Sejarah keberadaan Corporate Social Responsibility ("CSR") sebenarnya telah ada sejalan dengan perkembangan aktivitas bisnis (perdagangan) itu sendiri, meskipun pada saat itu tidak terdapat konsep baku mengenai hal tersebut. Pemikiran mengenai konsep CSR kuno telah dicetuskan ketika zaman Raja Hammurabi, dalam Kode Hammurabi sekitar tahun 1700 sebelum masehi, telah memberlakukan sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Pada zaman itu setiap pengusaha ditekankan untuk menanggung suatu tanggung jawab sosial, tidak hanya karena adanya ketentuan hukum, namun karena kesadaran moral.53 Dalam rentang waktu tersebut hingga sekarang ini, konsep dan definisi CSR sendiri telah mengalami suatu evolusi dan metamorfosis mengikuti perkembangan konsep perusahaan yang ada. Konseptualisasi CSR tersebut muncul sebagai reaksi atas perkembangan perusahaan global dan kapitalisme yang sangat cepat.
Pada awalnya, seiring dengan kemajuan revolusi industri dan lahirnya laissez faire54 di Eropa dan Amerika Serikat, tujuan prinsip pendirian suatu perusahaan oleh para pemegang saham hanyalah untuk mencari keuntungan. Hal ini karena adanya pengaruh teori klasik yang sedang berkembang ketika itu, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith bahwa "the only duty of corporation is to make profit".55 Lebih lanjut Adam Smith menekankan bahwa mencari keuntungan merupakan cerminan watak dari para pelaku bisnis yang Pada masa ini tugas pokok negara dilukiskan sebagai negara penjaga malam (nightwatch state) atau hanya
sebagai penjaga keamanan warga negaranya. Sedangkan terhadap segala kegiatan ekonomi diatur
oleh invisible hands atau pasar yang akan menciptakan keseimbangan antara permintaan dan
penawaran secara kompetitif. menjalankannya. Sifat ramah dan memberikan pelayanan dari para pelaku usaha selalu disertai niatan pamrih atas keuntungan yang mereka harapkan dari pelanggan. Dalam kesempatan lain Milton Friedman juga memiliki pandangan yang sejalan dimana satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham sebagai tugas perintah moral. Sehingga meletakkan suatu konsep kewajiban moral kepada perusahaan guna melaksanakan CSR pada saat itu dianggap bertentangan dengan hakikat dari pendirian perusahaan itu sendiri.
Dalam praktik revolusi industri sendiri telah melahirkan suatu masalah sosial dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memunculkan suatu wacana untuk mengoreksi tujuan perusahaan yang semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Konsep pelaksanaan cikal bakal CSR sebagai bagian dari perusahaan modern mulai di rintis sejak tahun 1900-an. Pada tahun 1929 Dekan Harvard Business School, Wallace B. Donham, berkomentar dalam suatu kegiatan yang disampaikan di Northwestern University:56
"Busineness started long centuries before the down of history, but business as we now know it is new-new in its broadening scope, new its social significance. Business has not learned how to handle these changes, nor does it recognise the magnitude of the responsibilities for the future of civilisation ".
Selain itu, secara tersirat juga dapat dilihat melalui buku The Modern Corporation and Private Property, yang ditulis oleh Adolf A. Berle dan Gardiner C. Means, menyebutkan bahwa suatu perusahaan modern seharusnya mentransformasikan diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang memaksimalkan laba.57. Terlepas dari itu, perkembangan pemikiran mengenai bentuk perusahaan modern ini, secara tidak langsung telah menempatkan CSR sebagai bagian dari proses metamorfosis dari tujuan perusahaan itu sendiri.
Secara gamblang konsep mengenai tujuan perusahaan modern dipaparkan oleh Beth Stephens, yaitu mencari keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan perusahaan, namun hanya bisnis utamanya. Selebihnya perusahaan harus memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan sebagai bagian dari tujuan perusahaan. Perihal ini didasarkan pada 2 (dua) alasan, dimana pada saat itu timbul:58
a. Dampak negatif dari operasional perusahaan; dan
b. Hubungan antara perusahaan dengan masyarakat yang semakin komplek, sehingga diperlukannya intervensi negara dalam mengatur aktivitas perusahaan.
