TESIS EVALUASI PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH SECARA ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) PADA LPSE KEMENTERIAN KEUANGAN

Tuesday, February 16, 2016
T-(0011) TESIS EVALUASI PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH SECARA ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) PADA LPSE KEMENTERIAN KEUANGAN

BAB 2 
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik
2.1.1 Definisi
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan (Nugroho, 2006). Ciri-ciri penting dari pengertian kebijakan : (i) kebijakan adalah suatu tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat, (ii) kebijakan dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variabel pokok dari semua permasalahan yang akan dipecahkan tercakup, (iii) kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh (unit) organisasi pelaksana, dan (iv) kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan masalah (Nurcholis, 2007).
Pelaksanaan kebijakan publik dapat berjalan efektif apabila didukung oleh komitmen berbagai pihak. Pendekatan yang efektif untuk mendukung berjalannya suatu kebijakan adalah pendekatan dari bawah ke atas. Target sasaran, pelaksana dan penilai kebijakan adalah orang yang terkena dampak langsung dari suatu kebijakan. Mereka yang lebih mengetahui masalah serta pemecahan masalahnya. Mereka itulah orang-orang yang akan memberikan komitmen bagi suksesnya pelaksanaan kebijakan (Gardner, 1992).
Kebijakan diformulasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka tahap terakhir dari proses kebijakan adalah melakukan evaluasi kebijakan.
2.1.2 Evaluasi Kebijakan Publik
Worthen dan Sanders (dalam Arikunto, 2004) mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu, dalam mencari sesuatu tersebut juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Anderson (dalam Arikunto, 2004) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Sedangkan Pedoman Evaluasi yang diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas (2002) memberikan pengertian evaluasi program adalah proses pengumpulan dan penelaahan data secara berencana, sistematis dan dengan menggunakan metode dan alat tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan. Tyler, 1950 (dalam Suharsimi, 2007) mendefinisikan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat terealisasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana suatu kebijakan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengukuran ini didasarkan pada tercapainya indikator-indikator tujuan kebijakan.
Menurut Wibawa dkk (dikutip Nugroho, 2006), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu :
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamati sehingga dapat mengindentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Hasil evaluasi yang obyektif dapat dipakai untuk mempertimbangkan :
1. Apakah kebijakan tersebut tetap dipertahankan sesuai dengan kondisi saat itu atau harus diganti dengan kebijakan baru?
2. Apakah kebijakan tersebut perlu diperluas cakupannya karena berhasil dilaksanakan dengan baik?
3. Apakah Kebijakan tersebut dihentikan sama sekali karena tidak mencapai target yang diinginkan (Nurcholis, 2007).
2.2 E-procurement
2.2.1 Definisi E-procurement
Menurut Davila, Tony, Mahendra Gupta, dan Richard Palmer dalam jurnal "Moving Procurement Systems to The Internet", E-procurement adalah (i) teknologi yang dirancang untuk memfasilitasi pengadaan barang melalui internet, (ii) Manajemen seluruh aktivitas pengadaan secara elektronik, dan (iii) aspek-aspek fungsi pengadaan yang didukung oleh bermacam-macam bentuk komunikasi secara elektronik.
Bank Dunia dalam publikasi tentang "E-GP: World Bank Draft Strategy 2003" dan The Asian Development Bank, The Inter-American development Bank, dan The World Bank (2004) dalam Electronic Government Procurement, Roadmap menyatakan bahwa Electronic Government Procurement (e-GP) adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet oleh pemerintahan-pemerintahan dalam melaksanakan hubungan pengadaan dengan para pemasok untuk memperoleh barang, karya-karya, dan layanan konsultasi yang dibutuhkan oleh sektor publik.
Fulvio pada Ippolito (2003) menyebut e-procurement sebagai seperangkat teknologi, prosedur, dan langkah-langkah organisasional yang memungkinkan pembelian barang dan jasa secara online, melalui peluang- peluang yang ditawarkan oleh internet dan e-commerce.
