkannya kepada penyidik di daerah hukumnya. Penyelidik yang menjalankan tugasnya wajib menunjukkan tanda pengenalnya serta mereka di

Artikel Terkait

Previous
Next Post »