Rupanya, dalam praktik eksploitasi ekonomi pasar yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat sekitar dan kesadaran akan lingkungan, telah memunculkan kesadaran bagi sejumlah kalangan masyarakat akan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap perekonomian dunia.
Terlebih apabila melihat perluasan usaha yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, khususnya perusahaan multinasional, ke berbagai negara-negara dunia ketiga yang nyatanya tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat sekitar.59 Namun seringkali keberadaannya menyebabkan masalah pencemaran lingkungan dan eksploitasi terhadap buruh serta pelanggaran hak asasi manusia. Kondisi yang demikian mendorong pergeseran paradigma tujuan perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Oleh sebab itu penekanan pemahaman tentang konsep perusahaan modern merupakan acuan bagi setiap perusahaan, dimana harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan lingkungan eksternal dalam setiap keputusan bisnisnya.
Peningkatan peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi dinilai sebagai suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat gambaran nyata tentang pencarian keuntungan berdasarkan pasar (liberal) yang dilakukan 58 Beth Stephens, "The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Right", (20 Berkeley J. International, 2002), hal 51-52 59 Sejumlah perusahaan multinasional memiliki pendapatan sebanding dengan Gros Domestik Produk (GDP) negara maju dan melebihi puluhan negara miskin dan berkembang.
Misalnya, penjualan tahunan General Motor sebanding dengan GDP Denmark dan omzet Exxon
Mobil melebihi gabungan GDP 180 negara miskin dan berkembang. Namun demikian, kemajuan
perusahaan multinasional tersebut ternyata tidak sejalan dengan perbaikan kesejahteraan
masyarakat dunia. Hingga awal millenium ini, diantara 5,4 miliar populasi penduduk di dunia
terdapat sekitar 2,3 miliar penduduk yang hidup dibawah 1 Dollar AS per hari. perusahaan-perusahaan multinasional ternyata tidak dapat mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Menurut Stiglitz, pertumbuhan ekonomi penting hanya jika pertumbuhan itu dibarengi dengan peningkatan pemerataan. Menurutnya, kaum fundamentalis pasar telah gagal menciptakan dunia yang lebih adil melalui globalisasi.60 Globalisasi dengan sistem pasar yang terlalu bebas tanpa campur tangan pemerintah bisa saja menciptakan negara menjadi kaya, tetapi dengan rakyatnya yang tetap miskin. Sebagai contoh di penghujung tahun 1998, pada saat kekacauan semakin mendalam dan berkembang ke Amerika Serikat, maka ketidakstabilan yang telah terjadi semakin tidak terkendali. Kondisi menyebabkan banyak para pendukung kapitalis laisezfaire yang mulai mengakui perlunya pengaturan dari pemerintah.61
Lebih lanjut Stiglitz menyebutkan dalam studinya tentang peranan negara terdapat beberapa bentuk alternatif intervensi negara dalam urusan ekonomi, adalah:
a. Negara dapat memberi hak monopoli bagi perusahaan negara;
b. Negara menciptakan kondisi yang bersaing antara perusahaan-perusahaan negara;
c. Negara dapat membuat seperangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menciptakan kompetisi;
d. Negara dapat mengatur monopoli swasta.
Dengan adanya pengembalian peranan negara tersebut, diharapkan mendudukkan kembali kerjasama antara negara, pengusaha dan masyarakat untuk mencapai tujuan negara sebagai suatu agent of development.
