(KODE : 0018-MANAJEMEN) : SKRIPSI PENGARUH SHOPPING LIFESTYLE, FASHION INVOLVEMENT, PRE-DECISION STAGE, POST-DECISION STAGE TERHADAP IMPULSE BUYING BEHAVIOR KONSUMEN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Tirmizi, Rehman, dan Saif, (2009) yang berjudul "An Empirical Study of Consumer Impulse Buying Behavior in Local Markets". Pada penelitian ini diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
a) Shopping lifestyle dari konsumen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap impulse buying behavior.
b) Fashion involvement dari konsumen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap impulse buying behavior.
c) Pengaruh pre-decision stage dari konsumen untuk membeli produk berpengaruh secara signifikan terhadap impulse buying behavior.
d) Pengaruh post-decision stage dari konsumen untuk membeli produk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap impulse buying behavior.
Meskipun demikian terdapat perbedaan dan persamaan dalam penelitian saat ini dibandingan dengan penelitian terdahulu.
B. Landasan Teori
1. Shopping Lifestyle
Gaya hidup menurut Kotler (2008:192) adalah "pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya". Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia.
Menurut Chaney (2004:40) Gaya hidup adalah "pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya". Pola-pola kehidupan ini kadang diartikan orang sebagai budaya; yang artinya keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat-kebiasaan atau adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat. Gaya hidup lebih pada seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu atau cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik; Tegasnya, gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.
Chaney (2004; dalam Handoko:135) menjelaskannya "definisi gaya hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial: situs (site) dan strategi." Dalam hal ini situs (site) bukan merupakan tempat-tempat yang dapat dikenali dalam suatu lingkungan fisik, melainkan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang dapat disediakan dan dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok). Dari sudut pandang strategi, gaya hidup dipahami sebagai cara-cara khas perjanjian sosial (social engagement) atau narasi-narasi dari identitas dimana aktor (individu atau kelompok) dapat menyimpan metaphor-metaphor yang ada. Dari dua pendekatan ini bisa diartikan pula bahwa gaya hidup adalah projek kreatif dan hal tersebut adalah bentuk pendeklarasian yang memuat penilaian aktor-aktor dalam menggambarkan lingkungan.
Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001:174) adalah "pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan". Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.
Dari berbagai definisi tentang gaya hidup di atas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. Faktor-faktor utama pembentuk gaya hidup dapat dibagi menjadi dua yaitu secara demografis dan psikografis. Faktor demografis misalnya berdasarkan tingkat pendidikan, usia, tingkat penghasilan dan jenis kelamin, sedangkan faktor psikografis lebih kompleks karena indikator penyusunnya dari karakteristik konsumen.
Hawkins (dalam Nugroho, 2002) yang mengatakan bahwa "pola hidup yang berhubungan dengan uang dan waktu dilaksanakan oleh seseorang berhubungan dengan keputusan". Orang yang sudah mengambil suatu keputusan langkah selanjutnya adalah tindakan. Orang yang sudah mengambil keputusan untuk mencari kesenangan dari uang yang dimiliki seperti melakukan aktivitas nyata untuk berbelanja di mall atau supermarket, tentu saja memberi nilai tambah dari pada berbelanja di toko biasa. Adapun penggunaan waktu dengan gaya hidup merupakan kreativitas individu dalam memanfaatkan waktu yang ada untuk kegiatan yang bermanfaat atau kegiatan untuk bersenang-senang.
Sementara itu menurut Loudon & Della Bitta (1993), penggolongan gaya hidup mengukur hal-hal sebagai berikut:
a. Bagaimana orang-orang menghabiskan waktu luang dalam suatu kegiatan atau aktivitas.
b. Apa yang paling menarik atau paling penting bagi mereka dalam lingkungannya ketika itu.
c. Pendapat dan pandangan mereka mengenai mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.
Menurut Berkowitz (1989) secara spesifik, gaya hidup terbagi atas beberapa faktor, yaitu:
a. Aktivitas (Activities)
Aktivitas adalah gaya hidup seseorang yang didasarkan pada kegiatannya sehari-hari dan bagaimana cara mereka memanfaatkan waktu mereka. Yang termasuk dalam faktor aktifitas yaitu hobi, kerja, liburan, hiburan, olah raga, mengikuti kelompok atau komunitas dan belanja.
b. Ketertarikan (Interests)
Interest adalah gaya hidup yang didasarkan pada apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya. Yang termasuk faktor interest yaitu keluarga, rumah, pekerjaan, komunitas, makanan dan media.
c. Opini (Opinions)
Opini adalah gaya hidup yang mementingkan bagaimana pandangan orang lain terhadap diri sendiri dan pandangan kita terhadap lingkungan sekitar. Yang termasuk faktor opini yaitu diri sendiri, politik, bisnis, budaya, dan pendidikan.
d. Nilai (Value)
Value adalah kepercayaan tentang apa yang dapat diterima dan diinginkan serta menggambarkan pribadi atau sosial yang dapat dilihat serta bersifat kekal. Nilai mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam memilih sebuah produk. Seandainya sifat hemat adalah salah satu nilai pribadi anda, maka saat anda ingin membeli mobil, harga minyak (bahan bakar) menjadi hal yang penting bagi anda untuk dipertimbangkan.
2. Fashion Involvement
Menurut Zaichkowsky (1985:342) keterlibatan dapat diartikan sebagai tingkat hubungan personal yang dirasakan individu sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan yang menyangkut nilai-nilai dasar, tujuan dan pemahaman akan produk tersebut. Keterlibatan juga dapat di definisikan sebagai persepsi konsumen atau hubungan personal konsumen terhadap suatu obyek, event, atau kegiatan yang dialami.
