(KODE : 0014-PAI) : SKRIPSI PENGARUH METODE SUFISTIK TERHADAP PENGEMBANGAN MOTIVASI BELAJAR AQIDAH AKHLAK
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Metode Sufistik
1. Pengertian Metode Sufistik
Secara etimologi, metode dalam bahasa arab dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Metode juga dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.
Secara terminologi, para ahli mendefinisikan metode sebagai berikut: Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai jalan pendidikan.
Abdur al-Rahman Ghinaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran.
Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa metode mengajar adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan mata pelajaran.
Metode juga diartikan seperangkat cara, jalan dan teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi pelajaran.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa metode sufistik adalah metode yang dapat kita gunakan secara sufi misalnya metode dongeng atau cerita karena dengan metode itu dapat menimbulkan keteladanan bagi siswa terutama cerita yang berhubungan dengan Nabi dan Rosul serta para orang-orang sholeh.
Pengertian global ajaran Islam telah memberikan konsep dasar filosofis, berkaitan dengan unsur pendidikan secara umum (tataran pedagogis). Kemudian dari konsep dasar itulah para ahli atau pemikir mengembangkannya menjadi ide-ide teknis dan spesifik terkait dengan cara-cara mendidik, strategi belajar-mengajar, dan sebagainya dengan lebih prosedural berdasarkan tataran didaktik- metodik.
Satu dari sekian luas kajian dalam ruang lingkup pendidikan Islam adalah aspek metodologinya. Dalam metodologi pendidikan, antara lain membahas tentang metode (cara), usaha, pendekatan, teknik, dan strategi yang dapat digunakan untuk mencapai semua tujuan-tujuan yang ingin diraih dalam kegiatan pendidikan Islam. Bahkan dalam ajaran Islam, Allah SWT mengingatkan akan pentingnya menggunakan cara-cara yang tepat dalam mengajak manusia ke jalan yang baik, sebagaimana Firman-Nya dalam QS. An-Nahl (16): 125 berikut yang artinya :
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (Departemen Agama 2004, hal. 281).
Menurut Al-Ghazali kata hikmah, mau 'izhah, dan mujahadah merupakan tiga cara berdakwah dalam tiga kelompok yang berbeda. Masing-masing kelompok orang yang diajak ke jalan Allah SWT cocok dengan cara masing-masing, seperti jika hikmah diberikan kepada kelompok mau'izhah, maka sama seperti memberi anak yang masih menyusui dengan daging burung, begitu pun sebaliknya. Agak berbeda dengan Ghazali, Ibnu Rusyd memahami ayat di atas dalam kaitannya menyeru ke jalan Allah, yaitu dengan hikmah diartikannya sebagai dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah pada filsafat. Dengan nasihat yang baik, yang berarti retorika yang efektif dan populer, dan dengan mujahadah yang lebih baik maksudnya adalah metode dialektis yang unggul.
Selanjutnya menurut Imam Al-Syaukani, hikmah adalah ucapan-ucapan yang tepat dan benar atau argumen-argumen yang kuat dan meyakinkan. Mau 'izhah al-hasanah adalah ucapan-ucapan yang berisi nasihat-nasihat yang baik dan bermanfaat bagi orang yang mendengarkan.
Dari tiga pandangan tokoh di atas, jelas ayat tersebut merupakan dasar metodologi dakwah yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Ketiga asumsi diatas walaupun agak berbeda, namun bertemu pada satu kaidah, bahwa setiap upaya menyeru atau membimbing manusia ke arah yang baik memerlukan jalan atau cara-cara yang baik pula. Artinya fungsi metode lebih diperhatikan supaya apa yang diusahakan itu efektif. Dilihat dari maknanya secara implisit, ayat di atas menawarkan sebuah metodologi pendidikan yang baik sesuai yang diterapkan oleh Rasulullah SAW sebagai figur pemimpin dan pendidik umat manusia. Jika konsepsi ayat tadi dikaji secara mendalam, maka akan diperoleh lagi secara spesifik dan relatif bervariasi mengenai hal-hal pendidikan dalam Islam serta bagaimana implikasi-implikasi metodologis dalam tataran praktis di lapangan.
a. Metode Bercerita
adalah metode yang bersandar atas percakapan dan diskusi yang bersifat internal. Terkadang pula di waktu lain ia berpijak pada percakapan yang bersifat eksternal. Cerita keluar bersamaan dengan waktu dan tempat yang menutup peristiwa dengan satu bingkai yang mencegah pikiran dari keterceraiberaian di belakang peristiwa-peristiwa tersebut. Cerita juga bertahap dari satu posisi ke posisi lain yang dapat memikat emosi dan pikiran si pendengar sehingga dimungkinkan adanya interaksi dan larut dalam kisah yang didengarnya. Kemudian mengurai sedikit demi sedikit. Titik penerang dalam peristiwa berada pada cahaya yang menyelamatkan posisi cerita dan mengarahkannya ke kondisi yang tenang dan teratur atau mengambil posisi kemanusiaan sebagai akibat dari interaksi pikiran dan kejiwaan bersama dengan adegan-adegan peristiwa itu.
