Perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan."19
Undang-undang sendiri juga memberikan definisi mengenai perjanjian. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian ialah: "Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".
Definisi ini dianggap tidak lengkap dan terlalu luas. Pernyataan ini seperti yang diungkapkan Mariam Darus Badrulzaman:
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat juga mencakup mengenai janji-janji kawin, juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.20
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak ini dapat dijadikan dasar perikatan bagi kedua belah pihak. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dari Perjanjian yang dibuat ini, maka akan timbul suatu hubungan antara 2 (dua) orang tersebut. Hubungan inilah yang dinamakan perikatan. Pada dasarnya perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang (pihak) yang membuatnya.
Dari definisi-definisi yang diajukan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya hubungan hukum.
b. Adanya dua pihak.
c. Adanya hukum kekayaan.
d. Ada hak di satu pihak dan ada kewajiban di pihak lain..
Perjanjian-perjanjian yang dibuat tersebut pada dasarnya bersifat bebas,
sehingga tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Perjanjian ini dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Jika perjanjian dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini dapat dijadikan alat bukti jika ternyata di kemudian hari terjadi perselisihan. Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak. Atau dengan kata lain perjanjian berisi perikatan-perikatan. Untuk mengatur tentang perikatan ini maka diperlukan hukum. Hukum diperlukan untuk mengatur tingkah laku manusia.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan: Hukum merupakan rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib di antara anggota-anggota masyarakat itu. Ini artinya bahwa anasir hukum dianggap ada jika suatu tingkah laku banyak menyinggung atau mempengaruhi orang lain.
Hukum merupakan seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah. Yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang ditunagkan baik sebagai aturan tertulis (peraturan) ataupun yang tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyakaratnya secara keseluruhan, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan itu21
Kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum pada hakekatnya ditujukan pada orang lain. Karena itu dapat dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah semula mengatur hubungan hukum antara orang-orang, jadi bukan antara orang dan suatu benda. Apabila kita menelusuri berbagai literature dan bagitu pula dalam praktik maka maka akan diketahui, bahwa isi dari suatu perjanjian kerja dari kewajiban-kewajiban dan hak-hak kedua belah pihak (pekerja dan pengusaha). Sebagai kewajibann utama pekerja adalah melakukan pekerjaan, sedangkan kewajiban utama pengusaha adalah membayar upah. Kewajiban-kewajiban pekerja itu merupakan hak bagi pengusaha. Begitu pula sebaliknya, kewajiban pengusaha menjadi hak bagi pihak pekerja.22
Hal ini berarti hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai perhubungan hukum di mana seorang tertentu, berdasar atas suatu janji. Wajib untuk melakukan suatu hal dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan/perjanjiandiperlukan empat syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membaut suatu perikatan, (3) suatu hal yang tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata "sepakat" tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar "sepakat" berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. Cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak di bawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
3. Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang sec ara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim.
Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian di bawah paksaan dan atau terdapat pihak di bawah umur atau di bawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.23
C. Bentuk Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa
Secara umum ada dua bentuk perjanjian yang dikenal, yaitu perjanjian secara tertulis dan tidak tertulis (lisan). Bentuk-bentuk perjanjian ini berhubungan erat dengan beban, pembuktian, jika ada sengketa di belakang hari.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada paham individualisme. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam "kebebasan berkontrak".24
Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian baku yang terdapat di masyarakat, dapat dibedakan dalam empat jenis, yaitu:
1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini bisa umpamanya pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
2. Perjanjian baku timbal balik, adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya formulir-formulir perjanjian dengan akta jual beli.
4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, adalah
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat.25