Pada bagian ini akan akan disajikan kajian teori meliputi; televisi di Indonesia, TATV, bahasa berita, Kabar Awan, kajian tingkat tutur terdahulu, jenis leksikon, bentuk tingkat tutur bahasa Jawa, pola pemilihan bentuk tingkat tutur, dan pola pemilihan leksikon
1. Televisi di Indonesia
Dalam bahasa Inggrisnya Televisi ini disebut dengan televison. Istilah "Television" berasal dari bahasa Yunani : Tele artinya : far, off, jauh. Ditambah dengan vision yang berasal dari bahasa Latin vision, yang artinya to see, melihat. Jadi artinya secara harfiah, melihat jauh. Ini sesuai dengan existensi dari pada siaran TV dari Jakarta, kita bisa lihat di rumah kita di Bandung. (Palapah, M.O. Drs., Syamsudin, Atang, Drs., 1983. Studi ilmu Komunikasi. Bandung : Fakultas Ilnu komunikasi Universitas Padjajaran, hal. 83.)
Di Indonesia tonggak pertelivisian diawali dengan hadirnya televisi pemerintah, TVRI pada tahun 1962. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat strategis pemerintahan dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiaan sosial hingga kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa dekade TVRI memegang monopoli penyiaran di Indonesia, dan menjadi "corong" pemerintah. (Dalam, Menanggung jawab sosial Televisi, penulis Ruspadia Saktiyanti Jahja dan Muhamad Irvan, diterbitkan Ford Foundation, Januari 2006). Pada tahun 1988 mulai hadir televisi swasta yang dipelopori oleh RCTI dan diikuti oleh televisi-televisi swasta yang lain seperti SCTV, TPI, ANTV, INDOSIAR, LATIVI, TRANSTV, TV7, dan GLOBAL TV pada tahun - tahun selanjutnya. Semua televisi swasta tersebut adalah televisi yang dapat dinikmati secara nasional sehingga dapat disebut televisi nasional. Selain televisi nasional, di Indonesia dikenal pula televisi lokal. Televisi lokal hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di kota atau profinsi dimana televisi lokal tersebut berdiri. Televisi lokal kini banyak bermunculan di kota-kota atau provinsi-provinsi di Indonesia. Sebagai contohnya adalah JTV di Surabaya Jawa Timur, Bali TV lalu Riau Tv, TV Manado. Namun perkembangan TV lokal di daerah semakin meningkat bak jamur di musim hujan. Di Banten Propinsi yang baru seumur jagung telah bersiaran, Cahaya TV Banten di Tangerang dan Banten TV di Serang. Menyusul Carita TV, Bayah TV dan Pandeglang Televisi. Sedangkan di Jawa tengah dan Jogjakarta dikenal Jogja TV dan TATV di Solo.
2. TATV
Terang Abadi TV (TATV) adalah pionir siaran televisi lokal di Solo Raya yang berada di bawah naungan PT. Televisi Terang Abadi. Dengan tag-line TATVMANTEB!! (masa kini dan tetap berbudaya), stasiun televisi yang lahir pada bulan September 2004 di Solo ini selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa tengah (Solo) dan sekitarnya serta Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya yaitu kebutuhan akan informasi dan hiburan.
Hingga saat ini, wilayah cakupan TATV mencapai Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, Magelang, Kota Surakarta (Solo), Kabupaten Klaten, Boyolali, Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, Sebagian Pati, Kudus, Wonosobo, Temanggung, dan Ngawi. Sebagai stasiun televisi yang saat ini memiliki delapan belas jam penyiaran per hari sejak pukul 06.00-00.00 WIB, TATV memenuhi pola 60 persen in house program yang terdiri dari acara on air dan off air serta tayangan langsung dan outdoor event. TATV yang beroperasi di channel 50 UHF pada frekuensi 703.25 MHZ ini memiliki program daerah yang kuat. Beberapa program acara seperti, Live Obloran Forum Solusi, Interaktif live dalam Jagongan Pasar Gede, Campursari, Warna-Warni, TTC, Game show, Surakarta Hari Ini, Jogja Hari Ini, Kabar Wengi, Kabar Awan, dan masih banyak lagi merupakan program-program favorit pemirsa.
3. Kabar Awan
Kabar Awan merupakan salah satu program unggulan di TATV. Program ini disiarkan dalam format berita yang berdurasi 60 menit. Kabar Awan ditayangkan secara langsung pada pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB. Acara ini mempunyai target audience masyarakat Solo dan sekitarnya khususnya pria dan wanita yang berusia 15 tahun keatas. Keunikan program berita Kabar Awan adalah pengemasan acara yang berupa program live news yang menampilkan 9 berita pilihan yang bisa dipilih oleh pemirsa secara langsung dan pemirsa bisa memberikan komentar serta opini yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari.
Kabar Awan banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya warga Solo dan sekitarnya yang mencoba berinterakasi melalui telepon untuk memilih berita dan memberikan komentar atau opininya.
Banyak hal yang menarik untuk diamati di berita Kabar Awan. Selain berita-beritanya yang aktual, juga penggunaan bahasanya. Banyak fenomena bahasa yang menarik untuk dicermati diantaranya adalah penggunaan ragam ngoko dan ragam krama dalam bahasa Jawa.
