Berlakunya UUPA pada prinsipnya telah berlaku pula sebuah unifikasi hukum Agraria yang bertujuan mengakhiri suasana dualisme hukum antara hukum Barat di satu sisi dan Hukum Adat di sisi lain di bidang hukum agraria.
Berkenaan dengan jual beli tanah milik adat, telah disebutkan bahwa hukum adatlah yang diberlakukan untuk hukum agraria baru dengan ketentuan bahwa hukum adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, ketentuan UUPA dan peraturan lain di bidang Agraria dan unsur-unsur agama.48
Hal tersebut di atas secara eksplisit terdapat dalam konsideran UUPA maupun Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Dalam ketentuan UUPA, jual beli tanah milik adat merupakan bagian dari peralihan hak atas tanah. Menurut Boedi Harsono, pada dasarnya peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 2 (dua) sebab yaitu:
a) Pewarisan tanpa wasiat yakni peralihan hak atas tanah karena pemegang suatu hak atas tanah meninggal dunia, dengan kata lain hak tersebut beralih kepada ahli warisnya, sementara siapa ahli warisnya dan berapa bagian masing-masing ditentukan berdasarkan Hukum waris pemegang hak yang bersangkutan.
b) Pemindahan Hak yakni hak atas tanah tersebut sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan hak bisa berupa jual beli, sewa menyewa, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan hibah juga termasuk hibah wasiat.49
Jadi dapat dijelaskan bahwa pengertian beralih dan dapat dialihkan dalam hal ini mempunyai arti sebagai berikut yaitu:
a) Beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu beralih menjadi milik ahli warisnya. Ketentuan mengenai peralihan karena warisan terdapat dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi peralihan hak karena warisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Sejak saat itu para ahli waris
menjadi pemegang haknya yang baru.50
b) Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik semula. Dengan kata lain peralihan ini terjadi karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti jual beli, sewa menyewa, hibah, wasiat, hibah wasiat dan sebagainya
Peralihan hak atas tanah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah salah satu peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lain Peralihan tersebut meliputi jual beli, hibah, sewa menyewa, pemberian dengan wasiat dan perbuatan hukum lain yang bertujuan atau bermaksud memindahkan hak kepemilikan tanah. Tetapi Peralihan yang banyak terjadi dalam masyarakat adalah peralihan dalam bentuk jual-beli atas tanah.
Peralihan hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yang terdapat dualisme hukum, yakni status tanah adat tunduk pada Hukum Adat dan status tanah barat tunduk pada Hukum Barat. Di dalam ketentuan hukum tanah barat prinsip nasionalitas tidak dianut, dalam artian bahwa setiap orang boleh saja memiliki hak eigendom asal saja mau tunduk pada ketentuan-ketentuan penundukan diri pada KUH Perdata Barat.51 Sehingga karena hal tersebut di atas pemerintah mengeluarkan ketentuan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah bagi yang tunduk pada Hukum Barat yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954, yang memuat tentang ketentuan bahwa setiap Peralihan hak {Juridische levering) terhadap tanah dan barang-barang tetap lainnya hanya dapat dilakukan bila telah mendapat izin dari Menteri Kehakiman dan bila tetap dilakukan maka peralihan tersebut menjadi batal demi hukum.
Bagi pemerintah langkah ini dilakukan bertujuan untuk mengurangi jatuhnya kemungkinan tanah-tanah tersebut berikut rumah dan bangunan-bangunan yang di atasnya ke tangan orang-orang dan badan hukum asing.52 Karena sebelum ketentuan tersebut dikeluarkan banyak orang non pribumi selain bisa memiliki tanah hak barat seperti tanah hak eigendom, hak opstal dan Iain-lain, juga dapat memiliki tanah hak adat walaupun diperoleh dengan cara-cara tertentu, karena pada kenyataannya tanah hak adat tidak dipasarkan dengan bebas dan tidak diperjualbelikan.
Menurut Budi Harsono dalam hal ini mengartikan bahwa hukum tanah adat berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong, kekeluargaan dan diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial dan genealogik, sehingga hak-hak perorangan terhadap tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada tanah bersama. Hukum tanah adat yang mengandung unsur kebersamaan tersebut dikenal dengan hak ulayat. Ketentuan ini masih berlaku di sebagian wilayah di Indonesia terutama di pedesaan.53
Ketentuan yang sangat dominan dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah seperti yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan dari UUPA.
Peraturan tersebut di atas secara singkat menerangkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan hams dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, dimana akta tersebut dapat berfungsi sebagai alat pembuktian untuk melakukan pendaftaran hak atas kepemilikan tanah pada Kantor Pertanahan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual-beli, sewa menyewa, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku. Dari ketentuan pasal ini, maka pada prinsipnya segala bentuk mutasi hak dan sebagainya harus melalui seorang PPAT.
Menurut J Kartini Soedjendro, bahwa sistem pertanggung jawaban tugas PPAT lebih terarah pada pejabat utama dan bersifat admininistrasi saja artinya dalam hal ini dia hanya merupakan pejabat Agraria yang membantu Menteri Agraria membuat akta dalam hal pemindahan hak atas tanah, pemberian suatu hak baru atas tanah, penggadaian tanah, dan pemberian Hak Tanggungan atas tanah.54 PPAT juga sebagai pelaksana tugas diantaranya membantu mengisi formulir permohonan izin pemindahan hak atas tanah dan mengirimkannya kepada instansi Agraria yang berwenang. Kemudian membantu membuat surat permohonan penegasan konversi hak-hak adat/lndonesia atas tanah dan pendaftaran hak-hak bekas konversi. Dalam pelaksanaan tugas peralihan hak atas tanah selama dalam suatu wilayah kecamatan belum diangkat seorang PPAT maka Kepala Kecamatan atau yang setingkat karena jabatannya (ex officio) dapat menjadi PPAT sementara di wilayah kecamatan tersebut. Ketentuan ini berlaku pula dalam hal PPAT yang diangkat mempunyai daerah kerja yang meliputi lebih dari satu kecamatan. Namun jika untuk kecamatan tersebut telah diangkat PPAT maka camat tersebut tetap menjadi PPAT sampai camat tersebut berhenti menjadi Kepala Kecamatan, sedangkan Kepala Kecamatan berikutnya dengan sendirinya bukan lagi sebagai PPAT. Jadi dengan demikian yang mereka yang bukan PPAT dalam hal ini Kepala Desa atau Kepala Suku, dilarang untuk membuat akta peralihan hak atas tanah.55
Namun demikian, apabila PPAT/PPAT Sementara meragukan wewenang seseorang untuk mengalihkan hak milik adat, PPAT/PPAT Sementara selalu dapat meminta kesaksian Kepala Desa dan seorang anggota pemerintah desa tempat di mana tanah terletak, sedangkan apabila tanah yang dialihkan belum dibukukan sehingga belum bersertifikat, maka kehadiran Kepala Desa dan seorang anggota pemerintahan desa menjadi keharusan. Hal ini bertujuan selain sebagai saksi akan adanya peralihan tersebut, juga sebagai jaminan bahwa tanah tersebut benar-benar sebagai tanah kepunyaan penjual.56 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa PPAT menolak untuk membuat akta tanah yang belum terdaftar, jika kepadanya tidak