Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13).
Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-14) melalui karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa teoritisi Fakta Sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat.
Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008 :A-16) menjelaskan bahwa Paradigma Definisi Sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Teori Tindakan, Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Etnometodologi dan Eksistensialisme. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung terus-menerus.
B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus paradigma ini adalah eksperimen.
Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada umumnya teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam lingkungannya.
Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan interpretif/konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini hams bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75)
Menurut Deddy N. Hidayat (2002), Paradigma Konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam situsasi {setting) keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka. Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut sebagai konstruksi sosial. Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas beberapa hal umum sebagai berikut. Secara ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan holistik, menyeluruh: mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis. Secara epistimologis, interpretivisme menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:59-61).
Penjelasan interpretif terkait dengan upaya untuk membantu pembentukan pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk menemukan makna dari sebuah peristiwa atau praktik dengan menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu. Proses penjelasan semacam ini sama dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi fenomenologis, semiotika dan sosiokultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif ini (Sunarto, 2013:57).
Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti "memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka". Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti hams waspada terhadap nilai pribadinya dan ia hams menyatakannya secara jelas kepada pembacanya, karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Peneliti-peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti.
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu
Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai beberapa topik yang tumt menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan mjukan dan referensi bagi peneliti.
1) Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul "Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer's Lives", Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan mengapa "tempat ketiga" seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna dalam kehidupan para pelanggannya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan bisa berpaling kepada sebuah "persahabatan komersial" mereka di "tempat ketiga" seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh dukungan.
Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka "tempat ketiga" ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat sebagai lokasi pertemuan dan tempat sebagai rumah. Data mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka. Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian mengenai profesi wartawan dan waning kopi, bagaimana waning kopi dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun emosional.
2) Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul "Citizen Journalists and Their Third Places" Tahun 2011 berusaha mengkaji apakah orang-orang yang terlibat dalam situs berita lokal dapat mencapai perasaan masyarakatnya terkait dengan adanya "tempat