Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.
Pemerintah melalui Menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sambil menunggu dikeluarkannya undang-undang pengangkatan anak telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses kearah lahirnya undang-undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa aturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif.14 Meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak belum mencukupi telah ada garis hukum bahwa "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya", bahkan Pasal 22 AB (algemene Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secara tegas menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak diadili.
Asas hukum tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga menjunjung tinggi sistem hukum dalam common law yang menghargai hakim sebagai makhluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat digali sebagai ramuan untuk menciptakan hukum yurisprudensi15 dalam menangani kasus yang hukum tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia. Temuan hukum oleh hakim (yurisprudensi) tersebut, kedepannya akan menjadi sumber hukum dalam praktik peradilan.16 1. Staatblad 1917Nomor 129
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang merupakan warisan dari pemerintahan Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Oleh karena itu bagi golongan Tionghoa diadakan pengaturannya secara tertulis di dalam Stb. 1917 Nomor 129, yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919, sedangkan untuk golongan Pribumi berlaku hukum adatnya masing-masing. Bam pada tahun 1956 Negeri Belanda memasukkan ketentuan adopsi dalam BW.17
Dari Stb. 1917 No 129 ini, Bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki, atau seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki sepanjang almarhum suaminya tidak meninggalkan surat wasiat yang isinya tidak menghendaki janda nya melakukan pengangkatan anak 18
Jadi yang dapat diadopsi ialah seorang anak Tionghoa yang laki-laki, anak itu haruslah tidak kawin, tidak mempunyai anak dan tidak pula telah diadopsi oleh orang lain. Beda usia itu haruslah sekurang-kurang 18 tahun. Dan dengan Ibu yang mengadopsi nya beda usia itu haruslah sekurang-kurangnya 15 tahun. Bila anak yang diadopsi itu adalah seorang anggota keluarga, sah atau tidak sah (artinya diluar nikah), maka hubungan keturunannya haruslah sama sederajatnya seperti hubungan dalam adopsi. Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami-isteri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak diadopsi adalah seorang anak yang sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Kalau salah seorang dari padanya telah meninggal dunia kecuali bila yang masih hidup itu adalah seorang ibu yang telah menikah kembali dengan laki-laki lain; dalam hal itu bagi anak yang masih dibawah umur yang memberikan persetujuannya ialah walinya dan Balai harta Peninggalan. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, wali dan balai harta Peninggalan memberikan persetujuannya.19
Dalam stb. 1917 Nomor 129 ini tidak mengatur mengapa orang melakukan adopsi. Tetapi jika dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa anak laki-laki yang meneruskan keturunan, maka dapat diketahui bahwa alasan pengangkatan anak menurut stb ini adalah untuk melanjutkan/meneruskan keturunan. Hal ini dipertegas lagi oleh pasal 12 (1) stb. 1917 Nomor 129, berbunyi: Jika suami Isteri mengadopsi anak laki-laki, maka anak itu dianggap telah dilahirkan dari perkawinan mereka. Selanjutnya dapat ditambahkan, alasan melakukan adopsi adalah:
a. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memelihara kelak kemudian di hari tua
b. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga
c. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri
d. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau demi kemanusiaan
e. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada
f. Untuk mendapatkan/ menambahkan tenaga kerja, dll lalu kemudian, ada 2 (dua) ketentuan lagi yang menarik untuk diperhatikan, yaitu Pasal 11 danPasal 14. Pasal 11 stb. 1917 No 129, menyatakan bahwa adopsi karena hukum menyebabkan orang yang diadopsi memakai nama keluarga orang tua angkatnya. Kemudian Pasal 14, menyatakan bahwa adopsi karena hukum menyebabkan putusnya keperdataan antara anak yang bersangkutan dengan orang tua kandungnya 20. 2. Hukum Adat
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak degan resmi dan secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan Tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali, sebagaimana dikutip oleh Bushar Muhammad, Teer Haar menyatakan:
"Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari lingkungan keluarga ke dalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang dipungut itu masuk kedalam lingkungan kerabat yang mengambilnya sebagai suatu perbuatan tunai.
Surojo Wignjodipuro menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Kedudukan hukum naka yang diangkat demikian ini adalah sama dengan anak kandung dari pada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat putus, seperti yang terdapat didaerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan.21
Berdasarkan pembagian Hukum adat di Indonesia, di beberapa daerah, hukum adat tersebut mengalami adanya pengangkatan anak, walaupun tidak ada keseragaman karena berkaitan dengan hukum keluarga.
Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (kebapakan) antara lain terdapat di Tapanuli, Nias, gayo, Lampung, Bali dan Kepulauan Timor, dimana pengangkatan anak hanya dilakukan terhadap anak laki-laki saja, dengan tujuan adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak bapak. Mengenai kewenangan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kewenangan anak kandung, dalam arti anak angkat sama seperti kandung. Mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orangtua angkat. la menjadi generasi penerus bagi orangtua angkatnya.
Di daerah yang mengikuti garis keibuan (matrilineal) terutama Minangkabau. Hal ini ditegaskan oleh Mr. B. Ter Haar tidak mengenai lembaga pengangkatan anak. Karena menurut hukum adat yang berlaku di daerah Minangkabau harta warisan seorang ayah (bapak) tidak akan jatuh (diwarisi) oleh anak-anak keturunannya, melainkan diwarisi oleh saudara-saudara sekandung beserta saudara perempuan yang berasal dari satu ibu. Dengan demikian di Minangkabau yang perempuan tidak mendesak untuk melakukan perbuatan