(KODE : 0017-EKONPEMB) : SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah dapat diartikan sebagai upaya mendirikan bagian wilayah tertentu melalui peningkatan kedudukan ,baik status maupun perannanya dalam administrasi pemerintahan Negara,sehingga masing-masing bagian wilayah tersebut menjadi daerah otonomi lainnya. Dengan pengertian tersebut, pemekaran wilayah berarti juga pemberian tanggung jawab pengelolaan pemerintah dan pembangunan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya masing-masing daerah akan berkembang dalam suatu ikatan Negara dan laju pembangunan pada semua wilayah akan semakin seimbang dan serasi (Santoso,2001).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, suatu daerah otonom bertanggung jawab mengatur urusan rumah tangga sendiri. Besar kecilnya tanggung jawab tersebut dapat dilihat dari berbagai indikator seperti aspek kuantitatif yang mencakup jumlah penduduk,wilayah bawahan,luas wilayah dan kelengkapan wilayah, sedangkan dari aspek kualitatif mencakup kondisi geografis , potensi wilayah dan sumber pendapatan.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tersebut menyatakan dengan jelas adanya desentralisasi, artinya diberikan kewenagan dan tanggung jawab kepada badan dan organisasi di daerah untuk melaksanakan pembangunan yang diwujudkan dengan pemberian otonom kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program regional. Dengan otonomi tersebut berarti seluruh pertanggungan pengelolaan dan pembiayaan program-program dilakukan oleh pemerintah dan daerah Konsep baru tentang otonomi daerah dituangkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya direvisi kembali dengan Undang-undang No 32 Tahun 2004, menyebutkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Jaweng (2001) , beberapa alasan dilakukannya perbaikan (revisi) terhadap Undang-undang NO 32 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah ke dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 adalah:;
- Alasan formal, yakni adanya mandat yang diberikan oleh MPR melalui Tap No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.Inti dari ketetapan majelis ini adalah rekomendasi perlunya perintisan awal untuk mulai melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap perlunya UU Pemerintahan Daerah yang berlaku. Diharapkan revisi itu nantinya bisa menciptakan kesesuaian dengan maksud bunyi pasal 18 UUD 1945 dan termasuk merencanakan soal pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi,kabupaten/kota,desa/marga/nagari dan lain sebagainya.
- Alasan ketidaklengkapan materi pengaturan sehingga menjadi potensial problem dalam pelaksanaanya. Undang-undang yang lahir di bawah derasnya tekanan politik yang dialami pemerintahan pada tahun 1999,kenyataannya mengabaikan sejumlah muatan dasar yang mestinya dicakup di dalamnya,atau mengaturnya secara tidak jelas dan tidak utuh sehingga menyebabkan kerancuan makna tafsirannya.Salah satu bukti ketidaklengkapan ini, dan pengaturan atas sebagiannya juga rancu, adalah menyangkut kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pus at dan status propinsi sebagai wilayah administratif (selain sebagai daerah otonom terbatas).
- Alasan inkonsistensi. Dalam hal ini, sejumlah pasal dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999 menunjukkan bahwa antara maksud dan prinsip dasar otonomi dengan terjemahannya dalam rupa pasal-pasal tersebut malah terjadi ketidaksesuaian (asimetris). Ketidaklengkapan dan inkonsistensi semacam itu membawa implikasi yang serius sepanjang perjalanan otonomi daerah sekarang ini, yang menimbulkan efek berlebihan dan kontraproduktif dari maksud awalnya. Hal tersebut paling nampak dalam kelahiran ribuan peraturan daerah (perda) yang belakangan ini ramai diperbincangkan.
Dalam aspek keuangan, suatu daerah otonom harus mampu dan mempunyai rencana penerimaan dan pengeluaran daerah. Daerah otonom yang mandiri lebih mengutamakan sumber-sumber penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah yang kemudian diperkuat oleh pendapatan yang bersumber dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu, sangat tergantung kepada kemampuan aparat pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku (Majidi,1991).
