1. Pengertian Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Perkembangan Hak Guna Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal ini disebabkan Hak Guna Bangunan merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat.
Pengertian Hak Guna Bangunan ditemukan dalam Pasal 35 dan 39 UUPA. Dari ketentuan kedua pasal UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu yang paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.95 Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Boedi Harsono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah negara atau milik orang lain, selama jangka waktu yang terbatas.96 Hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain dan dapat juga dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.97
Menurutnya, tanah Hak Guna Bangunan ini tidak dibenarkan untuk digunakan bagi usaha pertanian, karena hak tersebut diadakan khusus bagi penyediaan tempat untuk bangunan.98 Bangunan tersebut wajib dibangun sendiri untuk kemudian dimiliki oleh pemegang HGB bersangkutan. Menurut UUPA tidak dimungkinkan orang lain menguasai / menggunakan tanah HGB pihak lain untuk sendirian dan memiliki bangunan diatasnya, biarpun dengan persetujuan pemegang HGB. Pihak lain hanya dimungkinkan mengenai tanah Hak Milik pada pihak lain, bukan tanah HGB (Pasal 44 UUPA).99
Ali Achmad Chomzah berpendapat, yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan diperalihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.100
96 Boedi Harsono, (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I), Hukum Agraria Indonesia / Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997,
hlm. 242.
Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut berdiri. Dengan kata lain pemegang HGB bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan.101
Maria S.W. Sumardjono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan atas permintaan pemegang hak dapat diperpanjang dengan dua puluh tahun. HGB dapat diperoleh dari tanah negara ataupun tanah (hak) milik orang lain.102
Berbeda dengan pendapat para ahli hukum sebelumnya, Maria S.W. Sumardjono berpendirian bahwa pemegang HGB adalah sekaligus pemegang hak atas tanah dan bangunannya. Dengan perkataan lain hak atas tanah dan bangunan berada disatu tangan atau tidak terpisah. Apabila HGB itu (dalam pengertian pemegang HGB bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan) akan dibebani dengan hak lain, maka satu-satunya kemungkinan yang terbuka adalah pembebanannya dengan hak sewa atas bangunan, yang berarti yang menjadi objek sewa menyewa adalah bangunan dan bukan (hak atas) tanahnya. Konstruksi yuridis HGB tidak memungkinkan bahwa seseorang mempunyai bangunannya saja tanpa menjadi pemegang hak atas tanahnya.103
Menurutnya apabila konsep tersebut diterapkan dalam pemilikan satuan rumah susun / apartemen, maka jelas pemegang HGB semula adalah developer / perusahaan pembangunan rumah susun. Bila kemudian seseorang membeli satuan rumah susun / apartemen untuk dirinya, maka disamping pemilikan satuan rumah susun tersebut (HMSRS) yang bersifat individual dan terpisah, juga meliputi pemilikan bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut. Konsekwensinya adalah bahwa pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah (Pasal 8 HMSRS). Bagi warga negara asing yang tidak merupakan subyek HGB, pemilikan apartemen diperbolehkan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak pakai.104
Alasan pemilikan apartemen / bangunan tersebut terpisah dari status penguasaan hak atas tanahnya, karena berlakunya asas pemisahan horizontal105 dalam Hukum Tanah Nasional, menurut Maria S.W. Sumardjono menunjukkan kesalahan dalam penerapannya (miskonsepsi dan misaplikasi). Asas itu menurutnya mengandung pengertian, bahwa pada prinsipnya pemilikan bangunan terpisah dengan penguasaan tanahnya, kecuali jika menurut kenyataan pemilikan bangunan dan penguasaan hak atas tanahnya berada pada satu tangan. Terhadap pengertian HGB sudah jelas bahwa asas pemisahan horizontal tidak berlaku.106
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 14 Tahun 1960 juncto Peraturan Ditektur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 59/DDA/1970 ditegaskan bahwa dalam hal peralihan HGB diperlukan izin yang pada intinya mewajibkan pemohon untuk memberikan keterangan tentang jumlah tanah atau rumah yang sudah dipunyai beserya isteri dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya untuk menentukan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau tidak. Peraturan-peraturan tersebut pada prinsipnya dimaksudkan mengadakan pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UUPA, misalnya berkaitan dengan persyaratan subyek hak atas tanah.107
Berkaitan dengan penerapan asas pemisahan horizontal tersebut, Bachtiar Effendie menggarisbawahi bahwa :
....Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang secara tegas telah menjabarkan asas pemisahan horizontal tersebut ke dalam pasal-pasal dari Undang-Undang Pokok Agraria. ...Penerapan asas pemisahan horizontal tersebut tidak selalu mutlak diterapkan kendatipun Undang-Undang Pokok Agraria telah mencabut Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (termasuk mencabut Pasal 500 juncto 571 ayat 1 juncto 601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). ...Penerapan asas pemisahan horizontal haruslah secara kasuistis / perkasus sehingga dengan demikian penyelesaian kasus Pendapat diatas didukung oleh Boedi Harsono. Menurutnya asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan secara mutlak, sebab di kota-kota bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu lintas hukum, maka pemilik tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Menurut beliau di desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan (tanaman diatasnya) pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan / tanaman di atasnya.109
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dengan benda-benda / bangunan-bangunan/ tanaman yang berada diatasnya sedangkan untuk daerah perkotaan asas pemisahan horizontal tidaklah dapat dipertahankan lagi secara mutlak. 2. Terjadinya Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Menurut A.P. Parlindungan, secara umum yang merupakan alas Hak Guna Bangunan ini adalah :110
a) Ketentuan konversi dari ex BW dan ex Hak Adat.
b) Berdasarkan limpahan wewenang sebagaimana diatur oleh ketentuan PMDN
No.6 Tahun 1972, yaitu sampai dengan 2.000 (dua ribu) m2 wewenang dari