Involvment is a helpful metric for explaning consumer behavior and segmenting consumer markets (Kapfeer dan Laurent, 1985; Kim, 2005; Martin, 1998; dalam Park, et al, 2006). Involvement adalah suatu sistem metrik yang sangat menolong untuk menjelaskan perilaku konsumen dan segmen pasar konsumen. Involvement adalah minat atau bagian motivasional yang ditimbulkan oleh stimulus atau situasi tertentu, dan ditunjukkan melalui ciri penampilan (O'Cass, 2004; dalam Park, et al. 2006). Secara umum, involvement adalah secara interaksi antara konsumen dengan suatu produk. Dalam pemasarahan fashion, fashion involevement mengacu pada ketetarikan perhatian dengan kategori produk fashion (seperti pakaian).
Fashion involvement digunakan terutama untuk meramalkan variabel tingkah laku yang berhubungan dengan produk pakaian seperti keterlibatan produk, perilaku pembelian, dan karakterisitik konsumen (Browne dan Kaldenberg, 1997; Fairhurst et al, 1989; Flynn dan Goldsmith, 1993; dalam Park, et al., 2006). Sebagai contoh O'Cass (2004; dalam Park, et al, 2006) menemukan bahwa fashion involvement pada pakaian berhubungan sangat erat dengan karakteristik pribadi (yaitu wanita dan kaum muda) dan pengetahuan fashion, yang mana pada gilirannya mempengaruhi kepercayaan konsumen di dalam membuat keputusan pembelian. Juga hubungan yang positif antara tingkatan fashion involvement dan membeli pakaian (Fairhurst, et al, 1989; Soe, et al, 2001; dalam Park, et al, 2006) menganjurkan konsumen dengan fashion involvement yang tinggi lebih mungkin pada pembeli pakaian. Konsumen dengan fashion involvement lebih tinggi lebih mungkin terlibat dalam impulse buying yang berorientasi fashion.
3. Pre-decision Stage dan Post-decision Stage
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cha (2001); Han et al., (1991); Ko (1993) dilaporkan bahwa perilaku pembelian impulsive produk-produk fashion memiliki hubungan dengan suatu pola seperti dorongan atau gerakan hati, emosi ulang impulsive berorientasi pada fashion serta perilaku pembelian. Emosi positif oleh Watosn dan Tellegen (1985; dalam Tarmizi, et al, 2009) didefinisikan sebagai suatu hal yang mempengaruhi suasana hati, yang menentukan intensitas pengambilan keputusan konsumen. Park (2006; dalam Tarmizi, et al; 2009) menemukan terdapat hubungan positif antara emosi positif, keterlibatan fashion, dan pembelian impulsive berorientasi pada fashion. Ko (1993;dalam Tarmizi, et al, 2009) melaporkan bahwa emosi positif dapat menghasilkan perjanjian pembelian impulsive terkait fashion. Penelitian dari Beatty dan Ferrell (1998); Husman (2000); Rook dan Gardner (1993); Youn dan Faber, (2000) dikutip dari Tarmizi et al, (2009) menemukan bahwa emosi sangat mempengaruhi perilaku pembelian, yang hasilnya menjadi dorongan beli konsumen. Babin dan Babin (2001; dalam Tarmizi, et al, 2009) menemukan bahwa di toko, niat pembelian konsumen dan sebagian besar pengeluaran dapat dipengaruhi oleh emosi. Mungkin emosi ini khusus untuk hal-hal tertentu misalnya, fitur produk, ketertarikan konsumen itu sendiri, pengukuran konsumen dalam mengevaluasi produk dan pentingnya apa yang konsumen berikan terhadap pembelian mereka di toko.
Menurut Piron, (1993) emosi positif yang berhubungan dengan perilaku pembelian konsumen dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1) Pre decision stage.
Pre decision stage merupakan emosi positif yang dirasakan oleh konsumen pada tahap sebelum melakukan pembelian produk, yang merupakan perasaan konsumen terhadap pentingnya untuk melakukan pembelian terhadap suatu produk.
2) Post decision stage.
Post decision stage merupakan emosi positif yang dirasakan oleh konsumen pada tahap setelah melakukan pembelian produk, yang merupakan perasaan konsumen terhadap kepuasan yang diperoleh konsumen setelah melakukan pembelian terhadap suatu produk. Piron (1993; dalam Tarmizi, et al, 2009) menemukan bahwa terdapat sembilan item, kombinasi indikator tahapan sebelum dan sesudah keputusan pembelian, menghasilkan perbedaan yang secara signifikan tinggi dan nilai-nilai korelasi untuk pembelian tidak direncanakan yang dilakukan oleh konsumen menghasilkan nilai lebih tinggi dibandingkan dengan pembelian dilakukan oleh konsumen karena adanya dorongan. Studi yang dilakukan oleh Piron, (1993; dalam Tarmizi, et al, 2009) menunjukkan bahwa dari total kuesioner yang didistribusikan adalah 361, sebanyak 53 pembelian dialkukan tidak terencana dan 145 adalah permbelian secara impulsive (total = 198).
4. Impulse Buying Behavior
Pemahaman tentang konsep pembelian impulsive (impulse buying) dan pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak dibedakan. Philipps dan Bradshow (1993), dalam Bayley dan Nancarrow (1998) tidak membedakan antara unplanned buying dengan impulsive buying, tetapi memberikan perhatian penting kepada periset pelanggan harus memfokuskan pada interaksi antara point-of-sale dengan pembeli yang sering diabaikan.