SKRIPSI TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINIL TERHADAP NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0053) SKRIPSI TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINIL TERHADAP NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN


BAB II
PENERAPAN HAK- HAK ANAK MENURUT
UNDANG-UNDANG 12 TAHUN 1995 DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK


A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tanjung Gusta Medan.
a. Sistem Kepenjaraan
Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Getischen Reglement (Peraturan Penjara) Stb, 1917 Nomor 708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu penjeraan artinya seseorang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik, tidak etis, tidak manusiawi dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan narapidana hanya ditempatkan potensi dan eksistensinya sebagai manusia, seolah-olah keberadaan narapidana di penjara semata-mata karena wujud dari pembalasan dendam.
Diperlukannya integrasi narapidana, petugas serta masyarakat karena hal itu dianggap dapat mencegah kekejaman penjara. Perubahan orientasi pidana penjara yang menitikberatkan kepada pemasyarakatan narapidana, hal itu dikarenakan masalah jera, rehabilitasi atau resosialisasi adalah masalah yang menghendaki pula pengalaman dari masyarakat, secara implisit dan eksplisit dan
untuk keperluan itu hams ada pemanifesasiannya secara langsung melalui suatu proses timbal balik yang memerlukan waktu.28
Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan didalam sel yang dikelilingi tembok yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah kembali kemasayarakatan.
Surat Keputusan Direktorat Pemasyarakatan No.KP. 10.13/31 dalam SK tersebut dinyatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses terapeutik di mana narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan dianggap berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakatnya mempunyai hubungan negatif dengan beberapa unsur masyarakat dan karena itu perlu mendaptkan pembinaan agar nantinya dapat menyatu kembali dengan utuh di dalam masyarakat dengan nilai keharmonisan.29
Sistem kepenjaraan menempatkan narapidana sebagai objek, mereka diklasifikasikan menjadi beberapa golongan menurut besar kecilnya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Adapun klasifikasi yang dimaksud adalah :
a. Golongan B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.
b. Golongan B-IIa adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana antara 4 sampai 12 bulan.
c. Golongan B-IIa adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana antara 1 hari sampai 3 bulan.
d. Golongan B-III adalah untuk narapidana yang dipindahkan kurungan pengganti pidana denada yang lama pidananya maksimal1 bulan. Sedangkan untuk tahanan dapat dikelompokkan menjadi:
a. Golongan A-I adalah untuk tahanan Kepolisian.
b. Golongan A-II adalah untuk tahanan Kejaksaan.
c. Golongan A-III adalah untuk tahanan Pengadilan Negeri.
d. Golongan A-IV adalah untuk tahanan Pengadilan Tinggi.
e. Golongan A-V adalah untuk tahanan Mahkamah Agung.
Dari klasifikasi tersebut menunjukkan dengan jelas adanya perlakuan terhadap narapidana dan tahanan yang semata-mata hanya sebagai objek saja, karena dalam pendekatan yang dilakukan menyamaratakan narapidana-narapidana dan tahanan-tahanan dalam satu golongan tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi penyebab mereka melakukan tindak pidana.
b. Sistem Pemasyarakatan
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana, sehingga dengan adanya Lembaga Pemasyarakatan dapat memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan kegiatan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Letak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Medan diresmikan pada tahun 1996 yang berlokasi di Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan, tepatnya dijalan Pemasyarakatan Tanjung Gusta. Di lokasi Tanjung Gusta terdapat juga Lapas Klas I Medan (dewasa), Lapas Wanita Klas IIA Medan; Rumah Tahanan Klas I Medan dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan Klas I Medan).
Sedangkan Lapas Anak sendiri menampung semua anak yang berkonflik dengan hukum yang meliputi seluruh wilayah daerah Kabupaten dan Kota yang ada di Propinsi Sumatera Utara dengan daya tampung 250 orang.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Medan menjalankan fungsinya sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana, yang bernaung di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia dengan Pimpinan langsung di bawah Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 tersebut. Amanat Presiden saat membuka konfrensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Mahluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif.
Pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada "10 Prinsip Pemayarakatan".
Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi melalui perlindungan hak-hak terpidana. Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas; pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:
a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
b) Mendapat perawatan,baik perawatan rohani maupun jasmani.
c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e) Menyampaikan keluhan.
f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan (narapidana dewasa).
h) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya. i) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
j) Mendapatkan pembebasan bersyarat. k) Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan 1) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku.
Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi dengan masyarakat maka harus ada usaha timbal balik baik dari Lembaga maupun yang dari masyarakat, semua itu merupakan satu kesatuan


Artikel Terkait

Previous
Next Post »