B. Manfaat Pemekaran Wilayah
Dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah, terdapat tiga unsur yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pembangunan dan sangat penting diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Ketiga unsur tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang saling terkait antara satu sama lain dan secara bersama-sama mempengaruhi pembangunan.
Unsur-unsur tersebut adalah :
(a) Daerah, dalam arti tanah, baik yang produktif maupun tidak produktif beserta penggunaanya. Dalam pengertian ini terkait dengan kondisi lokasi (letak),luas dan batas yang merupakan kondisi goegrafis setempat,
(b) penduduk, yang meliputi jumlah,pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian,
(c) tata kehidupan, meliputi: pola tata pergaulan warga (Bintarto,1983).
Selanjutnya oleh Bintarto (1983) dijelaskan bahwa ketiga unsur tersebut merupakan faktor dasar yang masih harus dikelola untuk mewujudkan pembangunan.. Dalam pengertian bahwa pembangunan itu sendiri ditentukan oleh usaha manusia dan tata geografi.
Nilai-nilai sosial yang merupakan cara hidup masyarakat, dapat sebagai penghambat dan pendukung pembangunan. Oleh sebab itu, rencana dan pelaksanaan pembangunan harus diselaraskan dengan kondisi sosial masyarakat. sebagai contoh, bagi masyarakat yang masih didominasi sistem ekonomi jasa yang tradisional, akan sulit menerima sistem perekonomian modern yang berhubungan dengan uang (misalnya perkreditan), walaupun diketahui perekonomian modern tersebut sangat berperan menunjang kemajuan masyarakat. Salah satu penghambat dalam hal ini adalah hubungan kekerabatan yang sangat erat yang dapat menghalangi proses pengawasan terhadap penyelewengan.
Peran serta penduduk dalam pembangunan dipengaruhi oleh sikap atau penilaiannya sendiri terhadap pembangunan, dan bukan oleh nilai-nilai atau norma-norma yang hidup melembaga didalam masyarakat. Nilai-nilai bersifat abstrak dan memberikan pengarahan yang normatif, sehingga tidak dapat (sangat sulit) berubah, sedangkan sikap manusia lebih realistis, sehingga mudah berubah (Pearson dalam Soedjito,1987). Juga dijelaskan bahwa sikap merupakan fungsi dari kepentingan, sedangkan kepentingan ditentukan oleh situasi lingkungan.
Sebagaimana pada umumnya, semua orang akan berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan. Melihat hubungan demikian, untuk melaksanakan pembangunan yang harus berorientasi bagi peningkatan kesejahteraan penduduk. Artinya, masyarakat perlu disadarkan bahwa upaya pembangunan yang dilaksanakan adalah demi kesejahteraan masyarakat, dengan demikian masyarakat akan berkepentingan dan selanjutnya dicerminkan dalam sikap mendukung pembangunan. Kepentingan masyarakat pedesaan harus bersifat langsung dan nyata. Dalam hal ini harus bersifat langsung dan nyata, menyentuh aspek-aspek perekonomian masyarakat yang pada umumnya tergolong lemah (warpani, 1984).
Bagi masyarakat pedesaan, adakalanya kesadaran akan pentingnya pembangunan harus diperkenalkan dari luar. Penyadaran tersebut dapat dilakukan melalui pemberian informasi ataupun tekanan-tekanan seperti tekanan ekonomi maupun politik. Dengan demikian masyarakat akan merasakan pembangunan sebagai kepentingannya sendiri sehingga mau melaksanakan pembangunan dengan sukarela tanpa merasa terpaksa. Kemudian agar perubahan-perubahan dirasakan tidak melanggar/menyalahi norma-norma yang hidup dan dipelihara oleh masyarakat,perlu kiranya agar perubahan tersebut didasari suatu prinsip idiologis.Idiologis tersebut akan menjadikan alasan pembenar (justification) terhadap perubahan yang direncanakan (Parson dalam Soedjito,1987) Prinsip idiologis tersebut hidup dalam masyarakat dan pada umumnya sebagai motto hidup masyarakat dan bernegara. Bagi masyarakat Indonesia, Prinsip idiologis tersebut adalah Pancasila.