Untuk membahas tentang hukum waris, pertama kali akan diurai istilah hukum waris yang terdiri dari kata "hukum" dan kata "waris". Pendekatan dilakukan melalui dua cara yaitu pendekatan secara kebahasaan dan pendekatan secara istilah sehingga dengan kedua pendekatan tersebut diharapkan akan diperoleh pemahaman secara materil yang di dalamnya mengandung hakikat tentang digunakannya suatu kata menjadi suatu istilah, sedangkan pemahaman secara formil akan tercermin dari definisi-definisi umum yang diakui.
Secara formal kebahasaan Indonesia, kata hukum merupakan serapan dari bahasa Arab yaitu hakama yang terdiri dari tiga huruf dasar yaitu huruf ha\ huruf kaf dan huruf mim yang apabila ketiga huruf tersebut dirangkai, maka maknanya berarti menghalangi seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan. Makna yang lain berarti kendali. Kendali bagi hewan dinamai hakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkannya, atau liar. Makna yang lainnya adalah hikmah yang berarti sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan sehingga mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan.15
Hukum apabila dialihbahasakan ke dalam bahasa Belanda menjadi recht atau sebaliknya recht apabila dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum. Paling tidak, dalam kamus umum bahasa Belanda - Indonesia16, recht juga mempunyai arti lurus, tidak bengkok, benar, baik, jujur, sederhana, tepat, betul, dan lain sebagainya sesuai dengan variasinya.
Jengertian hukum dari sisi kebahasaan tersebut di atas tampaknya dan mungkin juga seharusnya merupakan jiwa dari suatu hukum baik dari fungsi, konsep, pelaksanaan dan tujuannya (teori dan praktek). Untuk konsumsi akademis dan teknis formal, para ahli berusaha untuk memberikan defmisi hukum yang kemudian diakui sebagai defmisi oleh masyarakat.
Para ahli hukum berusaha memberikan defmisi tentang hukum. Walaupun Van Apeldoorn17 menyebutkan bahwa hukum banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan.
Hukum (recht) mempunyai beberapa pengertian. Secara konkret, berarti keseluruhan aturan nilai mengenai suatu segi kehidupan masyarakat.18
Meyers dalam bukunya "De Algemene begrippen van het Burgerlijk Rechf sebagaimana dikutip oleh C. S. T. Kansil19 memberikan pengertian bahwa hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
Utrecht20 memberikan batasan hukum sebagai berikut: hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
Sebagaimana kata "hukum", kata "waris" merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab yang dari segi bahasa berasal dari kata (kalimat) mijats yang berarti perpindahan sesuatu dari serseorang kepada orang lain21. Inti dari waris pada dasarnya adalah perpindahan.
Sedangkan menurut kamus bahasa Arab, al wgritsu mempunyai makna apa yang tersisa setelah musnahnya sesuatu (meninggalnya seseorang).
Jika dialihbahasakan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Belanda, waris dalam bahasa Belanda adalah erfdeel yang terdiri dari kata er/"yang mempunyai arti tanah/daerah warisan, halaman sekitar rumah, tanah air.23 Diartikan juga sebagai suatu benda tak bergerak sebagai objek dari hak milik sendiri24. Deel dalam bahasa Belanda berarti "bagian"25 dalam bahasa Indonesia. Jadi erfdeel jika diterjemahkan secara bebas berarti bagian pekarangan yang bila dihubungkan dengan undang-undang berarti bagian warisan26.
Secara istilah, waris adalah perpindahan hak kepemilikan dari mayit kepada ahli warisnya yang masih hidup sama saja apakah yang ditinggalkannya itu berupa harta, tanah atau suatu hak dari hak-hak yang sesuai dengan aturan/hukum.27
Apabila kata hukum dan kata waris digabungkan menjadi hukum waris, secara singkat dapat diuraikan menjadi aturan-aturan yang mengatur tentang berpindahnya hak kepemilikan dari yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup.
Pitlo memberikan defmisi hukum waris sebagai kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang: yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggal oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.28
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga unsur yaitu: a. Unsur pertama adalah seorang peninggal warisan (erflater) yang pada
wafatnya meninggalkan kekayaan,
Unsur kedua, seorang atau beberapa orang ahli29 waris (erfgenaam30) yang
berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu,
Ahli dalam bahasa Arab berarti keluarga atau pemilik. Orang yang memiliki pengetahuan
yang sangat baik dikatakan ahli, karena anggota keluarga atau pemilik biasanya mempunyai
pengetahuan yang sangat baik tentang keluarganya atau apa yang dimilikinya dibandingkan
dengan orang lain. Ahli waris dalam pengertian ini berarti yang berhak atas warisan.
