(KODE : 0003-BIDAN) : SKRIPSI HUBUNGAN PERAWATAN PERINEUM DENGAN KESEMBUHAN LUKA PERINEUM PADA IBU NIFAS HARI KEENAM
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Konsep dasar nifas
a. Pengertian nifas
Masa nifas ialah masa dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alal-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung kira-kira selama enam minggu (Saifuddin, 2001).
b. Klasifikasi masa nifas
Terbagi dalam tiga periode menurut Mochtar (1998), yaitu :
1) Puerperium dini, yaitu kepulihan dimana ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan.
2) Puerperium intermedial adalah kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu.
3) Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna.
c. Perubahan Fisiologi pada Ibu Nifas
1) Involusio
Dalam masa nifas,alat-alat genetalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Perubahan-perubahan alat-alat genetalia ini dalam keseluruhannya disebut involusio (Sarwono, 2006).
2) Bekas implantasi plasenta
Placental bed mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri dengan diameter 7,5 cm. Sesudah dua minggu menjadi 3,5 cm pada minggu keenam 2,4 cm dan akhirnya pulih.
3) Luka-luka pada jalan lahir bila tidak disertai infeksi akan sembuh dalam 4-7 hari.
4) Rasa nyeri atau mules-mules disebabkan kontraksi rahim, biasanya berlangsung 2-4 hari pasca persalinan.
5) Lochea
Yaitu cairan yang berasal dari luka kavum uteri yaitu luka plasenta yang dikeluarkan melalui vagina pada masa nifas. (Manuaba, 2002).
6) Dinding vagina Pada minggu ketiga vagina mengecil dan timbul rugae kembali.
7) Dinding abdomen Triae flabby yang terjadi pada kehamilan berkurang.
8) Saluran kencing Kembali normal dalam waktu 2-8 minggu.
2. Luka robekan perineum
a. Robekan perineum
Robekan perineum bisa terjadi secara spontan maupun robekan melalui tindakan episiotomi. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Menurut Wiknjosastro (2000), pada proses persalinan sering terjadi ruptur perineum yang disebabkan antara lain :
1) Kepala janin lahir terlalu cepat
2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3) Riwayat jahitan pada perineum
4) Pada persalinan dengan distosia bahu
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari biasanya sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak yang dilahirkan dengan pembedahan vaginal.
b. Tingkat/Derajat Robekan Perineum
Menurut Manuaba (2002), robekan perineum dibagi atas empat tingkat/ derajat antara lain :
1) Derajat I
Robekan terjadi hanya pada mukosa vagina, fourchet posterior dan juga kulit perineum.
2) Derajat II
Robekan mengenai mukosa vagina, fourchet posterior, kulit dan otot perineum.
3) Derajat III
Robekan mengenai mukosa vagina, fourchet posterior, kulit perineum, otot-otot perineum, otot sphincter ani eksternal.
4) Derajat IV
Robekan mengenai Robekan mengenai mukosa vagina, fourchet posterior, kulit perineum, otot-otot perineum, otot sphincter ani eksternal dan juga dinding rektum anterior,
c. Penanganan
Robekan perineum yang melebihi robekan tingkat I harus dijahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai plasenta lahir. Penderita berbaring dalam posisi lithotomi, dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptik dan luas robekan ditentukan dengan seksama. Adapun penanganan penjahitan perineum berdasarkan derajatnya seperti dibawah ini :
1) Derajat I
Penjahitan tidak diperlukan jika tidak ada perdarahan dan jika luka teraposissi secara alamiah.
2) Derajat II
Jahit dengan menggunakan teknik-teknik. Pada robekan perineum derajat II setelah diberi anesthesi lokal otot-otot diafragma urogenitalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan j aringan-j aringan dibawahnya.
3) Derajat III
Menjahit robekan perineum derajat III harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit, kemudian fasia per-rektal ditutup dan muskulus sphincter ani eksternum yang dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti diuraikan untuk robekan perineum derajat II. Untuk mendapat hasil baik terapi pada robekan perineum total, perlu diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna. Penderita di beri makanan yang tidak mengandung selulosa dan mulai hari kedua diberi paraffmum liquidum sesendok makan dua kali sehari dan jika perlu pada hari keenam di beri klisma minyak.
4) Derajat IV
Perbaikan segera dengan benang yang dapat diserap perlu dilakukan. Robekan derajat ketiga dan keempat membutuhkan perhatian khusus supaya wanita dapat mempertahankan kontinensia fekal.
Apabila wanita tidak merasa nyeri, ini akan membantu proses penyembuhan dan hal ini dapat dibantu dengan memastikan feses wanita lunak selama beberapa hari. Dalam beberapa kasus, obat antimikroba dapat digunakan.
Menurut Asuhan Persalinan Normal (2004), kewenangan bidan dalam penjahitan luka ruptur perineum hanya pada derajat satu dan dua, sedangkan untuk derajat ketiga atau keempat sebaiknya bidan melakukan kolaborasi atau rujukan ke rumah sakit, karena ruptur ini memerlukan teknik dan prosedur khusus.
d. Proses penyembuhan luka
Penyembuhan luka dapat terjadi secara :
1) Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
2) Per Sekunden yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan perprimam. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka. Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan, terkontaminasi atau terinfeksi. Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan pembentukan jaringan granulasi.
3) Per Tertiam atau per primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridemen. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari).
e. Bentuk penyembuhan
Dalam penatalaksanaan bedah penyembuhan luka, luka digambarkan sebagai penyembuhan melalui instensi pertama, kedua, atau ketiga.
1) Penyembuhan melalui Instensi Pertama (Penyatuan Primer).
Luka dibuat secara aseptik, dengan pengrusakan jaringan minimum, dan penutupan dengan baik, seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
2) Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi).
Pada luka dimana terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu lebih lama.
3) Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder).
Jika luka dalam baik yang belum disuture atau terlepas dan kemudian disuture kembali nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas.