SKRIPSI PERAN PENYIDIK DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Sunday, January 31, 2016
(0023-HUKUM) SKRIPSI PERAN PENYIDIK DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

BAB II
DIVERSI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

A. Latar Belakang Pelaksanaan Divesi
Terminologi internasional yang digunakan untuk menyebut anak yang melakukan pelanggaran hukum adalah "Anak yang Berhadapan dengan Hukum". Sejak disadari bahwa anak juga melakukan pelanggaran hukum, perdebatan tentang bagaimana cara yang terbaik untuk menghadapinya, terus menerus berlangsung. Diversi adalah proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragam, tetapi kebanyakan lebih menekankan pada penahanan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringan nya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak tersebut. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 80% dari anak-anak yang diketahui Polisi melakukan pelanggaran hukum hanya akan melakukannya satu kali itu saja, jadi penggunaan sumber-sumber sistem peradilan yang 'menakutkan' untuk menangani anak-anak ini sesungguhnya sangat tidak berdasar, kecuali benar-benar diperlukan.57
Selain itu didapati bahwa jumlah kekerasan terhadap anak pada tahun 2009 meningkat mencapai 1.998 kasus. Selain kuantitas, jenis dan variasi kekerasan pun cenderung berkembang. Sekjen Komnas Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan: 58
"Yang paling dominan adalah jenis kekerasan seksual seperti pencabulan, perkosaan, sodomi, dan incast yang mencapai 62,7 persen. Sedangkan sisanya berupa pencurian, narkoba, kekerasan, dan sejenisnya, Tingginya kasus anak sebagai korban maupun pelaku kejahatan telah membuat jumlah anak yang berhadapan dengan hukum terus meningkat. Dan hampir semua kasus tersebut berujung pada pemidanaan dan penjara dengan jumlah sekitar 5.308 anak".
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan {remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.59
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau 'diskresi'.60
Diskresi61 adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakannya.62 Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi.
Dalam praktek penanganan anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat kepolisian sebagai pelaku maupun baik bagai saksi/korban tidak mempedomani peraturan-peraturan tentang anak seperti:63
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri;
5. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anesota Polri.
6. Lahirnya kewenangan diskresi pada kepolisian didasarkan pada Undang-Undang No.2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Replik Indonesia, Pasal 18 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu
dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Sehingga Polri dinilai tidak/belum professional dan proportional karena belum memperlihatkan sensitivitas terhadap dampak psikologis yang timbul akibat proses hukum serta belum berorientasi pada kepentingan terbaik anak sebagai prioritas pertimbangan dan acuan dalam mengambil keputusan ketika menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum, yang ditandai masih ditemukannya praktek-praktek:
1. Terhadap anak sebagai pelaku, ditemukan praktek mencukur rambut kepala anak dengan tidak memperhatikan kepatutan dan estetika, mengambil uang/ barang milik anak padahal uang/barang tersebut tidak berhubungan dengan perkara, menyuruh anak membersihkan Kantor Polisi, atau mencuci mobil, memberi hukuman fisik, menelanjangi, aniaya, membentak, menempatkan anak dalam satu kamar dengan tahanan dewasa, mempublikasikan anak kepada media, dll.64
2. Terhadap anak sebagai korban, tidak digunakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pasal pokok yang menjadi dasar dalam menegakkan hak-hak anak sebagai korban serta masih mempublikasikan gambar anak, identitas anak beserta keluarganya.65
3. Masih cenderung menyelesaikan perkara anak sebagai pelaku dengan menggunakan sistem hukum formal dan masih sangat miskin kreativitas dalam mencari alternatif penyelesaian permasalahan anak
di luar hukum formal/ pengadilan. Sebagai tambahan, Menurut Suryani Guntari (Staff Advokasi pada Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) pada proses penyidikan yang dilakukan pada tingkat kepolisian masih ditemukannya kekerasan yang dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, seperti pemaksaan dan intimidasi agar anak mengakui perbuatannya. Bahkan pada saat pemeriksaan anak tidak didampingi oleh orang dewasa, seperti orang tuanya. 66
Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang pelaku berinisial "SRS" bemsia 14 (empat belas tahun) pada saat kejadian bekerja di salah satu door smeer yang ada di Medan Tuntungan yang dituduhkan melakukan pencurian dengan pemberatan atas sebuah sepeda motor di daerah Medan Tuntungan, yang sampai saat ini masih ditahan.
"Hari itu, 16 November 2009 setelah selesai mencuci sepeda motor jenis Yamaha Jupiter MX Warna Hitam di salah satu door smeer di daerah medan tuntungan, saya bermaksud mengantarkannya kepada pemiliknya, namun ketika tiba di rumah pemilik kendaraan tersebut, pintu rumahnya tertutup dan pemiliknya tidak ada di rumah. Jadi karena takut meninggalkannya, maka saya membawa sepeda motor tersebut berkeliling di daerah tersebut. Namun kira-kira pukul 19.00 wib tiba-tiba saya di tangkap oleh dua orang berbaju biasa yang pada saat itu mengaku sebagai polisi, pada saat pemeriksaan saya dipaksa, serta ditampar agar mengatakan bahwa saya mencuri".67
Menurut konsep diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan hukum, yang dikeluarkan oleh Kabareskrim Polri disebutkan, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif.68
Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »