2.1.1. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Hubungan keuangan pusat dan daerah erat kaitannya dengan azas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Darumurti (2000) menyebutkan, hubungan keuangan antara pusat dan daerah timbul karena adanya pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang disusun secara bertingkat (multiplicity of government units). Yani (2002) menyatakan hubungan keuangan pusat dan daerah erat kaitannya dengan azas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Latar belakang timbulnya hubungan keuangan pusat-daerah, yaitu: (a) desentralisasi, (b) dekonsentrasi, dan (c) tugas pembantuan. Ketiga azas tersebut adalah merupakan landasan pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Hubungan keuangan pusat dan daerah, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan ketiga azas tersebut, dimana dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi, dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu corak hubungan keuangan pusat-daerah diwarnai pula oleh hubungan fungsi pusat dan daerah berdasarkan ketiga azas tersebut. Kerangka hubungan fungsi pusat dan daerah dapat dilihat pada Gambar
Gambar 2.1. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sumber: Sakti, 2007.
Samudra (2000) menyebutkan persoalan pokok hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah pembagian sumber-sumber pendapatan dan kewenangan pengelolaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan ini menyangkut tanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluarannya. Tujuan utama hubungan ini adalah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian sumber penerimaan, agar potensi dan sumberdaya masing-masing daerah yang sekalipun berbeda-beda dapat diseimbangkan terutama alokasinya.
Yani (2002) menyatakan hubungan keuangan pusat dan daerah diperlukan untuk; (a) mengatasi ketimpangan fiskal vertikal (ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dengan daerah), (b) mengatasi ketimpangan fiskal horizontal (ketimpangan fiskal antar daerah), (c) menjaga tercapainya standar pelayanan publik minimum di setiap daerah, (d) menjalankan fungsi stabilisasi antara pusat dan daerah dan/atau antar daerah, dan, (e) mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari melimpahnya dan/atau menyebarnya efek pelayanan publik.
Pengertian tersebut menunjukkan ada tugas dan wewenang tertentu tetap dilaksanakan oleh pusat, dan ada pula tugas dan wewenang tertentu dilaksanakan daerah, sebagai akibat dari pelimpahan tugas dan wewenang dari pusat kepada daerah yang bersangkutan. Konsekwensi dari pelimpahan tugas dan wewenang tersebut adalah pusat menyerahkan pula sebagian sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut kepada daerah. Hal inilah yang menjadi latar belakang timbulnya masalah hubungan keuangan pusat dengan daerah.
Hubungan keuangan pusat dan daerah, secara praktisnya memberikan pengertian bagaimana Pemerintah Pusat memberikan dana transfer kepada Pemerintah Daerah. Sidik (2002) menyebutkan dana transfer dari pusat ke daerah dibedakan dalam 2 (dua) golongan, yaitu: (a) bagi hasil pendapatan (revenue
sharing), dan (b) bantuan (grant). Prinsip tujuan umum dari transfer dana pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah untuk; (a) meniadakan dan meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal, (b) meniadakan dan meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal, (c) menginternalisasi atau memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat yang menimbulkan biaya.
2.1.2. Pengertian dan Sumber Keuangan Daerah
Pengertian Keuangan Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Sumber pendapatan daerah untuk penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber pada:
1) Pajak Daerah;
2) Retribusi Daerah;
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4) Lain-lain PAD yang sah.
b. Dana Perimbangan, terdiri atas:
1) Dana Bagi Hasil Pajak/ Bagi Hasil Bukan Pajak;
2) Dana Alokasi Umum;
3) Dana Alokasi Khusus.
c. Lain-lain Pendapatan yang terdiri atas pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dana bagi hasil pajak dari propinsi dan pemerintah daerah lainnya, dan bantuan keuangan dari propinsi atau pemerintah daerah lainnya.
2.1.3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah
Pengelolaan dan pertangungjawaban keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ini berarti bahwa seluruh sumber penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas Pemerintah Daerah dicatat dan dikelola dalam APBD. APBD pada hakekatnya adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah, yang merupakan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerahnya. Secara garis besar APBD terdiri dari dua komponen pokok yaitu pendapatan dan belanja (pengeluaran) daerah.
Komponen pendapatan terdiri atas Pendapatan Asli daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Komponen pengeluaran pemerintah menurut Kunarjo (1993) sebagai berikut.
a) Pengeluaran rutin adalah pengeluaran yang disediakan untuk menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, pengeluaran rutin ini digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya.
b) Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Kategori penggunaan pengeluaran pembangunan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu.
1) Pengeluaran pakai habis, yaitu pengeluaran yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang sifatnya secara langsung tidak menghasilkan return kepada pemerintah tetapi secara tidak langsung mempunyai dampak luas kepada pertumbuhan kemajuan perekonomian negara serta pemerataan pendapatan masyarakat.
2) Pengeluaran transfer adalah pengeluaran dari dana APBN yang dipergunakan untuk bantuan pembangunan daerah, penyertaan modal pemerintah dan subsidi. Komponen pengeluaran pemerintah menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan sebagai berikut.
a) Belanja tidak langsung, merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung ini adalah belanja pegawai dalam bentuk gaji dan tunjangan, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.
b) Belanja langsung, merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung ini adalah belanja pegawai dalam bentuk honorarium/upah kegiatan, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, menyatakan bahwa "Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat".
Tujuan utama pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah menurut Binder (1989) dalam Nuryanti (2003) adalah:
a. Pertanggungjawaban (accountability)
Pemerintah Daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah (orang yang membawahi semua satuan tata usaha), dan masyarakat umum.
b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang (termasuk pinj aman j angka panj ang).
c. Kejujuran
Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur, dan kesempatan untuk berbuat curang diperkecil.
d. Hasil Guna (Effectiveness) dan Daya Guna (Efficiency) kegiatan daerah.
Tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan Pemerintah Daerah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya.
e. Pengendalian.
Petugas keuangan Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut di atas tercapai, mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran dan untuk membandingkan penerimaan dan pengeluaran dengan rencana dan sasaran.
Binder (1989) menjelaskan bahwa pengelolaan keuangan yang baik
memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.
a. Sederhana
Sistem yang sederhana lebih mudah dipahami dan dipelajari oleh mereka yang bertugas menjalankannya, dan lebih besar kemungkinan diikuti tanpa salah; dapat lebih cepat memberikan hasil; dan mudah diperiksa dari luar dan dari dalam.
b. Lengkap
Secara keseluruhan, pengelolaan keuangan hendaknya dapat digunakan untuk mencapai tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, dan harus mencakup segi keuangan setiap kegiatan daerah. Jadi, misalnya kegiatan menyususn anggaran harus menegakkan keabsahan penerimaan dan pengeluaran; menjaga agar daerah selalu dapat melunasi kewajiban keuangannya; menjalankan
pengawasan dari dalam; berusaha mencapai hasil guna dan daya guna