TESIS KUALITAS PELAYANAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL PEMDA KABUPATEN X

Tuesday, February 16, 2016
T-(0012) TESIS KUALITAS PELAYANAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL PEMDA KABUPATEN X

BAB II 
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Penelitian Terdahulu
Guna mempertegas teori-teori yang telah ada mengenai kualitas pelayanan sekaligus menjadi acuan dalam butir-butir pertanyaan yang nantinya disebarkan kepada pengguna layanan dan memberikan data serta referensi pendukung, penulis menghimpun beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan berkaitan dengan tema/gejala yang diteliti. Ada tiga penelitian terdahulu mengenai kualitas pelayanan yang digunakan penulis untuk mendukung penelitian ini diantaranya sebagai berikut.
Pertama, tesis yang ditulis oleh Toto Bondan pada tahun 2005 dengan judul Analisis Kualitas Pelayanan Masyarakat Di Kantor Lurah Se-Kotamadya Jakarta Timur. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menjelaskan tingkat kepuasan masyarakat dan factor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan masyarakat sebagai penerima layanan kantor lurah. Hasil penelitiannya skor tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan indicator bernilai negative dan terbentuk 5 faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat sebagai penerima layanan di kantor Lurah se-Kotamadya Jakarta Timur, yaitu (1) emphaty 35,311%; (2) keandalan pelayanan 15, 908%; (3) kantor dan penampilan aparat 7,35 %; (4) sikap aparat 5,904 %; dan (5) fasilitas dan ketanggapan aparat 5,536 %.
Kedua, tesis yang ditulis oleh Anastutik Wiryaningsih pada tahun 2007 yang berjudul Kualitas Pelayanan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup di Kecamatan Beji Kota Depok. Tujuan penelitian Anastutik adalah untuk mengidentifikasi kualitas pelayanan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. Hasil Penelitiannya adalah Tingkat harapan masyarakat terhadap pelayanan dinas kebersihan dan lingkungan hidup adalah 79,525 % sedangkan kualitas pelayanan yang diterima masyarakat pengguna jasa pelayanan persampahan rata-rata adalah 58, 975 %. Dengan demikian terjadi Kesenjangan atas harapan masyarakat dan penyelenggaraan pelayanan sebesar 79,525 % - 58,975 = 20,55 %.
Ketiga, tesis yang ditulis oleh Detje Rossa pada tahun 2008 dengan judul Analisis Kualitas Pelayanan di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan bagi Para Pengguna Jasa Keimigrasian (End User) ditinjau dari Konsep Servqual. Tujuan Penelitian Detje ini adalah untuk mengetahui tingkat kualitas pelayanan di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan bagi Para Pengguna Jasa Keimigrasian (End User) ditinjau dari dimensi reliability, responsiveness, assurance, empathy dan tangibles. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa berdasarkan perhitungan statistik kelima dimensi kualitas pelayanan dapat diasumsikan bahwa pelanggan menyatakan cukup puas terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan.
membedakan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu pada penelitian ini menjelaskan kualitas layanan juga dilihat dari aspek penyedia layanan, dengan kata lain kesenjangan antara persepsi manajemen tentang persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan atas pelayanan yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam menjabarkan kesenjangan tersebut adalah wawancara mendalam dengan analisis kualitatif.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa untuk mendukung kerangka pemikiran dan evidensi ilmiah yang sesuai dengan masalah dalam penelitian maka dalam tinjauan literatur ini terdiri dari konsep-konsep dan teori yang berkaitan dengan penelitian. Adapun konsep dan teori yang disajikan dalam bab ini meliputi konsep tentang pelayanan publik, kualitas pelayanan serta konsep servqual.
2.2 Desentralisasi dan Pelayanan publik
Sistem desentralisasi telah merubah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dari yang menitikberatkan penggunaan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah ke arah peningkatan partisipasi masyarakat dan peningkatan pelayanan masyarakat sebagai hasil akhir dari interaksi elemen-elemen tersebut. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Osborn dan Gaebler (1993) sebagai berikut.
Enterepreneurial leaders instinctively reach for the decentralized approach, they more many decisions to "the periphery " as we have already described in to the hands at customers, communities and non governmental organization.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa melalui desentralisasi diharapkan dapat diwujudkan program-program pemerintah yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan, masyarakat dan organisasi/lembaga non pemerintah. Melalui pendekatan ini kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan secara efisien dan efektif.