Oleh sebab itu keberadaan peranan perusahaan modern disuatu negara diharapakan dapat bekerja sebagai the agent of development yang dapat bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat dalam menggapai tujuan pembangunan. Sebagai agent of development perusahaan merupakan bagian dari masyarakat Sebagaimana dicatat dalam tajuk rencana Bussiness Week tanggal 12 Oktober 1998, "Kekeliruan pemerintah yang semakin melebar juga sangat menentukan. Pendapat yang mengatakan bahwa pasar bebas itu ada dalam sebuah kekosongan (vacuum) telah dihancurleburkan. Tanpa peraturan regulasi, semuanya itu akan menimbulkan anarki", atau warga negara. Dengan menjadi bagian dari warga negara suatu bangsa (corporate citizenship)62, maka perusahaan juga mempunyai kewajiban dalam pembangunan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan dalam World Economic Forum, bahwa setiap perusahaan harus memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat, yaitu:
"corporate citizenship is the contribution a company makes to society and the environtment throught its core business activities, its social investment and philanthropy programmes, and its engagement in public policy"
Dengan demikian, berdasarkan uraian tentang konsep perusahaan maka paradigma tradisional perusahaan sudah dianggap tidak relevan lagi. Perusahaan modern sebagai suatu perusahaan yang menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan sosial serta lingkungan merupakan prinsip utama saat ini. Hal ini secara tidak langsung telah mempengaruhi kedudukan CSR itu sendiri di mata pengusaha. Pergeseran paradigma tanggung jawab perusahaan dan perkembangan tentang penerapan CSR dewasa ini semakin menunjukan pentingnya peranan perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, selain kewajibannya kepada pemegang saham. Sehingga saat ini kecenderungan untuk menekankan supaya keberadaan suatu perusahaan selain bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi, diharapkan juga dapat berperan dalam aktifitas sosial kemasyarakatan sebagai bentuk penghargaan dan kepeduliaan mereka terhadap stakeholders63 yang telah menerima keberadaan
62 Istilah corporate citizenship dicetuskan oleh Peter Utting dalam tulisan ilmiahnya yang dibacakan pada Januari 2000 dalam sidang The United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD) di Geneva. Ia menyampaikan "development agencies and actor concerned with promoting sustainable development have been joined in recent years by another player-big business. Increasing adherence on the part of senior managers to concept like corporate citizenship or corporate social responsibility suggest that this sector of business is beginning to recast it relationship with that environment and it multiple stakeholder. This envolving situation stand in sharp contrast to the scenario of the past when big business was seen to be insensitive to the need of certain stakeholders and responsible for much of the environmental degradation of the planet".
63 Pengertian tentang kepentingan stakeholders dapat dilihat dari pendapat dari E. Merric Dodd yang mengajukan konsep bahwa perusahaan bekerja tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum dan kesejahteraan bangsa (stakeholders). Ajaran ini telah melahirkan stakeholders theory. Teori ini dibangun berdasarkan pandangan , apabila direksi perusahaan hanya mencari untung sebanyak-banyaknya demi kepentingan pemegang saham, maka kemungkinan besar bisnisnya akan cenderung menyimpang. perusahaan tersebut. Stakeholders disini bukan hanya sebatas pemegang saham saja, namun termasuk di dalamnya masyarakat sekitar, konsumen, serta lingkungan hidup. Kesemuanya merupakan faktor-faktor penunjang bagi kelangsungan dari suatu perusahaan.
Perusahaan merupakan keluarga besar yang memiliki tujuan dan target yang hendak dicapai, yang berada di tengah lingkungan masyarakat yang lebih besar. Sebagai warga masyarakat, perusahaan membutuhkan apresiasi dan interaksi anggota masyarakat dalam setiap aktivitasnya. Gambaran mengenai kedudukan perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas (stakeholders) dapat dilihat dari bagan yang dijelaskan oleh Nor Hadi yang sejalan dengan pendapat Archie B. Caroll.64 Perusahaan dalam menjalankan operasionalnya mempunyai empat tanggung jawab terhadap masyarakat luas yaitu:65
a. tanggung jawab ekonomis
maksudnya keberadaan perusahaan yang selama ini hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan dalam menjaga keberlangsungan perusahaan, serta meningkatkan kesejahteraan bagi para pemilik (shareholders). Untuk itu, perusahaan memiliki tanggung jawab menjamin dan meningkatkan kesejahteraan bagi pemegang saham.
b. tanggung jawab legal
maksudnya perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas memiliki kepentingan untuk memenuhi aturan legal formal, sebagaimana yang diisyaratkan oleh pemerintah. Operasional perusahaan hendaknya dilakukan sesuai dengan kaidah peraturan perundangan.