TESIS PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI KOTA X

Wednesday, February 17, 2016
T-(0027) TESIS PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI KOTA X


BAB II
PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN


A. Sejarah Pengungsi Warga Negara Asing di Indonesia 1. Pengungsi di Pulau Galang
Indonesia secara geografis merupakan kawasan yang strategis bagi jalur lalu lintas pelayaran yang menghubungkan benua Asia, Australia ataupun Amerika yang juga menghubungkan dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik dan bukan merupakan tujuan utama para pengungsi dari benua Asia. Namun karena letak geografisnya, Indonesia menjadi kawasan persinggahan terutama para pengungsi yang berasal dari daratan Indo-Cina sebelum mereka meneruskan perjalanan ke negara-negara tujuan.
Arus pengungsi Vietnam dimulai sejak jatuhnya ibukota Saigon (Vietnam Selatan) ke tangan Vietnam Utara, pada tanggal 10 Mei 1975, yang setahun kemudian membentuk Republik Sosialis Vietnam (RSV) yang resmi berdiri sejak 2 Juli 1976. Pengungsi Vietnam ini meninggalkan negaranya karena mendapat perlakuan kasar serta intimidasi di negara asalnya. Pengungsi ini meninggalkan Vietnam dengan menggunakan perahu, sehingga mereka disebut manusia perahu. Arus pengungsi Vietnam ini terjadi beberapa gelombang dan dalam perjalanannya banyak terdampar di beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, Indonesia dan Hongkong. Diperkirakan melebihi 500.000 orang tersebar di beberapa negara ASEAN dan Hongkong.
Para pengungsi Vietnam ini ditempatkan di sebuah pulau bernama Pulau Galang, sebuah pulau kecil terletak di Kabupaten Kepulauan Riau. sebelah tenggara pulau Batam. Pulau ini memang telah diperuntukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1979 sebagai tempat penampungan pengungsi asal Indo-Cina.
Pada bulan Agustus 1979, penghuni pertama telah datang sebanyak 46 orang dan menempati pulau Galang. Kemudian sejalan dengan dibangunnya fasilitas tambahan seperti rumah ibadah, vihara, gereja katholik dan protestan pada bulan September 1979 telah berdiri 140 barak untuk menampung pengungsi Vietnam sejumlah 5.320 orang.
Pada akhir tahun 1979, sebagai penampungan dan tempat pemrosesan para manusia perahu, maka jumlah mereka yang pernah memanfaatkan dan tinggal di Pulau Galang mencapai lebih kurang 121.000 orang. Pada saat itu keseluruhan manusia perahu asal Vietnam tersebut adalah berstatus refugee dan merupakan titipan dari negara tetangga untuk diproses sebelum dikirim ke negara ketiga.
Untuk mengatasi persoalan manusia perahu di Pulau Galang, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan antara lain: Operasi Kemanusiaan Galang 1996. Tujuan operasi ini adalah untuk mempercepat pengambalian manusia perahu dari Pulau Galang dan Tanjung Pinang ke Vietnam dan Kamboja. Dalam melaksanakan kegiatan ini pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNHCR.
Perkembangan berikutnya adalah kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam usaha untuk memulangkan kembali manusia perahu ke negara asal mereka. Ada kesan bahwa Negara asal mereka enggan untuk menerima kembali manusia perahu yang mungkin sudah terlanjur dicap sebagai penghianat misalnya mereka golongan keras militer dan polisi dan keterbatasan dana dari UNHCR untuk biaya pemulangan manusia perahu. Disamping masalah administrasi penyelesaiannya yang panjang dan rumit.
Sikap keras manusia perahu menolak untuk dipulangkan pada umumnya disebabkan karena antara lain bagi eks militer dan polisi takut ditangkap dan diperlakukan negatif di negara asal mereka. Ada juga diantara mereka yang khawatir terhadap masa depan mereka mengingat tidak ada lagi harta benda di kampung negara asal sehingga mereka ingin mencari penghidupan lebih baik di luar negeri, adanya isu kesediaan negara ketiga masih mau menampung mereka. Tidak kalah menarik adalah karena para pengungsi Vietnam ini telah terbiasa dan cukup lama (tujuh tahun) menikmati bantuan dari UNHCR dan ada kelompok pengungsi yang telah berhasil di negara ketiga.
2. Peran Pemerintah Republik Indonesia dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing
Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah sejauhmana keterkaitan Indonesia dalam memberikan bantuan berupa perlindungan, mengingat sampai dengan saat ini Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan protokol mengenai pengungsi tahun 1967. Dengan demikian pemerintah Republik Indonesia relatif tidak banyak terlibat dalam penanganan masalah pengungsi.
