TESIS PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH ATAS SYARAT-SYARAT BAKU PERJANJIAN GADAI

Tuesday, March 08, 2016
T-(0050) TESIS PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH ATAS SYARAT-SYARAT BAKU PERJANJIAN GADAI


BAB II
HAKDAN KEWAJIBAN KREDITUR DAN DEBITOR DALAM PERJANJIAN BAKU PADA PERUM PEGADAIAN


A. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Baku 
1. Pengertian perjanjian baku
Perjanjian Baku merupakan wujud dari kebebasan individu menyatakan kehendaknya untuk menjalankan usahanya dalam era globalisasi ini, pembakuan dan syarat-syarat perjanjian merupakan model yang tidak dapat dihindari bagi para pengusaha dalam mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan ekonomis serta tidak rumit.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut standard contract, standard agreement, di Perancis digunakan Contract d"adhesion. Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda standard contract atau standard voorwaarden. Kepustakaan Jerman mempergunakan istilah Allgemeine Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan Standard contract, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkannya dengan istilah perjanjian baku.70
Menurut Hasanuddin Rahman pengertian perjanjian baku adalah:
"Perjanjian-perjanjian yang telah dibuat secara baku {standart form), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang telah disepakati untuk dituangkan dalam perjanjian itu".71
Abdul Kadir Muhammad mengatakan dalam kontrak baku konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian tersebut, walaupun akibat hukum itu merugikan konsumen tanpa kesalahannya. Di sini konsumen dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima dengan besar hati.72
Sutan Remy Sjahdeini dalam Munir Fuady, mengatakan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.73
Perjanjian baku yang diperlukan di Indonesia, khususnya di dunia bisnis sudah menjadi model perjanjian. Namun sah atau tidaknya perjanjian baku, para sarjana hukum masing-masing mempunyai pendapat berbeda-beda. Beberapa sarjana hukum Belanda mengemukakan antara lain Sluijter dalam Sutan Remy Sjahdeini, bahwa Perjanjian baku ini bukan perjanjian sebab kedudukan pengusaha (yang berhadapan dengan konsumen) di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (Legio Particuliere wetgever).
Pitlo dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoretis yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa
71 Hasanuddin Rahman, 1998, Aspek-AspekHukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya ahli hukum ditolak, namun kenyataan masyarakat membutuhkan sarana hukum sesuai dengan kebutuhan.75
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan, oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya.
Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar dan perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya mempunyai kedudukan yang lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, mereka hanya menerima apa yang disodorkan dan apabila debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada. Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pihak pengusaha akan memperoleh efesiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga atau waktu.
Kenyataan itu terbentuk, karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan dan karena itu diterima oleh masyarakat. Yang masih perlu dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat "berat sebelah" dan tidak mengandung "klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya", sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang tidak adil. Yang dimaksud "berat sebelah" di sini ialah bahwa perjanjian itu hanya mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut), tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya (biasanya debitur), sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Sekarang yang perlu diatur adalah aturan-aturan dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya, agar klausul-klausul atau ketentuan-ketentuan dalam perjanjian baku itu, baik sebagian maupun seluruhnya, mengikat pihak lainnya.76 Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki ciri sebagai berikut:
a) isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada debitur;
b) debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
c) terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d) bentuknya tertulis;
e) dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.77
2. Hak dan kewajiban dalam perjanjian baku di Perum Pegadaian
Pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam hukum perjanjian dijamin oleh undang-undang. Pengaturan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian mencerminkan sejumlah asas yang menjadi prinsip-prinsip atau asas-asas perjanjian.
Dalam terminologi hukum, hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang seharusnya diterima atau dilaksanakan atas suatu objek yang diperjanjikan. Objek perjanjian dalam hukum perikatan merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.
Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hukum perikatan disebut prestasi. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan perjanjian gadai, maka nasabah dengan perjanjian bersyarat baku dari Perum Pegadaian berstatus sebagai debitur (mengikatkan diri dalam perjanjian) sedangkan Perum Pegadaian memposisikan diri sebagai kreditur (pembuat isi perjanjian) yang harus menjadi prestasi dari debitur sebagai pembuat janji (promise)1* Dengan demikian, kewajiban nasabah adalah kewajiban debitur untuk mengikuti semua isi perjanjian SBK).
Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah nasabah mengetahui semua isi perjanjian (SBK), maka diperlukan tanggapan empirik apakah nasabah mengetahui semua isi perjanjian yang menjadi sumber hak kreditur (janji dari debitur). Perlunya pengetahuan maksud isi perjanjian sangat penting, karena keterpaksaan nasabah menandatangani isi perjanjian dapat terkait dengan sejauhmana mengetahui semua maksud isi perjanjian gadai.
Dikatakan bahwa semakin banyak pengetahuan terhadap isi perjanjian akan semakin tinggi ketidak setujuannya atau persetujuannya terhadap semua maksud isi perjanjian. Selain itu, secara teoritik pengetahuan akan maksud isi perjanjian menjadi sumber kekuatan sah tidaknya suatu perjanjian. Persoalan pokoknya adalah apakah nasabah Perum Pegadaian Kota Binjai mengetahui semua maksud isi perjanjian yang seharusnya diketahuinya. Nasabah Perum Pegadaian Kota Binjai lebih banyak mengetahui isi perjanjian. Konsekuensi yuridisnya adalah nasabah mengetahui dan berjanji (promise) untuk melakukan prestasi (kewajibannya) dan sebaliknya menjadi hak kreditur (prestasi yang seharusnya diterima), sehingga tingkat penerimaan akan semua isi perjanjian (baku) dapat sesuai dengan isi perjanjian. 79
78 Hasil wawancara dengan Bapak Feri Hadianto Siahaan selaku Staff Perum Pegadaian Kota
Binjai, pada hari/tanggal Selasa, 31 Mei 2011, pukul : 11.00 Wib di Kantor Perum Pegadaian Kota
Binjai
Secara yuridis-teoritik perjanjian yang dibuat Perum Pegadaian telah melekatkan hak dan kewajiban dalam isi perjanjian tidak proporsional. Tidak proporsionalnya hak dan kewajiban dalam perjanjian gadai menjadi penyebab penumpukan hak pada kreditur dan penumpukan kewajiban pada debitur. Hal tersebut menyebabkan perjanjian menjadi tidak seimbang dan menyimpang dari prinsip keseimbangan hak dan kewajiban. Meskipun tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban dalam isi perjanjian pihak nasabah tidak menjadikannya sebagai suatu masalah hukum yang harus dijadikan dasar gugatan secara litigasi, sebab dari pernyataan responden mengetahui secara utuh isi perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban yang ditetapkan oleh Perum Pegadaian.
Tanggapan para nasabah tentang mengetahui adanya hak dan kewajiban perjanjian yang tidak seimbang menunjukkan bahwa apapun yang dicantumkan dalam perjanjian sebagai wujud hak dan kewajiban terkait dengan faktor motivasi nasabah ke Perum Pegadaian. Selain itu, mudahnya proses peminjaman, barang gadai dan cepatnya nasabah mendapatkan uang pinjaman menjadi faktor pemicu nasabah ke Perum Pegadaian; posisi mendesak nasabah (butuh uang) menjadi penyebab utama. Itulah sebabnya sehingga banyak nasabah golongan ekonomi menengah ke bawah mendatangi Perum Pegadaian.
Berdasarkan uraian tersebut tampak dengan jelas bahwa pengaturan hak dan kewajiban nasabah memiliki proporsi yang berbeda sehingga apa yang menjadi

Artikel Terkait

Previous
Next Post »