4. Kajian Tingkat Tutur Terdahulu
Pembahasan mengenai tingkat tutur telah banyak dilakukan oleh para ahli bahasa. Sasangka di dalam bukunya Unggah-ungguh Bahasa Jawa (2007) mengungkapkan beberapa buku atau beberapa penulis yang pernah membahas unggah-ungguh atau undha-usuk dalam bahasa Jawa. Di antaranya adalah Karti Basa yang disusun oleh Jawatan Kementrian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1946), Tingkat Tutur Bahasa Jawa yang disusun oleh Poedjasoedarmo dkk. (1979), dan Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa yang disusun oleh Ekowardono dkk. (1993). Ketiga buku itu dianggap mewakili zamannya masing-masing. Konsep dasar dalam ketiga buku itu diungkapkan dalam uraian berikut.
a. Kajian terhadap Karti Basa
Dalam Karti Basa terbitan Kementrian PP dan K (1946: 64-84) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa (buku itu menyebutnya dengan undha-usuk) terdiri atas (1) ngoko, (2) madya, (3) krama, (4) krama inggil, (5) kedhaton, (6) krama desa, dan (7) kasar. Undha-usuk ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andhap dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basaantya. Undha-usuk madya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) madya ngoko, (2) madyantara, dan (3) madya krama, Undha-usuk krama juga dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) mudha krama, (2) kramantara, dan (3) wredha krama.
Di dalam buku itu disebutkan pula bahwa basa ngoko merupakan bahasa yang lugu (sederhana, wajar, alami) yang belum mengalami perubahan apa pun. Leksikon-leksikon yang terdapat di dalamnya seluruhnya berupa ngoko. Jika di dalam kalimat terdapat kata krama inggil, ragam itu disebut ngoko antyabasa. Namun, jika di dalam kalimat terdapat kata krama dan krama inggil, ragam itu disebut basaantya. Sementara itu, basa madya merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah antara basa ngoko dan basa krama. Kata-kata yang terdapat di dalamnya berupa kata madya dan ngoko. Jika dalam kalimat hanya terdapat kata madya dan ngoko, ragam itu disebut madya ngoko atau madyantara. Jika dalam kalimat terdapat kata madya, krama, dan krama inggil, ragam itu disebut madya karma.
Lain halnya dengan basa krama, basa krama merupakan bahasa yang hormat. Kata-kata yang terdapat di dalamnya semua berupa krama. Jika dalam
kalimat terdapat kata krama dan krama inggil, ragam itu disebut mudha krama. Namun, jika dalam kalimat hanya berupa kata krama saja ragam itu disebut kramantara dan wredha krama. Yang membedakan kedua ragam tersebut terletak pada penggunanya. Jika yang menggunakan orang muda, ragam itu disebut mudha krama. Namun, jika yang menggunakan orang tua, ragam itu disebut wredha krama. Lebih lanjut dalam buku itu dijelaskan bahwa mudha krama digunakan oleh anak muda kepada orang tua, kramantara digunakan oleh orang yang sejajar status sosialnya, dan wredha krama digunakan oleh orang tua kepada orang yang lebih muda.
Selain ketiga undha-usuk tersebut, masih ada basa krama inggil, basa kedhaton, basa krama desa, dan basa kasar. Basa krama inggil didefinisikan sebagai bahasa yang sangat santun yang bentuknya mirip dengan mudha krama. Bahasa kedhaton (di Yogyakarta disebut basa bagongan) merupakan bahasa yang digunakan oleh keluarga raja dan/atau digunakan oleh para karyawan (abdi) yang bekerja di dalam istana. Ragam bahasa tersebut hanya dipakai di dalam istana. Krama desa didefinisikan sebagai ragam halus orang desa yang kurang memahami ragam halus orang kota. Di dalam Karti Basa disebutkan bahwa krama desa tidak termasuk bahasa yang halus.
b. Kajian terhadap Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Dalam Tingkat Tutur Bahasa Jawa yang disusun oleh Poedjasoedarma dkk. (1979) yang diterbitan oleh Pusat Bahasa disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa, di dalam buku itu disebut tingkat tutur bahasa Jawa, terdiri atas (1) ngoko, (2) madya, dan (3) krama. Ketiga tingkat tutur itu masih dipilah-pilah menjadi sembilan bentuk. Tingkat tutur ngoko dibedakan menjadi ngoko lugu, basa antya, dan antyabasa; tingkat tutur madya dibedakan menjadi madya ngoko, madyantara, dan madya krama; tingkat tutur krama dibedakan menjadi mudha krama, kramantara, dan wredha krama. Di dalam uraiannya, Poedjasoedarma mengakui bahwa tingkat tutur kramantara dan wredha krama sudah jarang terdengar. Pendapat Poedjasoedarma tersebut diikuti oleh Purwo (1991). Purwo juga membagi tingkat tutur bahasa Jawa menjadi ngoko, madya, dan krama. Namun, ketiga jenis tingkat tutur itu tidak diperincinya lagi.
Meskipun Poedjasoedarma (1979:13—15) telah membagi tingkat tutur menjadi sembilan, ternyata yang diberi penjelasan panjang lebar hanyalah tingkat tutur yang ber-bentuk ngoko, madya, dan krama, sedangkan bagian-bagian ketiga tingkat tutur itu penjelasannya sama dengan yang terdapat di dalam Karti Basa. Poedjasoedarma berpendapat bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara Ol terhadap O2 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (O2); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko, tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan Ol terhadap O2.
Bagan 2
Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979)
c. Kajian Lain
Selain kedua kajian di atas, kajian lain yang perlu diungkapkan adalah kajian yang dilakukan oleh Poerbatjaraka. Poerbatjaraka (dalam Sudaryanto, 1989:96-103) berpendapat bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa pada prinsipnya terdiri atas empat macam, yaitu ngoko, krama, ngoko krama, dan krama ngoko. Demikian halnya dengan Hadiwidjana (1967:50-51), ia membagi tingkat tutur