Konvensi 1951 tentang status pengungsi (The Convention on The Status of Refugee) dan Protokol 1967 adalah kerangka hukum internasional dan garis haluan guna melindungi kaum pengungsi yang proses pengembangannya dimulai pada awal abad ke-20 oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB), badan pendahulu berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Prosesi ini mencapai puncaknya pada tanggal 28 Juli 1951, ketika Konferensi Khusus PBB menyetujui disahkannya konvensi sehubungan status pengungsi. Konvensi itu menjabarkan siapa yang disebut pengungsi, jenis perlindungan hukum, bantuan dan hak sosial yang akan diperoleh pengungsi dari negara pihak, kewajiban-kewajiban pengungsi kepada negara penerima serta siapa orang yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi. Misalnya pelaku tindak pidana terhadap perdamaian, penjahat perang, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindak pidana non politis yang serius di luar negara pengungsian dan dinyatakan bersalah atas perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Pengungsi {refugee)43 adalah orang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal aslinya, mempunyai dasar ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai akibat kesukuan (ras), agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya, serta tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut, ataupun kembali ke sana karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Seseorang yang telah diakui statusnya sebagai pengungsi akan menerima hak-hak dan perlindungan atas hak-haknya itu serta kewajiban-kewajiban yang ditetapkan.
Konvensi 1951 menetapkan hak, kebebasan asasi, kewajiban dan perlindungan terhadap pengungsi dalam 3 (tiga) pasal prinsip utama suaka yang sangat erat kaitannya dengan aspek keimigrasian yaitu :44 Konvensi 1951 Pasal 31. Pengungsi yang berada secara tidak sah di negara pengungsi
a. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan hukuman pada para pengungsi, karena masuk atau keberadaannya secara tidak sah, yang datang secara langsung dari wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dalam arti Pasal 1, masuk ke atau berada di wilayah negara-negara pihak tanpa izin, asalkan mereka segera melaporkan diri kepada instansi-instansi setempat dan menunjukkan alasan yang layak atas masuk atau keberadaan mereka secara tidak sah itu.
b. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan pembatasan-pembatasan terhadap perpindahan penduduk para pengungsi termasuk kecuali pembatasan-pembatasan yang perlu dan pembatasan-pembatasan demikian hanya akan diberlakukan sampai status mereka di negara itu disahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain.
Konvensi 1951 Pasal 32. Pengusiran Negara-negara pihak tidak akan mengusir pengungsi yang berada secara tidak sah di wilayahnya kecuali karena alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum.
a. Pengusiran pengungsi demikian hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan, menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya, serta untuk mengajukan banding.
b. Negara-negara pihak akan memberikan kepada pengungsi tersebut jangka waktu yang layak untuk mengupayakan diterima masuknya secara sah ke negara lain dalam jangka waktu yang diberikan itu. Negara-negara pihak mencadangkan haknya untuk menerapkan dalam jangka waktu tersebut tindakan-tindakan internal yang dianggapnya perlu. Konvensi 1951 Pasal 33. Larangan pengusiran atau pengembalian (refoulemenf)
a. Tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau politiknya.
b. Namun, keuntungan ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi dimana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara dimana ia berada atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat, ia merupakan bahaya bagi masyarakat itu. Prinsip perlindungan yang erat kaitannya dengan aspek keimigrasian, misalnya harus diizinkan masuk ke wilayah suatu negara, sekalipun tidak menggunakan dokumen resmi seperti paspor dan visa45 yang tidak dimungkinkan dalam keadaan biasa. Pengungsi juga menikmati kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi keikutsertaan sebagai negara pihak. Secara rinci beberapa kewajiban negara pihak sebagai berikut: a. Hak kebebasan beragama dan akses yang bebas ke pengadilan (Pasal 4 dan 16 ayat 1), klausula ini tidak dapat dijadikan subyek reservasi oleh negara pihak.
.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »