UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah membuka koridor baru bagi penerapan anggaran berbasis kinerja di lingkungan pemerintahan. Dengan pasal 68 dan 69 UU tersebut, instansi pemerintah yang bertugas dan berfungsi untuk memberi pelayanan kepada masyarakat, dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua UU tersebut menjadi dasar penetapan instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). BLU ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Menteri atau pimpinan lembaga ditempatkan sebagai penanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan. Pola pengelolaan keuangan BLU adalah pola pengelolaan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan inilah penyebab mengapa pola pencatatan akuntansi BLU diterapkan dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), bukan dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) seperti instansi pemerintahan pada umumnya.
2.1 Badan Layanan Umum
Menurut PMK no.76/ PMK.05/ 2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum (BLU) didefinisikan sebagai instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU menyelenggarakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk Analisis atas manajemen...,
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam PP no.23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Organisasi berbentuk BLU cenderung sebagai organisasi nirlaba pemerintahan. Menurut Pasal 3 PP no.23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. Sesuai dengan Pasal 26 PP no.23 tahun 2005 tersebut, akuntansi dan laporan keuangan diselenggarakan sesuai dengan SAK, tetapi BLU tetap beroperasi tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
Dalam rangka pengajuan suatu satuan kerja (satker) instansi pemerintah menjadi BLU dan dengan demikian dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), satuan kerja tersebut perlu memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif. Disebutkan dalam Pasal 4 PP no.23 tahun 2005 bahwa persyaratan substantif akan terpenuhi ketika satker bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
a. penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum
b. pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c. pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis akan terpenuhi apabila:
a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaian nya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan
oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai kewenangannya
b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat
sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen penetapan BLU
Sementara persyaratan administratif akan terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut:
a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat bagi masyarakat
b. pola tata kelola
c. rencana strategi bisnis
d. laporan keuangan pokok
e. standar pelayanan minimum; dan
f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Menurut Pasal 27 PP no.23 tahun 2005, laporan keuangan BLU setidak-tidaknya meliputi:
1. Laporan Realisasi Anggaran (laporan operasional) mencakup penghasilan,
beban dan kerugian serta perubahan dalam aktiva bersih.
2. Laporan Posisi Keuangan atau Neraca. Klasifikasi aktiva dan kewajiban sesuai dengan korporasi pada umumnya. Sedangkan aktiva bersih (net assets) diklasifikasikan sebagai aktiva bersih tidak terikat, aktiva bersih terikat temporer dan aktiva bersih terikat permanen.
3. Laporan Arus Kas
4. Catatan atas Laporan Keuangan disertai laporan mengenai kinerja
Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU dikonsolidasikan dalam laporan keuangan BLU. Selanjutnya karena laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pertanggungjawaban keuangan Kementerian Negara/ lembaga/ SKPD/ Pemerintah Daerah yang menaungi nya, maka laporan keuangan BLU kemudian digabungkan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Laporan keuangan rumah sakit merupakan laporan yang disusun oleh manajemen rumah sakit sebagai media komunikasi kepada stakeholder entitas. Laporan keuangan rumah sakit, seperti laporan keuangan pada umumnya, merupakan media penyampaian informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap entitas tersebut.
Nilai lebih dari berubah nya status rumah sakit pemerintah menjadi BLU ditinjau dari isi pelaporan keuangan adalah rumah sakit harus mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan organisasi dan menyanggupi untuk diaudit oleh auditor independen. Dengan demikian, tentu saja diharapkan rumah sakit tersebut dapat melaksanakan prinsip-prinsip good governance dengan pelaporan yang transparan.
Laporan keuangan rumah sakit sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
1. Mengukur jasa atau manfaat entitas nirlaba
2. Pertanggungjawaban manajemen entitas rumah sakit (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas dan laporan arus kas)
3. Mengetahui kontinuitas pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan atau neraca)
4. Mengetahui perubahan aktiva bersih (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas)
Desentralisasi pada sektor kesehatan merupakan langkah reformasi di bidang pelayanan kesehatan. Adanya desentralisasi pelaporan keuangan sesuai UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, PP no.23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU dan PP No.24 tahun 2005 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP), membuat rumah sakit harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam hal pengelolaan teknis keuangan maupun penganggaran nya, termasuk dalam hal manajemen aset.
2.2 Aset Tetap
Aset tetap biasanya merupakan komponen aset yang nilainya paling besar dalam neraca suatu entitas. Hal ini kemudian menjadikan penyajian dan pengungkapan aset tetap menjadi sangat penting dalam laporan keuangan suatu entitas. Di beberapa entitas, aset tetap umumnya direferensikan sebagai property, plant and equipment yang meliputi tanah, gedung kantor, gedung pabrik, peralatan dan sebagainya.Analisis atas manajemen Indonesia Karakteristik utama aset tetap adalah sebagai berikut (Nordiawan, 2007, p.227):
a. Aset tetap biasanya diperoleh untuk digunakan dalam operasional entitas dan tidak dimaksudkan untuk dijual.
b. Secara umum, aset tetap memiliki masa manfaat yang cukup lama (biasanya beberapa tahun) dan oleh karenanya akan disusutkan selama masa manfaat tersebut.
c. Aset tetap secara fisik dapat dilihat bentuknya.
2.2.1 Aset Tetap—Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 (sebelum Revisi 2007)
2.2.1.1 Definisi
Menurut PSAK 16, Aset Tetap dapat didefinisikan sebagai aset berwujud (tangible asset) yang:
a. Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk dirental kan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
b. Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
2.2.1.2 Pengakuan Biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika:
a. besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas; dan
b. biaya perolehan dapat diukur secara andal
Pengakuan aset tetap dilakukan dengan basis akrual, yang mengkhususkan titik utama pada manfaat ekonomis (future economic benefit) dan biaya perolehan yang telah terjadi. Hal ini menyebabkan entitas harus mengakui biaya perolehan aset tetap termasuk biaya-biaya awal untuk memperoleh atau membangun aset tetap dan biaya-biaya selanjutnya yang timbul untuk menambah, mengganti atau memperbaikinya. Namun demikian, entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset yang bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam komponen biaya pada laporan laba-rugi pada periode bersangkutan