SKRIPSI TATA CARA MASUKNYA PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DALAM SUATU SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Wednesday, April 06, 2016

HUKUM (0049) SKRIPSI TATA CARA MASUKNYA PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DALAM SUATU SENGKETA TATA USAHA NEGARA


BAB II
PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia sudah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan Negara Hukum akan tetapi masih dalam anti formal. Agar dapat menjadi Negara Hukum dalam arti material maka haruslah diisi dengan jalan membentuk dan menyempurnakan Badan Peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judikatif).
Pembentukan Badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman telah diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan Konstitusionilnya.
Ketentuan pasal 24 UUD 1945 berbunyi :
1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Iain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.
2. Susunan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang. Pasal 25 UUD 1945 berbunyi :"Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-Undang".
Selanjutnya di dalam penjelasannya ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan Undang-undang tentang kedudukan para Hakim.
Dari ketentuan dalam Undang-Undnag Dasar 1945 ternyata tidak ada disebutkan secara tegas tentang Peradilan Tata Usaha Negera atau Peradilan Administrasi Negara. Meskipun demikian tidak berarti bahwa UUD 1945 tersebut tidak menghendaki eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara ini. Dengan terdapatnya istilah "Kekuasaan Kehakiman" dalam bunyi Pasal 24 UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan luas dan segala macam Hakim dapat masuk di dalamnya termasuk Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tentu sekali melakukan berbagai kekuasaan kehakiman tersebut antara lain dengan cara mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan mendirikan Lembaga Pengadilan/Badan Peradilan yang dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai manifestasi peraturan pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 UUD 1945, telah dikeluarkan dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut pendapat Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH : bahwa di dalam UU No. 14 tahun 1970, dijelaskan bahwa dasar hukum dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan salah satu aspek pelaksana deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia yang telah dicetuskan PBB.4
Sedangkan Razali Abdullah, SH berpendapat bahwa dari bunyi pasal 24 UUD 1945 dan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ternyata cukup kuat, sama dengan halnya pembentukan ketiga Peradilan lainnya yang sudah lama ada yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.5
Selanjutnya untuk mewujudkan kehendak pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara diamanatkan dan dirumuskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : IV/MPR/1978 tentang GBHN yang memerintahkan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mengenai kronologis pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, Martiman Prodjomidjo, SH mengemukakan sebagai berikut:
"Akhirnya Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peraturan yang disempurnakan kepada DPR RI periode 1982-1987, dengan amanat Presiden RI No. R.04/PU/IV/1986 tanggal 16 April 1986, dan setelah diadakan pembahasan di DPR RI melalui empat tingkat pembicaraan, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR RI mengambil keputusan menyetujui RUU Peraturan untuk disyahkan menjadi undang-undang.
Presiden RI pada tanggal 29 Desember 1986, mengesahkan RUU Peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 "Peradilan Tata Usaha Negara" (Lembaran Negara RI No. 77 Tahun 1986 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3344).6
Ditentukannya empat macam lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang disebutkan di atas, dapat diartikan bahwa Negara Indonesia yang menganut prinsip Negara Hukum dalam sistem peradilannya menggunakan multi jurisdiction systeem (sistem peradilan ganda), dimana salah satu diantaranya adalah peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986.
Dengan demikian jelaslah bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutar dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh karenaitu, tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-hak masyarakat.