Menurut Pemerintah Indonesia, yang termaktub dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No.54 Tahun 2010, pengadaan secara elektronik atau E-Procurement adalah Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2.2.2 Tujuan dan Prinsip E-procurement
Singk (2008) dalam presentasinya menyebutkan ada beberapa tujuan secara umum dari penerapan e-procurement yaitu (i) mengurangi waktu pelaksanaan pengadaan, (ii) meningkatkan akses kepada supplier untuk memastikan perluasan partisipasi, (iii) mengurangi biaya pengadaan melalui competitive bidding dan reverse auctioning, (iv) menghilangkan sistem kartel oleh suppliers group, (v) meningkatkan transparansi dalam proses pengadaan, dan (vi) hampir menghilangkan paperwork untuk meningkatkan kecepatan dan fungsi efisiensi.
The Asian Development Bank (2004) menyebutkan 3 tujuan E-procurement sebagaimana terlihat pada gambar 2.1, yaitu :
1. Governance dengan peningkatan transparansi dan akuntabilitas
2. Effectiveness meliputi efisiensi dan value- for- money
3. Balanced Development melalui competitiveness, business development, dan regional development equality of access, (iii) Open competition, (iv) Accountability, (v) Security of process.
Dari tujuan dan prinsip e-procurement yang diberikan oleh para ahli dan lembaga keuangan internasional diatas, baik secara implisit maupun eksplisit menyebutkan beberapa kesamaan variabel, yaitu transparansi, akuntabilitas, akses pasar dan persaingan yang sehat serta efisiensi.
2.3 Transparansi
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai (Bappenas dan Depdagri, 2002). Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi pada masyarakat umum dan kejelasan (clarity) tentang peraturan, undang-undang, dan keputusan pemerintah. Indikatornya :
1. akses pada informasi yang akurat dan tepat waktu (accurate & timely) tentang kebijakan ekonomi dan pemerintahan yang sangat penting bagi pengambilan keputusan ekonomi oleh para pelaku swasta. Data tersebut harus bebas didapat dan siap tersedia (freely & readily available)
2. aturan dan prosedur yang "simple, straightforward and easy to apply" untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi (Asian Development Bank, 1999)
3. mempunyai suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap. Dalam "International survey of E-procurement Systems, 2007" terhadap beberapa negara a.l : Argentina, Brazil, Australia, yang didanai oleh Multilateral Development Bank International dan "International survey of E-procurement Systems, 2009" terhadap beberapa negara di wilayah Asia termasuk Indonesia yang didanai Asian Development Bank memberikan indikator transparansi sebagai berikut :
1. Semua informasi yang membantu supplier untuk merencanakan, memodifikasi, dan menyampaikan dokumen penawaran tersedia secara online.
2. Semua supplier mendapatkan informasi yang sama di setiap proses pengadaan.
3. Tiap-tiap paket informasi /penawaran tersedia kepada supplier sesuai waktu dan tanggal dalam dokumen (real time).
4. Suppliers tidak terhambat untuk mengakses disebabkan masalah lokasi.
5. Suppliers tidak terhambat untuk mengakses disebabkan masalah adanya biaya akses dan pembatasan jam operasional.
6. Suppliers tidak terhambat untuk mengakses disebabkan adanya keharusan menggunakan software atau hardware secara khusus/tertentu (software/hardware sesuai standar umum)
7. Kebijakan, proses, dan petunjuk/pedoman pengadaan dipublikasikan secara online
8. Peraturan perundang-undangan yang mengatur/tentang pengadaan barang dan jasa tersedia secara online.
9. Tersedia media untuk menghubungi pembeli (no telpon, email) untuk setiap paket informasi/penawaran
10. Masyarakat dapat mengakses sistem untuk melihat detail kontrak, harga, dan pemenang lelang.
2.4 Akuntabilitas
Budiardjo (1998) mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.
Guy Peter (2000) menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik. Dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang akuntabilitas keuangan, sehingga definisi yang akan digunakan berhubungan dengan akuntabilitas dalam bidang pelayanan publik atau administrasi publik.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »