SKRIPSI UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Wednesday, April 06, 2016
HUKUM (0062) SKRIPSI UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP



BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009


A. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sebagai Lex Specialis
Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang lingkungan hidup. Diantaranya tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan Iain-lain. Hal ini disebabkan karena dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009), tidak terdapat rumusan yang mutlak tentang tindak pidana lingkungan hidup tersebut.23 Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran dalam UUPPLH 2009 dapat dijerat dengan ketentuan undang-undang? Dan dalam hal-hal apa saja tindak pidana lingkungan hidup dapat dijerat dengan ketentuan UUPPLH 2009
Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate lex generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan aparatur
23 http://raspati.blogspot.com/2008/03/tinjauan-yuridis-penerapan-asas-lex.html, diakses tanggal 1 November 2010. negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.24
Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat lex generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan atauran main (game rules) dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang "ini" atau yang "itu". Sementara, yang "ini" atau "itu" tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.
Akibat dari persoalan di atas, seperti yang dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes, "The paradigm now constituted a problem rather than a solution: not waiving but drowning. The public prosecutorial executive had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere". Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidakadilan karena menggunakan unsur paksaan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut.25 Khsusnya undang-undang lingkungan hidup.26
Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea {criminal act). Oleh karena itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi tersebut.27
Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak pidana {crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian {harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability.
Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami {naturlijkee person). Selain itu, Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan itu
adalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalah
sebagai berikut:
1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan
pekerjaannya atas nama korporasi.
2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara
langsung atau pun tidak langsung.
3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan
korporasi.
4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan
hukum administrasi.
5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus. KUH Pidana juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.28 Jadi, dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang persorangan atau legal per soon.
Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan situasi seperti itu.
Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
Secara yuridis terhadap Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009, yang disebutkan bahwa "Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum". Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam hal ini adalah korporasi.
Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas.29
Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum dalam hukum lingkungan, juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana masih menggunakan pertanggungjawaban dengan kesalahan, sementara pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat.
Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis, bukan merupakan suatu penyimpangan asas akan tetapi merupakan penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra oridnary crime) sehingga penanganannya hams dilakukan luar biasa termasuk dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang berlaku umum.
B. Perbandingan Pengaturan Antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997), telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
Dalam UUPPLH 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara UUPLH 1997 dengan UUPPLH 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam UUPPLH 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik (goodgovernance) karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian prinsip-prinsip good governance. Prinsip-prinsip tersebut adalah partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis.30
30 Sofyan Nasution., "Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip Good Governance", Disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, agar berjalan good governance tersebut, maka semua prinsip-prinsip good governance hams diupayakan oleh birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip tersebut hams menjadi pedoman birokrasi dalam melaksanakan tugasnya untuk pelayanan publik.31
Perlu diketahui, beberapa poin terpenting dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009) antara lain:32
1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instmmen pencegahan pencemaran dan/atau kemsakan
lingkungan hidup, yang meliputi instmmen kajian lingkungan hidup
strategis, tata mang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kemsakan
lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instmmen ekonomi lingkungan
hidup, peraturan pemndang-undangan berbasis lingkungan hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan
instmmen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
5. Pendayagunaan perizinan sebagai instmmen pengendalian;
6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan
global;
8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih efektif dan responsif; dan
11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik
pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 2-3. UUPPLH 2009 memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui UUPPLH 2009, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997).
Pada bagian ketiga UUPPLH, diatur mengenai penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Ketentuan ini merupakan memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. RPPLH terdiri dari RPPLH nasional, RPPLH provinsi, dan RPPLH kabupaten/kota. Dalam Pasal 9 ayat (4) UUPPLH dinyatakan bahwa RPPLH kabupaten/kota disusun berdasarkan: RPPLH provinsi, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan, dan inventarisasi tingkat ekoregion.
Pasal 10 UUPPLH memberikan kewenangan untuk membuat RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan RPPLH berdasarkan kewenagan itu harus memperhatikan:
a. Keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. Sebaran penduduk;
c. Sebaran potensi sumber daya alam;
d. Kearifan lokal;
e. Aspirasi masyarakat; dan
f. Perubahan iklim.
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan UUPPLH 2009 tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, mengawasi kebijakan perlindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi.33 Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai untuk Pemerintah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.
Dalam UUPPLH 2009 sebagai pengganti UUPLH 1997, yang dimaksud Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam undang-undang tersebut meliputi:
1. Aspek perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan
hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
2. Aspek pemanfaatan Sumber Daya Alam yang dilakukan berdasarkan
RPPLH. Dalam UUPPLH 2009 telah diatur bahwa jika suatu daerah
belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan Sumber Daya Alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup. 3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan.
Dalam UUPPLH 2009 juga dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam UUPLH 1997.
Dalam UUPPLH 2009, diatur pula mengenai pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi. Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menerbitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetika tanpa hak, pengelola limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup, dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) menjadikannya sebagai jabatan fiingsional.
Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik kepada perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap baku mutu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak RplO.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam UUPPLH 2009 mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL dalam UUPPLH 2009 berbeda dengan pengertian AMDAL dalam UUPLH 1997, perbedaannya yaitu hilangnya "dampak besar". Jika dalam UUPLH 1997 disebutkan bahwa, "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan",34 sedangkan pada UUPPLH 2009 disebutkan bahwa, "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
34 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997). Garis bawah di atas diberikan oleh penulis.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »