Untuk dapat mengerti sesungguhnya apa yang dimaksud dengan "gereja ", lebih dahulu perlu diketahui arti kata gereja itu sendiri. Kata gereja merupakan terjemahan dari kata Portugis "igreya”. Kata ini berasal dari kata Yunani "kuriake" yang berarti "Rumah Tuhan". Rumah Tuhan harus dipahami sebagai wilayah yang dikuasai oleh Tuhan atau milik Tuhan. Kata gereja juga berasal dari kata Yunani "ekklesia", bentukan dari dua kata, "ek" dan "kaleo". "Ek" berarti "keluar" dan "kaleo" berarti "memanggil". Secara harfiah ekklesia berarti sekumpulan orang yang dipanggil keluar. Berdasarkan I Petrus 2:9, gereja harus dipahami sebagai sekumpulan orang yang dipanggil keluar dari keadaan gelap ke keadaan terang. Di satu pihak gereja adalah suatu umat yang "kudus", yang dipanggil dari dunia untuk menjadi milik Allah. Tapi di lain pihak gereja adalah suatu umat yang "duniawi", dalam arti bahwa mereka adalah orang-orang yang diutus kembali ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani.1
Pengertian gereja sebagai sekumpulan orang yang dipanggil untuk tujuan tertentu tidak dapat dilepaskan dari pemahaman umat Israel dalam Perjanjian Lama. Hal ini tidak dapat dihindarkan karena Gereja Yesus Kristus mempunyai akar yang kuat dalam tradisi umat Israel yang disebut sebagai umat Allah. Dalam Perjanjian Lama ada dua istilah yang diterjemahkan menjadi jemaat atau perhimpunan atau persekutuan, yaitu: "Edhah" yang artinya orang-orang yang dihimpunkan bersama karena adanya suatu perjanjian, dan "Qahal” yang artinya perhimpunan dari suatu umat yang dipanggil untuk mendengarkan nasehat-nasehat atau untuk penugasan militer.
Visi Perjanjian Baru tentang gereja adalah sebagai umat Allah. Suatu persekutuan yang bersifat mendampingi yang dipersekutukan oleh suatu perjanjian dengan Allah; tubuh Kristus (2 Kor 10:16). Suatu kesatuan organis yang di dalamnya tiap anggota, tiap bagian dari tubuh yang hidup itu mempunyai talenta dan pelayanannya yang unik; dan komunitas dari Roh Kudus (Rm 12:4-5; 1 Kor 10:17). Suatu komunitas yang menyelamatkan serta menyembuhkan dan juga
1 John Stoot, Isu - isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, terj. g.m.a nainggolan, (Jakarta:
Suatu studi klasik tentang misi gereja yang dilakukan oleh Niebuhr, Day Williams dan Gustafson, sebagaimana yang dikutip oleh Clinebell, menyimpulkan bahwa tujuan gereja secara terpadu adalah memperbesar kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama diantara manusia. Tema ini relevan dengan keutuhan yang berpusat kepada Roh Kudus. Teolog Inggris, Pittenger menunjukkan bahwa arti dari segambar dan serupa dengan Allah adalah kemampuan untuk mengasihi; kemampuan untuk terbentuk secara penuh di dalam kasih, yang merupakan hakikat Allah sendiri. Williams melukiskannya sebagai dasar seluruh pendampingan jiwa: "Kasih adalah pusat penyataan Kristus untuk kemanusiaan kita. Allah telah mewujudkan kasih-Nya bagi kita dalam tindakan yang menyatakan tujuannya, dan tindakan itu diceritakan dalam hakikat Yesus. Jadi, mengasihi, di dalam pemahaman Perjanjian Baru berarti berpartisipasi di dalam tindakan ini. Tindakan kita adalah suatu tanggapan, di dalam cara yang cocok dengan situasi kita kepada apa yang telah diperbuat Allah bagi kita, sehingga Paulus mempersatukan komunitas Kristen ketika ia berkata, " hendaklah kamu... menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus... dan mengambil rupa seorang hamba" (Filipi 2:5). Sebenarnya, ini jugalah dasar dari pernyataan Luther yang cukup berani bahwa kita haruslah menjadi Kristen bagi orang lain.4
Tanggung jawab gereja yang paling utama, adalah untuk menolong orang lain. Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, melainkan supaya anggota-anggota yang berbeda saling memperhatikan. Karena jika satu anggota menderita semua anggota turut menderita; jika satu dihormati, seluruh anggota bersukacita. Kamu adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya (I Korintus 12:24-27). Sesuai dengan rencana Tuhan, gereja seharusnya menjadi kesatuan atau persekutuan dari orang-orang percaya yang oleh kuasa Roh Kudus diberi kuasa untuk melayani sesama, baik di dalam maupun di luar gereja.5
