SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 1999

Sunday, April 03, 2016
HUKUM (0038) SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 1999

BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN


A. BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN.
Sampai saat ini masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di tingkat Pengadilan Negeri dan kemudian kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan berikutnya.
Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan (RKT) merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi. Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu. Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki
izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya kegiatannya adalah kegiatan ilegal.
Mengenai istilah Tindak Pidana (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu) diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda. Sekalipun demikian tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht -WvS), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dengan UU No. 1 tahun 1981. 27
Para ahli hukum nampaknya belum memiliki
kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 (tujuh) istilah
untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan
yang dapat dihukum, delik dan Iain-lain28 Namun dalam peraturan perundang-undangan
istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana. Secara
sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang, termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP (UU No. 1 tahun 1981) tindak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur dalam pasal 104 - pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai Pelanggaran diatur dalam Pasal 489 - Pasal 569 KUHP. Mengenai pengaturan perundangan tentang dimana terdapat aturan perbuatan yang dilarang itu , secara umum dikategorikan dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 29
1. Tindak Pidana Umum
Dimana secara umum aturan mengenai perbuatan yang dilarang itu diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3 buku,49 Bab, serta 569 Pasal-Pasal yang tercantum dalam KUHP.
2. Tindak Pidana Khusus
Tindak Pidana khusus ini adalah tindak pidana yang pengaturannya telah dibuat secara khusus diluar ketentuan KUHP, seperti:
a. UU Kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999
b. UU Tindak Pidana Korupsi yang ditur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 jo. UU
Nomor 21 tahun 2000.
Adapun yang menjadi dasar hukum diaturnya beberapa tindak pidana secara khusus diluar KUHP adalah sebagimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 103
KUHP yang berbunyai : "Ketentuan dari delapan bob yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.
Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan
adalah bahwasanya dalam semua pasal yang ada dalam KUHP, kita tidak akan menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan bam dalam hukum pidana Indonesia yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya:
a. UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya. (Selanjutnya UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya)
b. UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan LingkunganHidup.
c. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
d. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pengganti
UUNo. 4 tahun 1982).
Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan
khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana
Umum (KUHP - UU No. 1 tahun 1981). Bila kita cermati dalam UU
Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengumsan yang bersangkut paut denganhutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam.
Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang
disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah
segala bentuk tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang
berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang
dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem
pengumsan hutan dan menyebabkan kemsakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem
penyangga kehidupan. Berbicara mengenai
tindak pidana kehutanan sangat eratlah kajiannya dengan kemsakan hutan . Dalam berbagai peraturan pemndangan di bidang kehutanan istilah "kemsakan hutan"ini mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, pemsakan utan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, pemsakan hutan yang berdampak negatif (memgikan)adalah suatu tindakan nyat melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan/tanpa adanya persetujuan pemerintah.
Kemsakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif didalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diantara sifat negatifnya digolongkan sebagai tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang.
Berbagai faktor penyebab timbulnya kemsakan hutan diantaranya yaitu:
a. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum
meliputi, manusia dan atau badan hukum.
b. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum
meliputi, manusia dan/atau badan hukum.
c. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam (misalnya gempa
bumi,letusan gunung, banjir, dan sebagainya).
d. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon.
Dari keseluruhan makna kerusakan hutan maka istilah perusakan hutan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana adalah :
a. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan yang bertentangan
dengan aturan didalam hukum perundang-undangan yang berlaku;
b. Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah
dirumuskan didalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus.
Antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.
Dalam Pasal 50 UU kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan. Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada Pasal 38 ayat 4 disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU Kehutanan tentang ancaman hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam Pasal 50 dan Pasal 38
ayat (4) UU Kehutanan. Dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 UU Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya juga dicantumkan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam Pasal 40 ditegaskan tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam Pasal 40 ayat (5) disebutkan istilah tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana tindak pidana di bidang lainnya.
Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa Pasal menyangkut Ketentuan Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 46 ayat (1) dan (2). Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa penulisan karya ilmiah ini lebih difokuskan pada persoalan kehutanan yang terkait masalah Ilegal Logging olek karenanya pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang erat kaitannya dengan pelanggaran yang sering terjadi dalam bidang kehutanan antara lain :
a. masalah Ilegal logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar
b. masalah surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut hams
disertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang
bersangkutan
c. mengenai masalah Surat Keterangan Hasil Hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang
akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh
atau memiliki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah
setempat.
Masalah Ilegal Logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar yang dilakukan tanpa ijin dari instansi/pejabat kehutanan, digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Termasuk, perbuatan penebangan liar dilakukan subjek hukum yang telah memperoleh ijin menebang namun melampaui batas/target yang diberikan instansi/pejabat kehutanan.30
Pengertian Ilegal Logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahas inggris. Dalam The Contemporary English Indonesia Dictionary, illegal artinya tidak sah, dilarang, atau bertentangan dengan hukum atau haram. Dalam black's Laws Dictionary illegal artinya "forbidden by law;unlawful" artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. "Log" dalam bahasa Inggris artinya menebang kayu dan membawa ketempat gergajian.31


Artikel Terkait

Previous
Next Post »