Rosulullah SAW menggunakan metode bercerita karena beliau melihat bahwa cerita termasuk cara yang paling efektif untuk menyampaikan pesan penguatan ideologinya dan lebih dapat mengena pada sasarannya.
b. Metode Keteladanan (Qudwah)
adalah metode Qudwah, yang sering langsung diterjemahkan sebagai keteladanan, merupakan salah satu Metode sufistik yang paling efektif. Qudwah juga merupakan salah satu perilaku Nabi Muhammad SAW. Perilaku beliau SAW tak pernah menyalahi apa yang beliau ajarkan. Yah, di situlah intinya, Qudwah artinya, perilaku si pendidik tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan apa yang ia ajarkan kepada anak didiknya.29 Sebagaimana firman Allah dalam QS 61: 2-3 :
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (Departemen Agama, 2004, hal. 551).
Rasulullah saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do'a, bagaimana makan, bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi acuan bagi para sahabat, sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Al-Qur'an secara utuh, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat al-Ahzab/33:21 yang berbunyi:
Artinya:
"Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Departemen Agama, 2004, hal. 551).
Metode keteladanan berkenaan dengan penanaman nilai atau values. Ketika guru menginginkan murid-muridnya raj in belajar, hobi membaca, maka sang guru tidak boleh juga mengabaikan hal yang satu ini. Sebagai guru mestinya lebih rajin belajar, juga lebih rajin membaca. Ia akan menjadi orang pertama yang melaksanakan apa yang ia ajarkan. Murid mempunyai semacam idola yang tidak berada jauh dalam jangkauannya. Guru menjadi sumber inspirasi dan keteladanan bagi sivitas akademika-nya. Guru yang mempunyai kepribadian menarik. Nah kita sebagai guru, sebagai orang tua, sebagai sahabat, sebagai atasan, sebagai tetangga, sebagai anak, sebagai saudara -kakak atau adik- atau sebagai apapaun hendaknya mengubah dirinya sendiri dulu sebelum menginginkan perubahan yang terjadi pada pihak lain di luar kita.
Perubahan ini hendaknya juga berawal pada diri sendiri, pada hal-hal yang terkecil, dan mulai saat sekarang juga, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah Gymnastiar atau yang dikenal dengan Aa Gym.
2. Dasar Metode Sufistik
Metode sufistik dalam penerapannya banyak menyangkut permasalahan individual dan sosial peserta didik dan pendidik itu sendiri, sehingga dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode sufistik. Sebab metode pendidikan itu hanyalah merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut dalam hal ini tidak bisa terlepas dari dasar agamis, biologis, psikologis, dan sosiologis.
a. Dasar Agamis
Pelaksanaan metode sufistik dalam prakteknya dipengaruhi oleh corak kehidupan beragama pendidik dan peserta didik, corak kehidupan ini memberikan dampak yang besar terhadap kepribadian peserta didik. Oleh karena itu dalam penggunaan metode agama merupakan salah satu dasar metode pendidikan dan pengajaran islam.
b. Dasar Biologis
Perkembangan biologis manusia, mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Sehingga semakin lama perkembangan biologi seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Dalam memberikan pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan Islam, seorang pendidik harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
c. Dasar Psikologis
Metode sufistik baru dapat diterapkan secara efektif, bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikis peserta didik. Sebab perkembangan dan kondisi psikis peserta didik memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap internalisasi nilai dan transformasi ilmu. Dalam kondisi jiwa yang labil, menyebabkan transformasi ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Perkembangan psikis seseorang berjalan sesuai dengan perkembangan psikologisnya, sehingga seorang pendidik dalam menggunakan metode sufistik bukan saja memperlakukan psikologisnya, tetapi juga sosiologisnya. Karena seseorang yang secara biologis menderita cacat, maka secara psikologis dia akan merasa tersiksa karena ternyata dia merasakan bahwa teman-temannya tidak mengalami seperti apa yang dideritanya. Enggan memperhatikan hal yang demikian ini, seorang pendidik harus jeli dan dapat membedakan kondisi jiwa peserta didik, karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sama.
d. Dasar Sosiologis
Interaksi yang terjadi antara sesama peserta didik dan interaksi antara guru dan peserta didik, merupakan interaksi timbal balik yang kedua belah pihak akan memberikan peran positif pada keduanya. Dalam kenyataan secara sosiologis seseorang individu dapat memberikan pengaruh pada lingkungan sosial masyarakat dan begitu pula sebaliknya.
Interaksi pendidikan yang terjadi dalam masyarakat justru memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peserta didik dikala ia berada dilingkungan masyarakatnya. Kadang-kadang interaksi atau pengaruh dari masyarakat tersebut berpengaruh pula terhadap lingkungan kelas dan sekolah.