3 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius 2002), Pemahaman kita tentang gereja paling sedikit harus memahami, gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil oleh Tuhan Yesus; gereja adalah persekutuan yang secara disiplin mau hidup untuk mendengarkan dan melakukan pengajaran Tuhan Yesus; gereja adalah persekutuan semua orang yang mengaku Yesus sebagai Tuhan.6 Sungguhpun demikian haruslah disadari bahwa gereja adalah alat untuk suatu tujuan, gereja adalah alat untuk melaksanakan misi Allah dan melanjutkan misi Kristus di dunia, gereja bukan tujuan pada dirinya sendiri. Makna identitas dan hakikat gereja lebih secara fungsional, sebagai suatu komunitas yang hidup, yang bertumbuh, dan mestinya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, tidak hanya untuk dirinya sendiri (internal), tetapi terutama untuk dunia ini (eksternal). Eka Darmaputera berpendapat, Gereja tidak hanya bergerak mengikuti dan menyesuaikan diri, tetapi lebih dari itu ia wajib berjalan mendahului, menolong.7 Namun kerena gereja sadar bahwa masa depan manusia tidak tergantung pada teknologi dan ilmu pengetahuan. Ada yang dibutuhkan manusia lebih daripada itu yakni Damai Sejahtera Kristus sendiri. Itulah sebabnya mengapa Kristus berkata Damai Sejahtera bagi kamu.
Gereja sebagai wadah dan wujud persekutuan orang yang beriman kepada Tuhan Yesus Kristus, mempunyai dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan dalam keberadaannya dan kehidupannya. Dimensi pertama disebut sebagai dimensi spiritual, sedangkan dimensi kedua ialah dimensi sosial. Dalam hal ini sering dikatakan, gereja pada satu pihak merupakan fenomena keimanan, dan pada pihak lain merupakan fenomena kemasyarakatan. Begitulah realitas hakikat dan sifat ganda gereja, yang spiritual, tetapi juga sosial, yang kedua-duanya secara dialektis harus selalu disadari dan diperhatikan dalam keberadaan dan kehiduapannya. Dialektis artinya, mengakui kedua-duanya sebagai realitas yang tidak dapat disangkal, dan masing-masing berfungsi korektif (sikap mengkoreksi), dan pelengkap yang lainnya.
Gereja hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat, lebih dari itu, gereja juga merupakan bagian integral dari masyarakat di mana gereja hidup dan berada, sehingga gereja harus mempunyai minat dan tanggung jawab dalam keterlibatannya secara aktif terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Tentunya gereja akan mendasarkan keterlibatan tersebut pada prinsip-prinsip iman Kristen yang dianutnya sebagai umat Allah.9 Gereja harus memberikan tanggapannya mengenai masalah-masalah yang sekarang digumuli oleh dunia, baik di bidang hidup pribadi maupun dalam hidup kemasyarakatan.10
Demikianlah gereja hadir dan berada di dunia ini sebagai respon terhadap panggilan Allah untuk menyatakan kasih-Nya dan mewujudkan damai sejahtera Tuhan Yesus Kristus kepada setiap orang. Untuk melaksanakan tugas dan panggilan gereja, maka setiap orang Kristen, baik pelayan maupun jemaat telah diberi karunia yang berbeda-beda (Roma 12; I Kor. 12; Efesus 4) sehingga memampukan mereka untuk pergi menghibur, menolong, menguatkan iman, menasehati dan melayani orang lain dengan kasih. Salah satu cara atau bentuk pelayanan menolong sesama yang dapat dilakukan oleh persekutuan Kristen yang diikat oleh kasih Allah ialah melalui Konseling.
2.2. KONSELING PASTORAL HOLISTIK
Untuk memahami apa itu pelayanan Konseling Pastoral Holistik yang dilakukan oleh gereja (pendeta serta majelis dan atau jemaat dengan kompetensi), maka kita akan menjelajahi apa itu pengertian Konseling Pastoral, fungsi Pastoral dalam Konseling, keunikan Konseling Pastoral dibandingkan dengan Konseling Sekuler lainnya, dan segala aspek yang berkaitan dengan Konseling Pastoral, termasuk dalamnya mengenai teknik pelaksanaan Konseling Pastoral dan peran Konselor dalam Konseling Pastoral.