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, de berarti lepas dan centrum berarti pusat (Salam, 2004, p.80). Oleh karena itu, desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. Secara terminologi terdapat beberapa pengertian dan definisi desentralisasi yang dapat disimpulkan, diantaranya menurut, Joeniarto (1967), adalah:
Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan stempat dari kelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.
Menurut Bryan dan White (Salam, 2004, p.81) :
desentralisasi ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ini ada dua macam yaitu desentralisasi teritorial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional (pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu).
Dari kedua pengertian desentralisasi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melaksanakan pengambilan kepuutusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan.
Desentralisasi pasca orde baru mulai berjalan sejak diberlakukannya undang-undang tentang Pemerintah Daerah, hal ini membawa implikasi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, dari rule government menjadi mission driven, peranan pemerintah yang tadinya sebagai penyedia (provider) berubah menjadi pemberdaya (enabler). Sistem pemerintahan desentralistik dicirikan dengan adanya penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah Tingkat Atasnya kepada daerah otonom untuk mengurus urusan rumah tangganya.
Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Baik dalam definisi daerah otonom maupun otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi daerah otonomi yang diselenggarakan secara konseptual oleh Pemerintah Daerah (Hoessein, 2002).
Otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya keejahteraan masyarakat dengan menitikbratkan pada fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Hal ini mengingatkan kita akan kontrak sosial yang menyatakan bahwa pemerintah dibentuk karena masyarakat tidak mampu untuk melayani dirinya sendiri (Somaribawa, 2005, p.80).
Secara garis besar, fungsi pemerintahan daerah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu: pertama adalah Public service functions (fungsi pelayanan masyarakat) yang berkaitan dengan kegiatan penyediaan fasilitas-fasilitas social masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, air minum, sanitasi lingkungan dan sebagainya; kedua adalah Development functions (fungsi pembangunan) yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat daerah. Fungsi ini terutama berkaitan dengan aspek-aspek enabling dan facilitating akti vitas-aktivitas perekonomian yaitu untuk merangsang dan mengakomodasikan pertumbuhan ekonomi, seperti mendirikan pasar, mengeluarkan ijin berusaha, menyiapkan jaringan jalan, jembatan dan fasilitas lainnya yang menunjang perekonomian daerah; dan ketiga adalah Protective functions (fungsi perlindungan masyarakat) yang berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada masyarakat dari gangguan yang disebabkan baik oleh unsur manusia maupun dari alam (Nurcholis, 2007, p.291-297).
Dalam menjalankan fungsinya, ada dua keluaran (outputs) yang dihasilkan pemerintah daerah yaitu goods (barang) dan service (pelayanan). Output tersebut ada yang bersifat pengaturan (regulatory/ software) dan ada juga yang bersifat provision ofgoods (hardware). Dalam pengertian ini yang dimaksud dengan pelayanan adalah
hal-hal yang bersifat regulatory atau law enforcement seperti mewajibkan penduduk memiliki KTP, ijin-ijin, Surat Keterangan dan sebagainya, serta pelayanan dalam pengertian pemberian atau penyediaan pelayanan atas dasar tuntutan atau permintaan masyarakat (demand driven services) seperti persampahan, penerangan jalan, kebersihan lingkungan, transportasi dan sebagainya.
Menurut Moenir (Moenir, 1995, p. 16), pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. Definisi jasa / pelayanan menurut Philip Kotler (Supranto, 1997, p.227) adalah sebagai berikut
A service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything, its production may or may not be tied to physical product.
Menurut definisi tersebut, pelayanan/jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat Intagible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan sesuatu kepemilikan. Produksi jasa dapat berhubungan dan juga tidak dapat berhubungan dengan produk fisik.
Dilihat dari keperluannya, Fred Luthans menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memerlukan dua jenis pelayanan yaitu layanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia, dan layanan administratif yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi (organisasi massa) atau organisasi Negara. (Moenir, 1995, p.21)
Jenis pelayanan dalam kajian ini adalah layanan administratif yang diberikan kepada masyarakat pemohon penerbitan akta (baik itu akta kelahiran, perkawinan, dan kematian). Menurut Sinambela (2006) yang disebut pelayanan umum (pelayanan masyarakat) adalah segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah, termasuk aparat yang bergerak di bidang perekonomian dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan bentuk kebutuhan masyarakat, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »