SKRIPSI ANALISIS TERHADAP PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN YANG DILAKUKAN ISTRI PERTAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Sunday, January 10, 2016
(0004-HUKUM) SKRIPSI ANALISIS TERHADAP PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN YANG DILAKUKAN ISTRI PERTAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan tersebut berbeda dengan pengertian perkawinan menurut hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata barat. Menurut Hukum Islam perkawinan adalah "akad" (perikatan) antara wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya (Hilman Hadikusuma, 2003 : 11). Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan terima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka perkawinan menjadi tidak sah, karena bertentangan dengan Hadits Nabi Muhammad SAW yang meriwayatkan Ahmad yang menyatakan "Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil". Menurut Hukum Adat, perkawinan adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib teratur; sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya (Imam Sudiyat, 1981 : 107). Sedangkan menurut Hukum Perdata Barat, yang dimaksud perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dalam jangka waktu yang lama. Menurut KUH Perdata (BW), perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal ini jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya (Hilman Hadikusuma, 2003 : 7).
Dari pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menurut Prof. Abdulkadir Muhammad pada dasarnya di dalam pengertian perkawinan tersebut terkandung lima unsur yaitu :
1). Ikatan lahir batin
Artinya suatu perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, artinya harus memenuhi syarat-syarat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja. Ikatan batin ini dapat berupa rasa cinta dan kasih sayang antar keduanya.
2). Antara seorang pria dan seorang wanita
Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. Seorang pria disini adalah seorang yang berjenis kelamin pria, sedangkan seorang wanita artinya seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini adalah kodrat (karunia Tuhan), bukan merupakan bentukan manusia.
3). Sebagai suami istri
Suami istri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak adanya ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami istri. Dari ikatan perkawinan tersebut kemudian menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya.
4). Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Perkawinan yang kekal dan abadi merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan. Namun dalam Undang-Undang Perkawinan mengatur pula kemungkinan perceraian antara suami dan istri tersebut. Untuk mempertahankan prinsip kekal abadi nya suatu perkawinan maka Undang-Undang Perkawinan juga mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini dilakukan agar perkawinan yang telah dilangsungkan tidak dapat diputuskan begitu saja baik itu atas keputusan salah satu pihak maupun atas kesepakatan keduanya tanpa melalui proses persidangan di muka Hakim. Dalam Pasal 39 ayat (1) memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
5). Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan). Dengan demikian perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilangsungkan menurut syarat dan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang dan sesuai dengan hukum agama.

b. Asas - asas Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang asas-asas perkawinan. Asas-asas ini mendasari
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Asas-asas tersebut yaitu :
1). Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan). Jadi perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti undang-undang ini.
2). Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang akan menikah itu (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). Kemudian perkawinan tersebut harus dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)). Pencatatan perkawinan tersebut harus dinyatakan dalam akta perkawinan (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
3). Dalam satu masa, perkawinan itu hanya boleh dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita. Pada pasal 3 Undang-Undang Perkawinan jelas dinyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogami).
4). Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan yang baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5). Untuk melangsungkan perkawinan seorang pria dan seorang wanita harus memenuhi batas minimal usia menikah. Perkawinan dapat dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa yaitu sudah genap 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan). Tetapi apabila sebelum usia 21 tahun mereka ingin melangsungkan perkawinan, maka batas umum minimal bagi wanita adalah 16 tahun, sedangkan bagi pria adalah 19 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan).
6). Asas perceraian dipersulit. Asas ini ada hubungannya dengan tujuan perkawinan yang kekal, dan kebebasan kehendak untuk menikah. Sekali perkawinan dilakukan, sulit untuk melakukan perceraian. Untuk itu Undang-Undang Perkawinan menentukan alasan-alasan sah yang diakui undang-undang tersebut untuk dapat melakukan perceraian. Perceraian tersebut juga harus dilakukan didepan sidang Pengadilan yang berwenang.
7). Asas kedudukan suami dan istri seimbang. Setelah berlangsungnya perkawinan maka suami istri mempunyai kedudukan seimbang baik itu dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami menjadi kepala keluarga dan istri menjadi ibu rumah tangga. Namun diantara keduanya tetap mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang diatas atau dibawah yang lainnya.

c. Tujuan Perkawinan
Berdasarkan pengertian perkawinan yang ada pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, bahwa tujuan dari suatu perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut, maka suami dan istri harus saling menjaga hubungan baik, saling membantu dan melengkapi satu sama lain. Perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak sehingga


Artikel Terkait

Previous
Next Post »