SKRIPSI HADIAH UNDIAN YANG DIPEROLEH DALAM PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA BERSAMA DI DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Sunday, January 31, 2016
( 0029-HUKUM) SKRIPSI HADIAH UNDIAN YANG DIPEROLEH DALAM PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA BERSAMA DI DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN


BAB II
HUKUM HARTA PERKAWINAN

A. Pengertian Hukum Harta Perkawinan
Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi pengertian tentang suatu perkawinan. Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui ada dua unsur utama dari definisi perkawinan. Pertama, perkawinan adalah merupakan ikatan secara lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Kedua, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur pertama berkaitan dengan bagaimana terciptanya suatu perkawinan dan unsur kedua berkenaan dengan tujuan perkawinan yang berkaitan dengan kesejahteraan perkawinan.
Unsur kedua dari pengertian perkawinan tersebut di atas pada intinya berkenaan dengan tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga sejahtera. Upaya menciptakan keluarga sejahtera ini sesungguhnya berkaitan dengan fungsi keluarga. Secara sosiologi, dalam setiap masyarakat, keluarga adalah suatu struktur kelembagaan yang berkembang melalui upaya masyarakat untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt fungsi keluarga adalah:
1. Fungsi Pengaturan Seksual. Keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan keinginan seksual.
2. Fungsi Reproduksi Untuk urusan memproduksi anak setiap masyarakat terutama tergantung pada keluarga.
3. Fungsi Sosialisasi Semua masyarakat tergantung terutama pada keluarga bagi sosialisasi anak-anak ke dalam alam dewasa yang dapat berfungsi dengan baik di dalam masyarakat itu.
4. Fungsi Afeksi Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai.
5. Fungsi Penentuan Status Dalam memasuki keluarga seseorang mewarisi suatu rangkaian status. Seseorang diserahi/menerima beberapa status dalam keluarga berdasarkan umur, jenis kelamin, urutan kelahiran dan Iain-lain.
6. Fungsi Perlindungan Dalam setiap masyarakat, keluarga memberikan perlindungan fisik, ekonomis dan psikologis bagi seluruh anggotannya.
7. Fungsi Ekonomis. Keluarga merupakan unit ekonomi dasar dalam sebagaian besar masyarakat primitif. Para anggota keluarga bekerja sama sebagai tim untuk menghasilkan sesuatu.11
Beranjak dari fungsi keluarga tersebut, maka tidak dapat dihindari bahwa kesejahteraan keluarga haruslah menjadi prioritas utama agar terpenuhinya kebutuhan materil dan sprituil. Terkait dengan keluarga sejahtera, pada tahun 1992 diterbitkan undang-undang tentang keluarga sejahtera. Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera mengatakan:
"Setiap orang sebagai pribadi berhak untuk membentuk keluarga. Setiap Penduduk sebagai anggota keluarga mempunyai hak untuk membangun keluarga sejahtera dengan mempunyai anak yang jumlahnya ideal, atau mengangkat anak atau memberi pendidikan kehidupan berkeluarga kepada anak-anak serta hal lain guna mewujudkan keluarga sejahtera. Mampu mengembangkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin."
Selanjutnya menurut Muhammad Djumhana :
"Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara anggota, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya, dengan jumlah anak yang ideal untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin."12
Upaya untuk mewujudkan keluarga sejahtera ini menjadi kewajiban dari suatu keluarga yang dibentuk. Apabila dihubungkan antara ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk seterusnya disebut UU Perkawinan, dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera maka tidak dapat dipungkiri untuk kelangsungan hidup suatu keluarga dibutuhkan harta kekayaan guna mewujudkan keluarga sejahtera. Kebutuhan akan harta benda dalam keluarga tidak saja untuk pengembangan diri pribadi suami dan atau isteri tetapi juga demi kebutuhan dan kepentingan anak-anak.
Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan :
"Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum."
Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Mengingat pentingnya kekayaan yang harus dipunyai oleh suatu keluarga demi kelangsungan keluarga itu sen-diri dan demi terwujudnya suatu keluarga sejahtera, maka keharusan adanya suatu harta perkawinan merupakan hal yang amat diperlukan.
Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri, utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus.
Untuk itulah, dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan. Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan terdiri dari dua ayat, yaitu :
Ayat (1) menentukan : "Harta benda yang diperoleh selama perka-winan menjadi harta bersama", dan
Ayat (2) menentukan : "Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau waris-an, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain".
Apabila dicermati secara seksama, isi dari ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut di atas selaras dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan pasal yang disebutkan terakhir di dalamnya ditemukan ketentuan tentang hak milik pribadi dan hak milik bersama sebagai hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara bersama-sama merupakan hak asasi maka perlu dipertegas luas lingkup hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu perkawinan. Karena perkawinan sesungguhnya adalah berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau isteri, juga berkaitan dengan hak milik bersama antara suami dan isteri selama dalam perkawinan.
Itulah sebabnya, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta bersama selama perkawinan dan ayat (2) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta pribadi dari masing-masing suami atau isteri. Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »