SKRIPSI PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0043) SKRIPSI PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA


A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu "stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya kini belum ada keseragaman pendapat.
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya "Pelajaran Hukum Pidana Bagian I" yang mengutip pandangan dari para pakar hukum tentang tindak pidana, menjelaskan pengertian straafbaar feit dan istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Th 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono Prodjodikoro (lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia).
2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana", H.J van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950 (baca
pasal 14 ayat (1)).
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delicum" juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit,. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana I". Moeljatno
pernah juga menggunakan istilah ini,sepertipada judul buku beliau "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh kami dalam buku beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana". Begitu juga Schravendijk dalam bukunya "Buku Pelajaran Tentang
Hukum Pidana Indonesia".
6. Perbuatan yang dapat dihukum,digunakan oleh Pembentukan Undang-undang dalam Undang-undang No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3).
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-Azas Hukum Pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit (Belanda).
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Secara literlijk kata "straf” artinya pidana, "baar" artinya dapat atau boleh dan "feit" adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.
Untuk kata "baar" ada 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Secara literlijk bisa kita terima. Sedangkan untuk kata feit digunakan 4 istilah, yakni tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk, feit memang lebih pas untuk diterjemahkan dengan perbuatan. Kata pelanggaran telah lazim digunakan dalam perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah overtreding sebagai lawan dari istilah misdrijiven (kejahatan) terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam buku III dan buku II KUHP.
Sedangkan untuk kata "peristiwa", menggambarkan pengertian yang lebih luas dari perkataan perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum pidana. Baru menjadi penting dalam hukum pidana, apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif).
Untuk istilah "tindak" memang telah lazim digunakan dalam aturan perundang-undangan kita, walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang positif atau negatif (nalaten). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/ disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sedangkan perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).
Sedangkan istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan istilah strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delicticum (Latin), yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit.
Secara umum istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feiten een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana formil). Demikian juga istilah feit dalam banyak rumusan norma-norma tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Nedherland Indie/Hindia Belanda), misalnya Pasal: 1, 44, 48, 63, 64 KUHP, selalu diterjemahkan oleh para ahli hukum kita dengan perbuatan, dan tidak dengan tindakan atau peristiwa maupun pelanggaran.
Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit (baca teks pidato beliau pada saat Upacara Dies Natalis ke VI, 1955 Universitas Gajah Mada yang berjudul "Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Jawab Pidana Dalam Hukum Pidana"), walaupun istilah delik pernah juga digunakan oleh beliau.
Begitu juga Ruslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana, misalnya dalam buku beliau "Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana".
Istilah perbuatan pidana ini pernah juga digunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam UU No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kesatuan Acara Pengadilan Sipil (baca Pasal 5).
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut". Adapun istilah perbuatan pidana lebih cepat, alasannya adalah:
■ Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),artinya larangan ituditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
■ Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
■ Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konfkrit yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1983: 54).
Disamping mengemukakan istilah yang tepat yakni perbuatan pidana, Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana adalah suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan:
■ Untukistilahperistiwapidana,perkataanperistiwa menggambarkan hal yang kongkrit (padahal strafbaarfeit sebenarnya abstrak) yang menunjuk pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematianitu barupenting jika peristiwa matinyaorang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain.
■ Sedangkan istilah tindak pidana, perkataan "Tindak" tidak menunjuk pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataanperistiwayang jugamenyatakankeadaankongkrit,
seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak (Moeljatno,1983: 55).
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini sering disebut pandangan dualisme, juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin.
Pompe, dalam Lamintang yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu "tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah sebagai tindakan yang dapat dihukum” (Lamintang, 1990: 174).
Vos, dalam Martiman merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan (Martiman P., 1996: 16).
R. Trena, walaupun menyatakan sangat sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik suatu definisi, yang menyatakan bahwa, "peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman".
Tampak dalam rumusan itu tidak memasukkan unsur/anasir yang berkaitandengan pelakunya. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu: 1). Harus ada suatu perbuatan manusia. 2). Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum. 3). Harus terbukti adanya "dosa" pada orang yang berbuat, yaitu
orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. 4). Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum. 5). Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam Undang-undang (R. Tresna, 1959: 27).
Menurut Bambang Poernomo perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Bambang Poernomo, 1982: 130).
Para sarjana menggunakan istilah peristiwa pidana antara lain, Menurut Simon peristiwa pidana adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana, yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab (Zambari Abidin, 1986: 21).
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Prodjodikoro, 1981: 50).
b. Subjek Tindak Pidana


Artikel Terkait

Previous
Next Post »