B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri-ciri sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menurut hemat penulis penting disajikan dalam skripsi ini dengan maksud agar menambah pemahaman kita mengenai proses dan mekanisme yang diatur Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Indroharto, SH7 secara global mengetengahkan beberapa ciri-ciri/sifat dasar dari Hukum Acara Peradilan TUN, yaitu :
1. Dalam proses TUN itu selalu tersangkut dua kepentingan yaitu kepentingan
umum dan individu. Dalam proses peradilan TUN yang selalu menjadi inti permasalahan adalah mengenai syah tidaknya pengunaan wewenang pemerintah oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Hukum TUN publik. Dalam konkretnya yang disengketakan itu selalu berupa salah satu bentuk tindakan Hukum TUN yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berupa suatu Beschiking menurut pengertian Pasal 1 Butir 3 UU No. 5 tahun 1966.
2. Dalam kenyataannya, unsur pokok yang akan berinteraksi dalam proses
peradilan TUN itu adalah :
Para hakim dan staf kepaniteraannya
- Para pencari keadilan yang akan mengajukan gugatan kepentingan TUN
(seseorang atau badan hukum perdata)
- Para Badan atau pejabat TUN yang selalu berkedudukan sebagai tergugat.
Mereka baik yang berkedudukan sebagai suatu instansi resmi maupun sebagai warga masyarakat biasa, pada suatu saat mungkin memegang kunci penentu jalannya proses suatu perkara karena kejelasan-kejelasan maupun alat-alat bukti berada di tangannya.
3. Tujuan dari gugatan di Peradilan TUN adalah selalu untuk memperoleh
putusan hakim yang menyatakan keputusan TUN digugat itu tidak syah atau
batal (Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986). Dalam proses Hukum Acara
Peradilan TUN tidak dikenal gugatan rekonpensi maupun pembarengan
beberaa gugatan bersama-sama (samenloop van Vorderingen).
4. Dalam proses peradilan TUN terdapat keseragaman dan kesederhanaan dalam
arti hukum acaranya hanya terdiri acara biasa dan acara khusus berupa : penyelesaian perkara dengan acara cepat (pasal 98), penyelesaian perkara dengan acara singkat (pasal 69). Baik yang berbentuk proses dismassal maupun proses perlawanan (Pasal 62 dan 118), acara penundaan pelaksanaan keputusan yang digugat (Pasal 67) dan acar permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma (Pasal 60 UU No. 5/1986).
5. Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan adalah bersifat contradictoir dengan unsur-unsur yang bersifat ingusitoir. Proses Peradilan Tata Usaha Negara bersifat contradictoir maksudnya bahwa pemeriksaan sengketa sedapat mungkin dilakukan agar para pihak itu sama-sama memperoleh
kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya dan mengadakan reaksi terhadap pendapat lawan apabila dianggap perlu. Sedangkan sifat inguisatoirnya tampak pada kewenangan hakim untuk melakukan pemeriksaan sendiri tentang fakta-fakta yang diserahkan kepada pengujian tentang kebenaran pembentukan keputusan administratif yang bersifat konkrit, individual dan final yang disengketakan, dengan demikian Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah dominus litis, ia mengadministrasikan serta mempertimbangkan tentang jalannya proses. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat dikatakan tidak berlaku otonomi pihak yang bersengketa. Hakim Tata Usaha Negara ini tidak bersifat lijdelijk seperti pada hakim perdata. Sekalipun Hakim Tata Usaha Negara pasif dalam arti yang memulai proses adalah selalu penggugat, akan tetapi Hakim Tata Usaha Negaralah yang memimpin dan menentukan arah jalannya proses dan ia pula menentukan segala keputusan yang harus terjadi dalam proses yang bersangkutan.
6. Dalam Hukum Tata Usaha Negara berlaku suatu asas, bahwa selama suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak digugat, maka ia selalu dianggap syah menurut hukum. Keputusan Tata Usaha Negara semacam itu berlaku syah dan memperoleh kekuatan hukum tetap kalau tenggang waktu untuk menggugat telah lewat tanpa adanya suatu gugatan yang diajukan terhadapnya.
7. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas pembuktian bebas yang terbatas, artinya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara telah ditentukan secara limitatif alat-alat bukti (Pasal 100) dan di dalam melakukan penilaian hasil pembuktian Hakim dibatasi kebebasannya dengan ketentuan
Pasal 107 yang mengatakan bahwa untuk syahnya pembuktian diperlukan


Artikel Terkait

Previous
Next Post »