(KODE : 0006-MANAJEMEN) : SKRIPSI ANALISIS KEMAMPUAN DAN KINERJA KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG KEBERHASILAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
Menurut Sularso (2011:14), kemampuan keuangan daerah ditunjukkan dengan kinerja keuangan, dapat digunakan sebagai alat mengukur keberhasilan daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Sebagai salah satu perangsangnya, dikeluarkannya investasi oleh pemerintah daerah.
Sedangkan menurut Kuncoro (2007:10), pajak daerah dan retribusi daerah seyogyanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah. Perbedaan potensi pajak daerah dan retribusi daerah menghasilkan perbedaan penerimaannya yang selanjutnya menghasilkan pula perbedaan belanjanya. Di sisi lain, perbedaan PAD antarpemerintah daerah tidak selalu merepresentasikan potensinya akibat persaingan pajak (tax competition) antardaerah. Demikian pula, perbedaan belanja antarpemerintah daerah tidak selalu mencerminkan kebutuhan riil masyarakatnya akibat persaingan pengeluaran (expenditures competition). Dalam era perdagangan bebas, persaingan antarpemerintah daerah ini akan semakin kuat terutama dalam merebut peluang bisnis dalam dalam menarik investasi.
Dan menurut Sumarjo (2010:9), Pengujian data karakteristik pemerintah daerah yang terdiri dari ukuran (size) pemerintah daerah, kemakmuran (wealth), ukuran legislatif, leverage, dan inter-govermental revenue terhadap kinerja keangan pemerintah daerah yang dilakukan dengan menggunakan model regresi berganda menunjukkan hasil bahwa ukuran (size) pemerintah daerah, leverage, dan inter-govermental revenue berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Kemakmuran (wealth) tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah disebabkan masih kecilnya peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini terbukti dengan masih besarnya ketergantungan pemerintah daerah terhadap trasnfer dana yang berasal dari pemerintah pusat.
Menurut Agustina (2013:10), rata-rata kinerja pengeloaan keuangan dan tingkat kemandirian daerah kota Malang di era otonomi daerah berdasarkan analisis ratio keuangan adalah kurang baik. Terlihat dari tingkat rasio kemandirian keuangan daerah Kota Malang bersifat instruktif karena memiliki rata-rata 18,76% (<25%), rasio efektivitas prosentase rata-ratanya sebesar 105,4% yang berarti pemungutan pendapatan asli daerah cenderung stabil atau sangat efektif, rasio efisiensi Kota Malang prosentase rata-ratanya dalam memberikan biaya insentif untuk memungut PAD secara maksimal, dan rasio aktivitas Pemerintah Kota Malang di era otonomi daerah menunjukkan pemerintah masih memprioritaskan belanja daerahnya untuk Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), serta rasio pertumbuhan Kota Malang menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Malang mampu mempertahankan kinerjanya dalam mengelola keuangan daerahnya terlihat dari rasio pertumbuhan yang mengalami trend positif (PAD dan Pendapatan Daerah), meskipun ada juga yang mengalami trend negatif (Belanja Daerah).
Menurut Dariwardani dan Amani (2010:3), bahwa sebagian besar provinsi setelah otonomi daerah digulirkan berada pada kuadran I (Kinerja Baik). Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali merupakan provinsi dengan kinerja tinggi. Terbukti dengan nilai IPM di atas nilai nasional dan nilai IKK diatas rata -rata nilai 19 provinsi serta nilai Rasio Desentralisasi Pendapatan diatas 30%. Provinsi dengan kinerja sedang yang berada pada kuadran II (Kinerja Sedang II) yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Provinsi-provinsi ini berhasil meningkatkan input, namun belum membawa dampak peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur tergolong provinsi kuadran III dengan kinerja sedang III, dimana memiliki nilai IPM tinggi namun nilai IKK masih dibawah rata-rata 19 provinsi lainnya. Sedangkan provinsi dengan kinerja rendah yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah. Bila dicermati peta kinerja 19 provinsi di Indonesia sebelum dan setelah pemberlakuan otonomi daerah terdapat beberapa pergeseran peta kinerja. Namun demikian ada pula daerah yang konsisten dengan posisi kinerjanya. Seperti provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali baik sebelum maupun setelah pemberlakuan otonomi daerah memiliki kinerja yang tinggi. Demikian pula halnya dengan provinsi Jawa Timur, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur tetap pada posisi kinerja sedang. Sementara itu, provinsi Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah masih berada pada posisi kinerja rendah.
Beberapa provinsi setelah 6 tahun pemberlakuan otonomi daerah mengalami peningkatan status kinerja. Provinsi Sumatera Barat dan DKI Jakarta berubah dari kinerja sedang menjadi provinsi dengan kinerja tinggi. Setelah otonomi daerah digulirkan potensi potensi ekonomi kedua provinsi ini terbukti dapat dikelola dengan baik sehingga membawa dampak peningkatan kinerja. Sumber alam yang melimpah di Provinsi Sumatera Barat dapat dinikmati oleh daerah itu sendiri dengan proporsi berimbang dengan bagian yang harus diserahkan kepada pemerintah pusat.
