Dalam pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan bahwa "untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:54
1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) cakap untuk membuat suatu perikatan;
3) suatu hal tertentu;
4) suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan ke empat disebut sebagai syarat objektif dari perjanjian.55
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang ataudiperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.56
Demikian juga halnya dalam perjanjian lisensi Paten, syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas berlaku juga dalam perjanjian lisensi Paten.
Selain keempat syarat-syarat umum syahnya suatu perjanian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata di atas, dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten juga mensyaratkan bahwa perjanjian lisensi Paten tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.
Selanjutnya, dalam pasal 71 ayat (2) dinyatakan bahwa permohonan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal.
Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 71 ayat (2) di atas, batasan serta yang dimaksud dengan merugikan perekonomian Indonesia ataupun pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dalam perjanjian lisensi paten tidak jelas. Dalam Undang-undang ini tidak dijelaskan pembatasan-pembatasan dalam perjanjian lisensi Paten yang bagaimana yang dilarang serta perjanjian lisensi Paten yang bagaimana dibolehkan. Barang kali yang dimaksud dengan ketentuan yang merugikan perekonomian dan kemamuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi dalam perjanjian lisensi Paten adalah grand back dan restrictive. Larangan untuk membuat klausula ini adalah penting untuk menghindari adanya hambatan penguasaan teknologi bagi bangsa Indonesia.57
Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual dijelaskan bahwa perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:58
1) tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;
2) nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;
3) obyek perjanjian lisensi;
4) jangka waktu perjanjian lisensi;
5) dapat atau tidaknya j angka waktu perj anjian lisensi diperpanj ang;
6) pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak eksklusif;
7) jumlah royalti dan pembayarannya;
8) dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;
9) batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan; dan
10) dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan.
Menurut ketentuan Pasal Pasal 72 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, maka perjanjian lisensi Paten wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, kemudian dimuat dalam daftar umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam PAsal 72 ayat (2) dijelaskan pula bahwa apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Dalam ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dijelaskan pula, bahwa perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Sedangkan Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang lainnya menetapkan persyaratan bahwa perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan-ketentuan yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.59 Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan atau memuat hal yang demikian hams ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) di atas terdapat tiga unsur60 perjanjian lisensi tidak boleh memuat:
1) ketentuan baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia;
2) pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya; dan
3) hal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau diperhatikan ketiga persyaratan tersebut masih bersifat umum, oleh karena itu masih perlu diuraikan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden.
Perjanjian lisensi dapat dibuat secara eksklusif dan secara non eksklusif. Apabila perjanjian lisensi Paten dimaksudkan secara eksklusif, maka hal tersebut harus dibuat secara tegas dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat eksklusif. Oleh karena itu pemberi lisensi masih berhak melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya dan bahkan berhak untuk member lisensi kepada pihak lainnya61
B. Objek Perjanjian Lisensi Paten
Jika Undang-undang telah menetapkan bahwa subjek perjanjian adalah para pihak yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari dari objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri.62 Maka dalam perjanjian lisensi paten, yang menjadi obyek perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten adalah:63
a) Dalam hal Paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
b) Dalam hal Paten proses; menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Dengan demikian, paten yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi harus memenuhi persyaratan substansial dan kriteria penemuan yang dapat dipatenkan (patentabilitas). Berkaitan dengan patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya, semua penemuan yang lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat dipatenkan, kecuali beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001, yaitu tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan moral1
Dengan perjanjian lisensi tersebut, maka pihak ketiga dapat melaksanakan suatu paten yang dijadikan obyek dalam perjanjian lisensi tersebut dan menikmati manfaat ekonomi dari paten tersebut tanpa merasa khawatir adanya gugatan oleh pemegang Paten atas penggunaan Paten tersebut dan sebaliknya, pemegang Paten akan memperoleh imbalan dalam bentuk royalti dari pihak penerima lisensi. Undang-undng Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten memberikan batasan-batasan yang hams diperhatikan para pihak yang melakukan perjanjian. Batasan perjanjian tersebut diatur utamanya dalam rangka melindungi hak penerima lisensi yang dalam praktek perjanjian lisensi umumnya cenderung dalam posisi yang lemah, oleh karena itu, dengan adanya pencatatan perjanjian lisensi diharapkan hal yang merugikan penerima lisensi dapat dihindarkan.64
C. Subjek Perjanjian Lisensi Paten
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Pihak-pihak dalam kontrak ini disebut subjek dalam perjanjian tersebut. Subjek dalam suatu perjanjian dapat berupa orang perorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum.65 Dalam hal Subjek dalam perjanjian lisensi Paten adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi Paten. Perjanjian tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan.