SKRIPSI ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI

Sunday, January 10, 2016
(0002-HUKUM) SKRIPSI ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian. a) Pengertian Pembuktian
KUHAP memberikan ruang bagi pembuktian, tetapi tidak memberikan definisi yang secara khusus mengenai pembuktian. Sehingga muncul beberapa defmisi dari beberapa ahli yang mencoba memberikan definisi mengenai pembuktian, diantaranya :
1. M. Yahya Harahap.
M. Yahya Harahap (2000: 252) memberikan definisi pembuktian yaitu:
Sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada seorang terdakwa.
2. Hari Sasangka.
Merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti-bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah :
1. Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang
2. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-undang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa
3. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
b) Sistem Pembuktian.
Yahya Harahap (2000:256) menjelaskan beberapa sistem Pembuktian yang dikenal adalah :
a). Conviction- in time.
Penilaian tentang bersalah atau tidaknya terdakwa hanya bergantung kepada penilaian "keyakinan" hakim. Fokus dalam sistem ini adalah penilaian keyakinan hakim, tidak bergantung kepada hal yang lain.
Dalam sistem Conviction- in time, dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat alat bukti yang diperiksanya di pengadilan, bisa juga hasil alat bukti yang diabaikan oleh hakim, dan langsung menraik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
b). Conviction-Raisonee.
Dalam sistem pembuktian ini "keyakinan hakim" tetap mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Berbeda dengan sistem Conviction- in time. Dimana "keyakinan hakim" sangat leluasa, dalam sistem pembuktian ini "keyakinan hakim" hams lah disertai dengan "alasan alasan yang jelas". Tegasnya dalam sistem pembuktian ini alasan yang digunakan hakim sebagai dasar dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus lah logis dan benar benar dapat diterima akal.
c). Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Positif. (Positief Wettelijke Bewijstheorie)
Pembuktian menurut undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian conviction- in time.Pembuktian menurut undang-undang secara positif, "keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian" dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa semata mata "digantungkan pada alat alat bukti yang sah". Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa menentukan keyakinan hakim.
d). Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif. (Negatief Wettelijke Bewijstheorie).
Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction- in time.
Sistem pembuktian ini merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif mengkombinasikan secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang undang secara positif.
Menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa tidak cukup hanya berdasar keyakinan hakim semata mata atau pun berdasar pada cara dan ketentuan pembuktian dengan alat alat bukti yang ditentukan undang undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat alat bukti yang sah sekaligus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa memang benar benar telah terjadi.
Dalam sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif terdapat dua komponen untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa :
a). Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat alat bukti yang sah menurut undang undang,
b). Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat alat bukti yang sah menurut undang undang.
c). Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP.
Untuk mengkaji sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, dapat kita lihat rumusan Pasal 183 KUHAP.
Pasal 183KUHAP. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya Dari rumusan pasal tersebut telah menunjukkan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie), dimana dua komponen utama pembuktian menurut undang undang, yaitu alat bukti yang sah dan keyakinan hakim hams terpenuhi untuk menentukan seorang terdakwa tersebut bersalah atau tidak.
d) Prinsip minimum pembuktian.
Prinsip minimum pembuktian adalah prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. (M. Yahya Harahap 2000: 262).
Dalam menentukan minimum pembuktian tersebut tetap harus berpegang pada Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dari rumusan Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup.
a), sekurang kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. b). Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak
cukup kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.
e) Asas Asas dalam Pembuktian.
Dalam pembuktian dikenal adanya asas asas sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian, diantaranya :
a). Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, karena pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian, jadi, meskipun terdakwa mengaku, penuntut umum dan persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar adalah kebenaran material (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).
b). Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan / notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP)
c). Menjadi saksi adalah kewajiban (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).
d). Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, sehingga hanya mengikat dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3) KUHAP).
e). Satu saksi bukan saksi / unsur testis nulis testis (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).

2. Tinjauan Umum tentang korupsi
a) Pengertian korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia, Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrupter = busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok (http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi) diakses 28 November 2009.Menurut Anne van Aaken, Lars P. Feld, Stefan Voigt: "Corruption is defined as the misuse of public office for private benefit. Private benefit need not be confined to individual benefit but can include benefits to political parties and other associations"
(Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Keuntungan tersebut tidak terbatas pada keuntungan individu tetapi juga termasuk keuntungan kepada partai politik dan asosiasi lainnya).

Artikel Terkait

Previous
Next Post »