Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Secara lebih terperinci, perilaku kesehatan mencakup :
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia be respons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mem persepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya) maupun secara aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.
2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik modern maupun tradisional.
3. Perilaku terhadap makanan {nutrition behavior) meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan sehubungan dengan kebutuhan tubuh.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior). Kwick dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Blum dalam Butunuhal (1990), derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 faktor utama yaitu lingkungan (fisik,biologis, sosial budaya), perilaku manusia yang menjadi faktor yang paling besar pengaruhnya di samping genetik dan upaya pelayanan kesehatan. Suatu langkah bijaksana apabila di dalam penanggulangan penyakit ini yang secara jelas terbukti bahwa faktor manusia dan lingkungan yang paling besar pengaruhnya, maka mengubah perilaku individu merupakan intervensi yang tepat guna.
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2003), perilaku dibagi ke dalam tiga domain (ranah atau kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Ketiga domain tersebut adalah kognitif, afektif dan psikomotor.
Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain tersebut diukur dari:
a. Pengetahuan (knowledge)
b. Sikap atau tanggapan (attitude)
c. Praktik atau tindakan (practice)
Uraian sari ketiga domain tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
bam dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi {evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.
b. Sikap (attitude)
Sikap mempakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Secara umum sikap dapat dimmuskan sebagai kecendemngan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek, atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional yang afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya), di samping komponen kognitif (pengetahuan tentang objek tersebut) serta aspek konotatif (kecendemngan bertindak). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat bembah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosial (Sarwono, 1997).
Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2003):
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan respons terhadap suatu objek.
c. Praktik atau tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain,
misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua dan Iain-lain (Notoatmodjo, 2003).
Praktik mempunyai beberapa tingkatan, yakni:
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respons terpimpin (guided respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi annya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.1.1. Pengaruh Karakteristik Ibu dalam Perilaku Kesehatan
Manusia adalah individu dengan jati diri yang khas yang memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah sifat individu yang relatif tidak berubah, atau yang dipengaruhi lingkungan seperti umur, jenis kelamin, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan dan Iain-lain (Junadi, 2005).
Para ahli telah merumuskan berbagai faktor karakteristik individu yang berpengamh terhadap perilaku kesehatannya. Menurut Notoatmodjo (2003), beberapa faktor individu (person) yang terkait kesehatan antara lain:
1. Jenis pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Anderson menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satunya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Notosiswoyo dkk (2003), dari 340 responden 255 orang (75% ) di antaranya adalah ibu rumah tangga yg tidak bekerja lebih dapat memahami keadaan anaknya.
2. Tingkat pendidikan
Menurut Feldstein, tingkat pendidikan dipercaya memengaruhi permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan yang tinggi akan memungkinkan seseorang untuk mengetahui atau mengenal gejala-gejala awal. Anderson dan Antonovsky, mengatakan bahaw kunjungan dokter yang rendah adalah sebagai akibat rendahnya pendidikan dan sikap masa bodoh terhadap pelayanan kesehatan (Nasution, 2001).
Menurut Sutrisno dalam Kasnodiharjo (1999), seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah atau bahkan buta huruf, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menerapkan ide-ide baru dan membuat mereka bersifat konservatif, karena mereka tidak mengenal alternatif yang lebih baik yang tersedia baginya. Sebaliknya menurut Soekanto dalam Kasnodiharjo (1999),
orang yang berpendidikan tinggi akan lebih menerima gagasan-gagasan baru, karena orang yang berpendidikan relatif cukup tinggi lebih terbuka jalan pikirannya untuk menerima hal-hal atau ide-ide baru 3. Penghasilan
Penghasilan merupakan variabel yang dinilai ada hubungannya dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan penyakit (Notoatmodjo, 2003).
Tingkat penghasilan merupakan penghasilan yang diperoleh bapak dan ibu yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga semakin besar jumlah pendapatannya, maka taraf kehidupan akan semakin membaik (Kartasasmita, 2003).
2.2. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.2.1. Pengertian DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. DBD ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik-bintik perdarahan (petechiae), lebam (ecchymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, feses berdarah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan atau syok (Depkes RI, 2000).
Hingga saat ini, DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Sejak dilaporkan pertama kali di Surabaya dan Jakarta pada Tahun 1968, jumlah kasusnya cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Pada Tahun 1994, DBD telah tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia (Depkes RI, 2000).
Penyakit ini berkembang sangat pesat dan bahkan dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Hingga saat ini, belum ditemukan obat atau vaksin bagi penyakit DBD. Berat tidaknya penyakit ini sangat ditentukan oleh daya tahan tubuh seseorang. Jika daya tahan tubuh kuat maka virus penyebabnya akan mati dan dalam waktu lebih kurang dari satu minggu penderita akan sembuh. Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun sampai sekarang belum berhasil dengan baik, sehingga daerah endemis semakin meluas di Indonesia dan kejadian luar biasa masih sering terjadi (Depkes RI, 2000).
Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus dan kondisi geografis setempat (Hadinegoro dkk, 2004).
2.2.2. Nyamuk Penular Penyakit DBD
Menurut riwayatnya nyamuk penular penyakit demam berdarah disebut nyamuk Aedes aegypti itu, awal mulanya berasal dari mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. Nyamuk hidup dengan subur di