c. Unsur ketiga, harta warisan (nalatenschap) yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu. Syarat untuk memperoleh warisan31 adalah:
a. Mesti ada orang yang meninggal dunia32 dan,
b. Untuk memperolehnya mestilah orang yang masih hidup pada saat pewaris
meninggal dunia.33
Masalah waris digolongkan sebagai masalah perdata sehingga hukum waris masuk ke dalam golongan hukum perdata. Hukum perdata didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang berkenaan dengan hak orang dan benda tertentu dalam hubungannya satu sama lain, sebagai kebalikan dari hukum publik (publiek recht) yang mengenai keadaan negara dan kepentingan umum. Hukum perdata meliputi hukum perdata dalam arti sempit, hukum dagang dan hukum acara perdata (burgerlijkrecht, handelsrecht en het burger lijk proces recht)34
Subekti mendefinisikan hukum perdata dalam arti yang luas yang meliputi semua hukum privat materil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentinganperserorangan.35
Achmad Ichsan mendefinisikan hukum perdata sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara anggota-anggota masyarakatnya masing-masing atau antara anggota masyarakat dengan suatu badan hukum, diantaranya pemerintah sebagai badan hukum.36
Maka dapat juga kiranya di tarik suatu rangkuman bahwa hukum perdata mempakan istilah yang menempatkan penggolongan hukum berdasarkan hubungan hukum yang dilihat dari sudut pandang kepentingan antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya, baik antar perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan kelompok orang ataupun kelompok orang dengan kelompok orang baik itu orang (persoon) atau badan hukum (rechtpersoon) sepanjang kepentingan itu hanya mempengamhi mereka saja dan bukan mempengamhi orang banyak. Sering diistilahkan juga dengan nama hukum privaat (hukum pribadi) atau juga hukum sipil.
Sumber pokok hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) yang mempakan hasil kodifikasi39.
Menumt sistematikanya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. terbagi menjadi empat buku yaitu:
Buku Kesatu : Tentang Orang (Van Personen)
Buku Kedua : Tentang Benda (Van Zaken)
Buku Ketiga : Tentang Perikatan (Van Verbintenisen)
Buku Keempat : Tentang Pembuktian dan Daluwarsa (Van Bewijs en
Verjaring)
Sedangkan menumt ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri atas empat bagian yaitu:
Bagian Pertama : Hukum Perseorangan (Personenrecht)
Bagian Kedua : Hukum Keluarga (Familierecht)
Bagian Ketiga : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Bagian Keempat : Hukum Waris (Erfrecht)
Dengan demikian dapat juga disimpulkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempakan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur kepentingan perdata atau perseorangan. Hal ini lazim disebut sebagai hukum perdata materil. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur bagaimana perdata materil ditegakan dan dipertahankan disebut hukum acara perdata atau lazim disebut hukum perdata formil yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHA Perdata).
2.2. Hukum Waris di Indonesia
Pengaruh hukum peninggalan Belanda dan belum mampunya Indonesia menyusun suatu hukum perdata yang menyeluruh (komprehensif) menjadikan suasana hukum di Indonesia masih bersuasanakan Belanda yang pada waktu itu bertindak sebagai penjajah yang berusaha mengekalkan kekuasaannya di daerah jajahannya sehingga berusaha melemahkan daerah jajahannya melalui politik40 devide et impera (pecah belah dan jajah).
Salah satu upaya penjajah Belanda adalah diberlakukannya politik hukum41 di Indonesia yang waktu itu disebut Hindia Belanda. Aturan mengenai politik hukum yang dijalankan oleh Belanda yang menggolong-golongkan penduduk Indonesia sampai saat ini belum dicabut dan secara eksplisit tampak pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terlepas dari pluralitas hukum yang diberlakukan. Dalam Kitab Undang-Undang Perdata ada aturan-aturan yang berlaku bagi bangsa Eropa, ada juga yang berlaku bagi bangsa Tiong Hoa, ada juga yang berlaku bagi bangsa Timur Asing lainnya di luar Tiong Hoa yang tentunya berbeda. Sedangkan aturan untuk Pribumi tidak dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Walaupun ada aturan mengenai penundukan diri, dalam suasana sekarang ini pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara diskriminatif dirasa sudah tidak sesuai bahkan menyulitkan dalam pelaksanaannya. Bahkan suasana penjajahan sampai saat ini masih menjiwai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Idealnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengenai dan berlaku untuk seluruh Warga Negara Indonesia tanpa melihat dari suku bangsa atau golongan manapun asalnya selama tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka seluruh ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku terhadapnya.
Kenyataan yang terjadi mengenai politik hukum peninggalan Belanda dalam bidang hukum waris, Indonesia masih menganut pluralitas hukum dimana masih mengakui lebih dari satu hukum waris, yaitu:
a. hukum waris Adat,
b. hukum waris Islam,
c. hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Artinya setiap Warga Negara Indonesia sudah diberikan ketentuan jalur hukum mana yang akan dipakai sehingga dikenal ada istilah hukum negara yang direpresentasikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum perdata agama Islam yang direpresentasikan oleh Kompilasi Hukum Islam dan hukum adat yang tidak ada aturan formalnya tapi tercermin dari putusan-putusan pengadilan dan yurisprudensi dalam arti Putusan-Putusan Pengadilan atau Mahkamah Agung, juga merupakan sumber daripada Hukum Perdata.42 Hal ini sudah menjadi kesepakatan umum.
Pada tataran praktek di lapangan, pluralitas hukum waris menimbulkan kebingungan terutama terkait hukum waris mana yang seharusnya dipakai. Sekadar contoh, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 13 Februari 1975 Nomor 172 K/Sip/197443 tentang pembagian harta warisan di Mas, menurut hukum/kebiasaan yang berlaku, apabila seorang pewaris meninggal dunia di kampung Hinako, Kabupaten Mas, untuk menentukan cara pembagian harta warisannya, hukum warisan yang dipakai adalah bertitik tolak kepada agama yang dianut oleh si pewaris yang meninggalkan harta warisan tersebut. Artinya apabila si pewaris yang meninggal beragama Islam, maka pembagian hartanya dilakukan menurut hukum Islam dan apabila si pewaris yang meninggal beragama Kristen, maka pembagian hartanya dilakukan menurut adat.