SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0018-EKONPEMB) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 
1. Otonomi Daerah
Pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001 telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Lahirnya Undang-undang ini juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat "given" dan "uniform" (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat didisain dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk "berkreasi", sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung jawab penuh. 

a. Pengertian Otonomi Daerah
Secara etimologis, pengertian otonomi daerah menurut Situmorang (1993) dalam Shinta (2009) berasal dari bahasa Latin, yaitu "autos" yang berarti sendiri dan "nomos" yang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa Inggris, otonomi berasal dari kata "autonomy", dimana "auto" berarti sendiri dan "nomy" sama artinya dengan "nomos" yang berarti aturan atau Undang-undang. Jadi "autonomy" adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu, pengertian lain tentang otonomi ialah sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas insiatif dan kemauan sendiri. Hak yang diperoleh berasal dari pemerintah pusat.
Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut UU No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa otonomi daerah adalah wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No.22 Tahun 1999 berubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 

b. Prinsip Otonomi Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesej ahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan wewenang, tugas dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya hams benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utam dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelengaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c. Pemekaran Daerah sebagai Implikasi Otonomi Daerah
Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak "mendinginkan" euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesej ahteraan daerahnya sendiri-sendiri
Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah berdasar UUNo.5 Tahun 1974 (orde baru).
Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi pemekarannya lebih merupakan inisiatif pemerintah pusa ketimbang partisipasi dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis. Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian dibentuk DOB.
Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »