(KODE : 0012-EKONPEMB) : SKRIPSI ANALISIS POTENSI RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DALAM MENDUKUNG PENDAPATAN ASLI DAERAH
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Ekonomi
Pembangunan diartikan sebagai suatu proses perbaikan yang dinamis dan terus-menerus atas suatu masyarakat atau sistem sosial yang membawa perubahan dan peningkatan keadaan dari yang mempunyai corak sederhana ke tingkatan yang lebih maju.
Menurut B.S.Mulyana (1996: 3) pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. Yang dilaksanakan oleh pemerintah umumnya bersifat infrasruktur atau prasarana, yaitu bangunan fisik ataupun lembaga yang mempunyai fungsi yang esensial sebagai pembuka peluang dan pendukung kegiatan-kegiatan ekonomi. Sedangkan yang dilaksanakan oleh masyarakat umumnya yang bersifat directly producing, atau langsung menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi permintaan konsumen, baik perorangan, rumah tangga ataupun industri.
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah merupakan investasi. Sedangkan investasi meliputi 2 (dua) jenis yaitu (Mulyana, 1996:3) :
1. Investasi yang bersifat infrasruktur fisik, yang dapat membantu perkembangan kegiatan-kegiatan di segala bidang baik di bidang ekonomi maupun non ekonomi, sehingga dengan demikian juga dapat berfungsi sebagai prasarana. Misalnya : pembangunan jalan.
2. Investasi yang bersifat infrastruktur non fisik, antara lain penetapan
kebijakan pemerintah, baik yang bersifat umum, seperti kebijakanmoneter, ataupun yang bersifat khusus, seperti kebijakan di bidang perdagangan ataupun kebijakan di bidang ketenagakerjaan.
Sedangkan Todaro (2000: 23) memberi pengertian bahwa pembangunan adalah suatu proses yang multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional seperti adanya percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan nasional, pengurangan kesenjangan sosial dan pemberantasan kemiskinan absolut. Menurut Todaro (2000: 23), proses pembangunan harus memiliki 3 (tiga) tujuan inti, yaitu :
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, kesehatan, perlindungan keamanan).
2. Peningkatan standar kehidupan yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, namun juga meliputi penambahan penyediaan lapangan pekerjaan, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, dimana semuanya itu tidak hanya
untuk memperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga untuk menumbuhkan jati diri pribadi bangsa yang bersangkutan.
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi tiap individu dan bangsa secara keseluruhan, yakni membebaskan mereka dari sikap ketergantungan.
Pada dasarnya pembangunan harus menampilkan perubahan yang menyeluruh yang meliputi usaha penyelarasan keseluruhan sistem sosial terhadap kebutuhan dasar dan keinginan-keinginan yang berbeda bagi setiap individu dan kelompok sosial dalam sistem tersebut, berpindah dari suatu kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan kepada suatu kondisi kehidupan yang lebih baik secara materiil dan spiritual.
B. Perencanaan Pembangunan Daerah
Sebagaimana dikatakan friedman (1964) dalam Glasson (1977: 4), perencanaan adalah suatu cara berpikir mengenai persoalan-persoalan sosial dan ekonomi yang berorientasi ke depan, sangat berkenaan dengan hubungan antara tujuan dan keputusan-keputusan kolektif dan mengusahakan kebijaksanaan dan program yang menyeluruh.
Peranan utama dari perencanaan regional adalah menggarap secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Perencanaan ini berkenaan dengan arus penduduk dan kesempatan kerja, ketersediaan dan penggunaan sumber daya, dan dengan prospek ekonomi jangka panjang yang pengkajiannya hanya dapat dilakukan dalam kerangka perimbangan yang akan dicapai antara pertumbuhan di suatu daerah dan syarat-syarat pertumbuhan daerah lainnya. Dalam hal ini, hanya pemerintah yang dapat mengambil keputusan (Glasson, 1977: 5-6).
Dalam suatu pemerintahan, sudah selayaknya Pemerintah Daerah membuat perencanaan matang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan perencanaan tersebut diharapkan untuk dapat memperbaiki penggunaan sumber daya publik yang tersedia di daerah yang bersangkutan dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta secara bertanggungjawab.
Perencanaan Ekonomi Daerah setidaknya membawa tiga implikasi pokok (Lincolin Arsyad, 1999b: 133):
a) Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistis memerlukan pemahaman tentang hubungan antar daerah dengan lingkungan nasional secara nasional (vertikal dan horisontal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antar keduanya
dan konsekuensi akhir dan interaksi tersebut.
b) Perencanaan yang baik secara nasional belum tentu baik untuk digunakan di daerah dan sebaliknya.
c) Perbedaan perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah dan pusat, selain itu derajat pengambilan kebijakan yang sangat berbeda. Oleh karena itu, perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki agar diperoleh manfaat maksimal.