Demikian pula dengan Provinsi DKI Jakarta dimana kenaikan pendapatan daerah terutama dari sektor jasa telah membawa peningkatan kinerja provinsi ini. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara juga mengalami peningkatan status kinerja dan kinerja rendah menjadi kinerja sedang. Peningkatan status kinerja ini tidak lepas dari potensi alam yang dimiliki daerah setempat yang dapat dikelola dengan baik oleh Pemda setempat.
Dalam penelitian Susantih dan Saftiana (2008:24), Hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja keuangan daerah Propinsi Lampung memiliki peringkat tertinggi yaitu 63,81 persen dan Propinsi Bengkulu memiliki peringkat terendah yaitu 49,22 persen. Hasil analisis kemandirian dan efektifitas keuangan daerah menunjukkan bahwa Propinsi Lampung memiliki peringkat tertinggi yaitu 50,11 persen untuk kemandirian dan 132,17 persen untuk efektifitas keuangan daerah. Selanjutnya hasil analisis aktifitas keuangan daerah menunjukkan bahwa Propinsi Sumatera Selatan memiliki nilai rasio belanja aparatur daerah terendah yaitu 32,43 persen dan nilai rasio pelayanan publik tertinggi yaitu 40,52 persen. Sementara itu, hasil uji beda Kolmogorov Smirnov menunjukkan nilai asymp sig sebesar 0,859, hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kinerja keuangan pemerintah daerah pada lima Propinsi se-Sumatera Bagian Selatan.
Penelitian Savitry (2013:102) pada kinerja keuangan Kota Makassar pada rentang waktu antara tahun 2007 hingga 2011, memberikan hasil rasio kemandirian keuangan daerah yang memperoleh hasil rata-rata sebesar 18,30% atau berada pada pola hubungan instruktif. Rasio derajat desentralisasi fiskal dan rasio indeks kemampuan rutin yang menunjukkan kemampuan keuangan daerah masih kurang, yaitu sebesar 15,39% dan 24,99%. Pada rasio keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan dengan gap sebesar 25,60%. Rasio pertumbuhan, secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif, karena peningkatan pendapata asli daerah dan total pendapatan daerah tdak diikuti oleh pertumbuhan belanja pembangunan, tetapi diikuti oleh pertumbuhan belanja rutin. Konstribusi PAD terhadap APBD, masih kurang, yaitu sebesar 15,39%. Dengan melihat hasil analisis tersebut, perkembangan kemampuan keuangan Kota Makassar dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dianggap masih kurang.
Kemudian pada penelitian Ash-Shiddiqy (2012:83) yang dilakukan di Kabupaten Bantul diperoleh hasil sebagai berikut: (1). Rasio Kemandirian rata-ratanya sebesar 8.79% masih berada diantara 0%-25% yang berarti kemampuan keuangan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah masih sangat kurang, (2) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal pada pemerintahan Kabupaten Bantul masih dalam skala antara 0%-10% yaitu sebesar 8.07% yang berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam mendukung otonomi daerah khususnya dalam membiayai pembangunan daerah, (3). Rasio Indeks Kemampuan Rutin pada pemerintahan Kabupaten Bantul masih dalam skala interval antara 0%-20% yaitu sebesar 11.98%, dan ini berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang masih sangat kurang untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam membiayai pengeluaran rutin, (4). Rasio Keserasian antara pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan yaitu sebesar 68.79% dan 31.21%, (5). Rasio Pertumbuhan Rata-rata secara keseluruhan mengalami peningkatan disetiap tahunnya yakni PAD sebesar 17.78%, TPD sebesar 15.02%, Belanja Rutin sebesar 14.65%, dan Belanja Pembangunan sebesar 38.93%, namun belum cukup untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Pemerintah Kabupaten Bantul karena rata-rata pertumbuhannya sangat sedikit. Dengan melihat hasil analisis kelima rasio tersebut, maka perkembangan kemampuan keuangan di Pemerintah Kabupaten Bantul dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah masih kurang.
Dalam penelitian Sakti (2007:88), di Kabupaten dengan hasil analisis data sebagai berikut: (1). Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angka rasio rata-ratanya adalah 7,88 % masih berada diantara 0 %-25 % tergolong mempunyai pola hubungan instruktif yang berarti kemampuan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan, dan Pelayanan Sosial masyarakat masih relatif rendah. (2). Berdasarkan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun Derajat Desentralisasi Fiskal adalah sangat kurang karena hanya memiliki rata-rata 6,84 %, hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian / kemampuan keuangan Kabupaten Sukoharjo masih rendah dalam melaksanakan otonominya. (3). Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin daerah, yang sering disebut juga dengan IKR (Indeks Kemampuan Rutin) rata-rata hanya sebesar 9,75 %, ini artinya IKR di Kabupaten Sukoharjo sangat kurang karena masih berada dalam skala interval antara 0,00-20,00. Hal ini berarti PAD memiliki kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutinnya dan pemerintah Kabupaten Sukoharjo masih tergantung pada sumber penerimaan keuangan dari pemerintah pusat. (4). Berdasarkan rasio Keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan. Besarnya belanja rutin ini dikarenakan besarnya belanja pegawai. (5). Berdasarkan Rasio Pertumbuhan, secara keseluruhan mengalami peningkatan disetiap tahunnya yang disebabkan bertambahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah.