1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau overenkomst mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi (M. Yahya Harahap, 1986: 6). Dalam hal ini dapat diketahui bahwa hubungan hukum dalam perjanjian bukanlah suatu hubungan hukum yang timbul dengan sendirinya namun hubungan itu timbul oleh adanya “tindakan hukum/ rechtshandeling”. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh berbagai pihak menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak memperoleh “hak/ recht” atas
sebuah prestasi dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk menyerahkan prestasi. Apabila salah satu pihak tidak menyerahkan prestasinya sesuai yang telah disepakati bersama maka dianggap telah
melanggar perjanjian dan akan dikenai sanksi sesuai yang telah disepakati bersama. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada sesuatu bentuk tertentu. Perjanjian dapat dibuat secara lisan dan tertulis, dimana apabila sebuah perjanjian dibuat secara tertulis maka perjanjian ini dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Namun untuk beberapa perjanjian, undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu dianggap tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde)perjanjian (Mariam Darus
Badrulzaman, 1994: 18).
b. Subyek Perjanjian
Perjanjian timbul karena adanya hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, sehingga dalam hal ini pendukung perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu. Dalam
hal ini orang yang membuat perjanjian dikatakan sebagai subyek perjanjian, dimana salah satu pihak menjadi pihak kreditur dan pihak lain menjadi pihak debitur. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Kreditur sebagai penerima prestasi terdiri dari:
a) Individu sebagai persoonyang bersangkutan.
b) Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/ hak orang lain.
c) Persoonyang dapat diganti. Sedangkan debitur terdiri dari:
a) Individu sebagai persoonyang bersangkutan
b) Seseorang atas kedudukan atau keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu.
c) Seseorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun izin dan persetujuan kreditur (Yahya Harahap, 1986: 15-17). KUH Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian, yaitu:
1) Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
2) Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya.
3) Pihak ketiga.
Sesuai dengan pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUH Perdata, pada asasnya perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi (asas persona). Para pihak
tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dengan apa yang disebut janji guna pihak ketiga (pasal 1317 KUH Perdata). Dalam hal dengan janji guna pihak ketiga, maka siapa
saja yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menarik kembali apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendaknya atau kemauannya untuk mempergunakanya. Dengan demikian asas
seseorang tidak dapat mengikat diri selain atas nama sendiri mempunyai kekecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan “janji guna pihak ketiga”. Selain itu apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli waris dan orangorang yang memperoleh hak daripadanya(pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum (onder algeme titel) yang terjadi pada ahli
warisnya. Hal ini sesuai dengan yang termaksud dalam pasal 1318KUH Perdata.
c. Obyek Perjanjian
Obyek perjanjian adalah prestasi. Sesuai ketentuan pasal 1234 BW, prestasi yang diperjanjikan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian ialah untuk “menyerahkan sesuatu”, “melaksanakan sesuatu”, dan “untuk tidak melakukan sesuatu”. Mengenai obyek perjanjian/ prestasi harus dapat ditentukan merupakan sesuatu yang logis dan praktis. Dalam pasal 1320 ayat (3) menentukan
bahwa obyek prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu obyeknya harus tertentu, atau sekurang-kurangnya obyek tersebut harus mempunyai jenis tertentu. Dengan dasar tersebut kedua belah
pihak yang akan mengadakan penandatanganan suatu perjanjian haruslah menentukan jenis dan jumlah atau hal yang akan diperjanjikan secara konkrit sehingga tidak akan menimbulkan kesalahpahaman dikemudian hari.
d. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian pada pokoknya menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, dimana dalam hal ini mengandung unsur “kebebasan berkontrak”yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian antara mereka sendiri. Dalam mengadakan perjanjian terdapat syarat sah yang harus dipenuhi menurut pasal 1320 KUH Perdata agar suatu perjanjian tersebut dapat berlaku, yaitu:
(a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Dalam hal ini kedua belah pihak secara sepakat untuk mengadakan perjanjian berdasarkan kehendak masing-masing, artinya pada
waktu perjanjian itu diadakan tidak terdapat paksaan, penipuan atau kekeliruan. Jika dalam pembuatan perjanjian terdapat suatu unsur paksaan/ ketidakbebasan kehendak maka perjanjian tersebut
dapat dibatalkan.
(b) Kecakapan untuk membuat perjanjian Kedua belah pihak yang mengadakan kesepakatan untuk membuat perjanjian harus cakap bertindak. Menurut pasal 1329 KUH
Perdata yang dimaksud dengan setiap orang adalah cakap dalam membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Sedangkan orang yang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian yaitu:
i). orang-orang yang belum dewasa
ii). mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
iii). orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh nundang-undang dan pada umumnya semua orang kepada undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian tesebut maka perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan dengan perantaraan hakim.
(c) Suatu hal tertentu
Dalam hal ini terdapat obyek, jumlah, jenis, dan bentuk yang diperjanjikan sudah tertentu.
(d) Suatu sebab yang halal
Adanya sebab yang diperbolehkan, dimana sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian tidak dilarang oleh peraturan, tidak bertentangan dengan keamanan dan ketertiban umum. Apabila
syarat tersebut dilanggar maka perjanjian batal demi hukum.
e. Asas-Asas Perjanjian
Sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu dan merupakan landasan dimana dibangun suatu tertib hukum. Asas-asas tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan dimana didalamnya terdapat
aturan-aturan hukum dimana merupakan suatu sistem hukum yang dapat dijabarkan dalam sub-sistem hukum. Sub-sistem hukum ini dijabarkan lagi secara rinci dalam bagian yang lebih kecil, dalam hal
ini misalnya sub-sistem dari hukum perdata, dijabarkan lagi kedalam hukum kontrak yang lebih dikenal dalam hukum perjanjian. Dilihat dari hukum nasional, maka hukum perjanjian merupakan sub-sistem hukum perdata sehingga hukum perjanjian harus selaras dengan hukum perdata termasuk harus selaras dengan asas-asas yang terdapat dalam hukum perdata. Adapaun asas-asas yang dimaksud adalah:
a) AsasKonsensualisme
Asas ini sangat erat kaitanya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam menciptakan perjanjian.
b) Asas Kepercayaan
Dalam membuat suatu perjanjian dengan pihak lain haruslah didasari dengan suatu kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
c) Asas Kekuatan Mengikat
Didalam perjanjian terdapat asas kekuatan mengikat, dimana kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian terikat pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, dan kebiasaan akan mengikat para pihak.
d) Asas Persamaan Hak
Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diwajibkan melihat adanyapersamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
e) Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Dimana keduanya haruslah memenuhi kewajiban masing-masing.
f) Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan yang wajar, dimana terdapat suatu perbuatan sukarela dari seseorang untuk tidak menimbulkan hak baginya untuk tidak menggugat kontraprestasi dari pihak debitur.
Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada “kesusilaan” (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.
g) Asas Kepatutan
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini hubungan yang terjadi melalui perjanjian ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
h) Asas Kebiasaan