Berdasarkan pembangunan ekonomi, maka bisa dikatakan pengertian pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses. Proses yang dimaksud di sini adalah proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pembangunan perusahaan-perusahaan baru (Arsyad, 1999b: 109).
Pembangunan ekonomi apabila dilihat dan sisi kegiatan ekonomi dan sudut penyebarannya adalah (Arsyad, 1999b: 107-108):
a. Daerah Homogen, yaitu daerah yang dianggap sebagai ruang di mana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam pelosok ruang terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifat tersebut antara lain dan segi pendapatan per kapita, sosial budayanya, goegrafisnya, dan sebagainya.
b. Daerah Nodal, yaitu daerah yang dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi sehingga perbatasan daerah tersebut ditentukan oleh tempat-tempat di mana pengaruh dari satu atau beberapa pusat kegiatan-kegiatan ekonomi digantikan dengan pengaruh dari pusat lainnya.
c. Daerah Perencanaan, yaitu daerah administrasi dimana dalam daerah yang bersangkutan juga merupakan suatu ekonomi ruang yang berada di bawah suatu daerah admistrasi yang tertentu, seperti propinsi, kabupaten, kota, dan sebagainya. Jadi, pengertian daerah di sini lebih ditunjukkan pada pembagian daerah administrasi suatu wilayah.
Pada hakikatnya pembangunan ekonomi merupakan pelaksanaan dan pembangunan nasional pada wilayah tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial ekonomi regional tersebut serta tunduk pada aturan tertentu.
C. Pembangunan Daerah di Era Otonomi
Pembangunan Ekonomi Daerah merupakan suatu proses dimana Pemerintah Daerah dan masyarakat secara bersama-sama mengelola sumber daya yang ada di daerah tersebut dan membentuk suatu pola kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan aktivitas ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999a: 108).
Otonomi Daerah memungkinkan daerah untuk mendapatkan keleluasaan dan kewenangan pemerintahan mulai dan perencanaan. pelaksanaan, pengawasan, pengendalian hingga evaluasinya secara nyata dan bertanggungjawab. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang efisien dan efektif ini diharapkan akan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah menuju kemandirian daerah dan kemajuan daerah.
D. Kebijakan Otonomi Daerah dan Desenfralisasi Fiskal
1. Pemerintahan Daerah Di Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 UUD 1945, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik Negara kesatuan dibedakan lagi menjadi negara yang menganut asas desentralisasi dan yang menganut asas sentralisasi. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dan dijelaskan dalam Pasal 18 UUD 1945 bahwa Negara Indonesia terbagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Sedangkan untuk daerah yang bersifat otonom atau administratif, semuanya diatur dan ditetapkan dalam undang-undang.
Kedua pasal tersebut merupakan landasan hukum yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas dan bertanggung jawab kepada daerah sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dimana pengetahuan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
Kewenangan otonomi luas yaitu kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan disamping itu kekuasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan otonomi nyata adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Otonomi merupakan perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip pemberian otonomi secara utuh kepada pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk membantu pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Pemerintah pusat dapat lebih memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat nasional dan internasional sehingga terhindar atau tidak dibebani oleh hal-hal yang bersifat lokal. Titik berat pemberian otonomi daerah kepada pemerintah daerah Kabupaten atau Kota bahkan Provinsi. Hal ini berhubungan dengan fungsi utama pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dalam melaksanakan pembangunan.
Pemberian otonomi secara utuh kepada kabupaten dan kota, menuntut daerah bisa memenuhi unsun-unsur mutlak yang harus ada untuk dapat dikatakan sebagai daerah otonom. Unsur tersebut adalah (Joseph Riwo Kaho, 1997: 92):
a. Mempunyai urusan rumah tangga sendiri, yaitu unsur-unsur yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk diatur dan diurusnya.
b. Urusan-urusan tersebut diatur sesuai dengan kebijaksanaan dan diurus sesuai pula dengan inisiatif atau prakarsa sendiri.
c. Urusan-urusan rumah tangga daerah tersebut diselenggarakan oleh perangkat daerah itu sendiri.
d. Untuk membiayai penyelengganaan urusan-urusan rumah tangga daerah tersebut, daerah mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri.
Anggito Abimanyu (1995) dalam Dhinaiyah (2003: 19) menyatakan pelaksanaan pembangunan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada daerah bukan hanya proses administrasi politik berupa pelimpahan wewenang pembangunan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, akan tetapi lebih merupakan suatu proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah oleh pemerintah daerah sendiri, dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat di daerah.