2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Konstruktivisme
Menurut Von Glasersfeld (Ardianto, 2007: 154), konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pendirian ini merupakan kritik langsung pada perspektif positivisms yang meyakini bahwa pengetahuan itu adalah potret atau tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan objektif, kita tahu adalah pengetahuan yang apa adanya, terlepas dari peran subjek sebagai pengamat. Konstruktivisme menolak keyakinan itu, pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.
Subjek pengamat tidaklah kosong dan tidak mungkin tidak terlibat dalam tindakan pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang di amati. Para konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka (Ardianto, 2007: 154).
Konstruktivisme menolak pandangan positivisms yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.
analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto, 2007: 151).
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistomologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang di gali secara terus-menerus. Jadi tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independen dari subjek yang mengamati. Manusia ikut berperan, ia menentukan pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan tujuannya di dunia. Pilihan-pilihan yang mereka buat dalam kehidupan sehari-hari lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah-teoretis.
Konstruktivisme memang menujukan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman (Ardianto, 2007: 154). Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya (Miller, 2002). Konstruktivisme ini lebih berkaitan dengan program penelitian dalam komunikasi antarpribadi. Sejak 1970-an para akademisi mengembangkan komunikasi antarpribadi secara sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritis dan hubungannya; dengan mengolaborasi sejumlah asumsi, serta uji coba teori dalam ruang lingkup situasi produksi pesan.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme karena di dalam kajian paradigma konstruktivisme memandang tindakan komunikatif sebagai interaksi yang sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dilakukan. Tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjek. Dengan kajian konstruktivisme ini, peneliti berusaha memahami dan mendeskripsikan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan subjek yang akan diteliti. Selain itu, penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme karena penelitian yang menggunakan metode riset deskriptif kualitatif (wawancara dan observasi) merupakan bagian dari pendekatan konstruktivisme.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Komunikasi
2.2.1.1 Definisi Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna (Effendy, 2006: 9). Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.
Selain itu juga terdapat sebuah definisi lain yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) bahwa: "Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antarsesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu" (Book, 1980) (Cangara, 2009: 20). Everret M. Rogers seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa: "Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka". Definisi tersebut kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D.Lawrence Kincaid sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa: "Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam" (Cangara, 2009: 20). Rogers mencoba men spesifikasi kan hakikat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran informasi (pesan), di mana ia menginginkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi.
Definisi komunikasi yang telah dipaparkan diperkuat juga dengan definisi lain, seperti definisi komunikasi menurut Shannon dan Weaver (Cangara, 2009: 20) yang menyebutkan bahwa komunikasi dapat juga diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain, dengan sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada komunikasi verbal saja, tetapi juga dalam ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi. Oleh karena itu, jika kita berada dalam situasi berkomunikasi, kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi.
Dari beberapa definisi tersebut, peneliti dapat memahami bahwa komunikasi dapat diartikan sebagai pengiriman pesan berupa informasi, pemikiran dari seorang komunikator kepada komunikan. Komunikasi yang dilakukan dikatakan sebagai komunikasi yang efektif apabila antara kedua orang yang melakukan komunikasi tersebut terdapat kesamaan makna tentang hal yang dikomunikasikan. Terdapat dua jenis komunikasi yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal.
Definisi komunikasi tidak terbatas pada itu saja, terdapat pula definisi lain menurut Carl I. Hovland (dalam Effendy 2006: 10), ilmu komunikasi adalah "Upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap". Definisi Hovland tersebut menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals).
Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Laswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: "Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect!" Paradigma Laswell tersebut menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan (communicant, receiver, recipient), efek (effect, impact). Jadi, berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2006: 10).
Dengan demikian dari beberapa pengertian komunikasi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan secara singkat bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seorang komunikator kepada komunikan baik berupa verbal maupun non-verbal dengan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Komunikasi akan berhasil jika terjadi kesamaan makna di antara kedua pihak yang berkomunikasi. Selain itu, komunikasi juga dilakukan tidak hanya untuk saling bertukar informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk saling mempengaruhi, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan Iain-lain.
2.2.1.2 Proses Komunikasi
Proses komunikasi menurut Effendy (2006: 11) pada hakikatnya adalah prose penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan Iain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian