SKRIPSI PEMBATALAN PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA

Sunday, January 31, 2016
(0026-HUKUM) SKRIPSI PEMBATALAN PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA

BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka teori
1. Tinjauan Tentang Perkawinan 
a. Pengertian Perkawinan
1) Pengertian Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat, dibentuk menurut undang-undang, mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal, tidak tampak langsung, merupakan ikatan psikologis, tanpa paksaan, berdasarkan cinta kasih suami istri, ada kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja
Seorang perempuan dan seorang laki-laki harus ada kata sepakat untuk melakukan perkawinan. Hal ini berarti bahwa setelah ada kesepakatan, maka kedua pihak saling berjanji akan mentaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, serta mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak turunannya (R. Wirjono Prodjodikoro, 1981: 8).
2) Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam, perkawinan adalah "akad" (perikatan) antara wali calon istri dengan calon suami. Akad harus diucapkan oleh wali berupa ijab kemudian kabul oleh calon suami di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak, maka perkawinan tidak sah, sebagaimana hadits riwayat Ahmad, "Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil". Kata "wali" bukan hanya "bapak" tetapi termasuk "datuk" (embah), saudara pria, anak pria, saudara bapak yang pria (paman), anak pria dari paman, kesemuanya menurut garis keturunan pria (patrilineal) yang beragama Islam (Hilman Hadikusuma, 1990: 11).
3) Pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perinatah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kompilasi Hukum Islam merupakan pegangan bagi Hakim Pengadilan Agama dalam memriksa dan memutus perkara-perkara perkawinan, kewarisan dan perwakafan bagi orang yang beragama Islam.
4) Pengertian Perkawinan menurut Hukum Adat
Perkawinan dalam arti "perikatan adat", ialah perkawinan yang berakibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Perkawinan sekaligus sebagai perikatan kekerabatan dan ketetanggaan (Hilman Hadikusuma, 1990: 8).
b. Rukun dan Syarat Perkawinan
Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang. Sedangkan syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang, sebelum perkawinan dilangsungkan (Abdulkadir Muhammad, 2000: 76).
Berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, orang yang beragama Islam harus memenuhi rukun perkawinan. Rukun yang dimaksud tersebut yaitu calon istri, calon suami, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul. Berdasarkan ketentuan hukum Islam, ditambah dengan adanya keridhoan (kesukaan) dari pihak calon istri dan mahar/maskawin.
Calon istri dan calon suami, masing-masing harus bebas dalam menyatakan pesetujuannya. Apabila calon istri dan calon suami sudah bersepakat, maka kesepakatan itu mengikat di antara keduanya.
Wali berarti orang yang berhak mengawinkan. Orang yang dapat menjadi wali menurut susunannya ialah :
1) Ayah
2) Ayanya ayah atau kakek/datuk
3) Saudara lelaki yang seibu dan seayah
4) Anak saudara laki-laki yang seibu dan seayah
5) Anak saudara laki-laki yang seayah
6) Saudara laki-laki dari ayah yang seibu dan seayah
7) Saudara laki-laki dari ayah yang seayah
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah yang seibu dan seayah
10) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah yang seayah

Apabila orang-orang tersebut tidak mampu menjadi wali atau menolak tanpa sebab serta alasan-alasan yang jelas, seorang penghulu dapat bertindak sebagai wali hakim (Lili Rasjidi, 1982: 109).
Wali nikah bagi calon istri harus dipenuhi. Jika tidak ada maka perkawinan dapat batal demi hukum. Wali nikah terdiri atas : (a) wali nasab, dimana hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah atau keluarga calon istri, bisa orang tua kandungnya atau saudara terdekat ; (b) wali hakim, dimana hak perwaliannya timbul karena ditunjuk oleh pejabat yang berwenang, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah apabila tidak ada wali nasab atau karena sebab lain.
Saksi harus dua orang pada saat perkawinan. Saksi-saksi harus beragama Islam, merdeka, bukan budak, adil, dan berkelakuan baik.
Ijab, yaitu penyerahan mempelai wanita oleh wakilnya kepada mempelai pria. Sedangkan kabul ialah penerimaan mempelai wanita oleh mempelai pria.
Calon istri menerima calon suami berdasarkan keridhoan (suka). Dasarnya adalah hadits Bukhari, "Seorang janda atau perempuan yang telah bercerai tidak boleh dikawinkan sampai diperoleh persetujuan daripadanya; seorang gadis juga tidak boleh dikawinkan sebelum ada persetujuan daripadanya" (Soetojo Prawirohamidjojo, 1988: 31).
Mahar/maskawin, yaitu pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita dan menjadi milik mempelai wanita itu sendiri dan bukan walinya. Dasar hukum yang mewajibkan adanya mahar terdapat dalam Al-Qur'an Surah An-Nisaa' ayat 4 :
Artinya, "Dan berikanlah maskawin ( mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati" (Departemen Agama Republik Indonesia, 2002: 77).
Berdasarkan UU Perkawinan, syarat perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan perkawinan, yaitu:
1) Ada persetujuan dari kedua belah pihak
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Artinya kedua calon mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.
2) Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan (Abdulkadir Muhammad, 2000: 77).
3) Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan, untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka belum dewasa menurut hukum. Jika salah satu orang tua meninggal, izin cukup dari orang tua yang masih hidup. Jika yang meninggal keduanya, izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau

Artikel Terkait

Previous
Next Post »