2.2.1 Pengertian Konseling Pastoral
Dalam memahami pengertian "Konseling Pastoral", terlebih dahulu kita melihat pengertian secara etimologis dari kedua kata tersebut, yakni Pastoral dan Konseling.
Menurut Aart van Beek, istilah pastoral berasal dari "pastor" dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Yunani disebut "Poimen" yang artinya "gembala". Istilah pastor dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau memlihara. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus dan karya-Nya sebagai "Pastor sejati" atau "Gembala yang baik" (Yoh. 10). Ungkapan ini mengacu pada pelayanan Yesus tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap pengikut-Nya, bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya. Pelayanan yang diberikan-Nya ini merupakan tugas manusiawi yang teramat mulia. Para pengikut-Nya diharapkan dapat mengambil sikap dan pelayanan Yesus ini dalam kehidupan praktis mereka. Oleh karena itu, tugas Pastoral bukan hanya tugas resmi atau monopoli para Pastor atau Pendeta saja, tetapi juga setiap orang yang menjadi pengikut-Nya.11
Sedangkan istilah Konseling berasal dari bahasa Latin "Consillium" yang berarti dengan atau bersama dan mengambil atau memegang. Konotasinya ada sesuatu yang harus dipegang, diambil bersama-sama. Kata Konseling berasal dari bahasa Inggris menunjukkan pada kata consul yang artinya wakil, konsul; counsult yang artinya minta nasehat, berunding dengan; cosole yang artinya menghibur dan consolide yang artinya menguatkan. Bisa diartikan kata Konseling adalah kegiatan seseorang yang menguatkan, menghibur yang dimintakan nasehat dan merunding dengan seseorang.13
Burks dan Steffle mengidentifikasikan Konseling Pastoral sebagai berikut:
"Counseling denotes a professional relationship between a trained counselor and a client. This relationship is usually person to person, although it may sometimes involve more than two people. It is designed to help the client understand and clarify their views of their life space, and to learn to reach their self-determined goals through meaningful, well-informed choices and trough resolution of problem of an emotional or interpersonal nature". "Konseling menunjuk pada relasi profesional antara seorang Konselor yang terlatih dan seorang klien. Relasi ini biasanya dua orang, walau kadang-kadang melibatkan lebih dari itu. Dengan tujuan untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan atau ruang geraknya, belajar mencapai tujuan yang dirumuskan sendiri, pilihan-pilihan yang ditentukan dengan baik dan melalui pemecahan masalah emosional atau relasi antar pribadi".14
Menurut Oates, Konseling adalah suatu disiplin ilmu non-medis yang sasarannya adalah untuk memberi fasilitas dan menimbulkan pertumbuhan serta perkembangan kepribadian, menolong pribadi-pribadi untuk mengubah pola-pola kehidupan yang menyebabkan mereka mengalami kehidupan yang makin tidak berbahagia, dan menyediakan suasana persaudaraan dan kebijaksanaan bagi pribadi-pribadi yang sedang menghadapi kehilangan dan kekecewaan dalam kehidupan yang tidak dapat dihindari.15 Berdasarkan Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling, istilah Konseling berarti hubungan timbal balik di antara dua individu (face to face relationship), yang seorang karena keahliannya (konselor) dapat membantu klien (yang mempunyai problem). Melalui pertemuan atau hubungan timbal balik itu Konselor berupaya menolong klien untuk memahami dirinya dan problemnya agar klien itu dapat mengatasi problem yang sedang dihadapinya.16 Pengertian ini mengantarkan kita pada pemahaman bahwa dalam Konseling itu, terdapat tiga aspek yakni hubungan dua arah, peran Konselor dan klien, serta problem klien.
Istilah Konseling dalam Perjanjian Lama, misalnya dalam I Tawarikh 27:32 "soferim" yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris counselor, artinya "penasihat". Istilah ini juga muncul dalam Yesaya 9:6 "misera" (counselor), sehubungan dengan kedatangan Yesus sebagai Penasehat Ajaib. Dalam Perjanjian Baru, istilah counselor paling sering muncul dalam hubungan dengan Roh Kudus (Yunani: parakletos) ; dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penghibur, penasihat, penolong.17 Demikianlah dipahami bahwa istilah Konseling itu bukanlah suatu hal baru bagi kehidupan orang Kristen. Konseling dalam pengertian ini diartikan sebagai suatu tindakan yang dihubungkan dengan pekerjaan penghibur, penasihat dan penolong, di mana ada keterlibatan Roh Kudus.
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat memahami apa itu Konseling Pastoral. Terdapat beberapa pandangan mengenai Konseling Pastoral, diantaranya seperti yang dipaparkan oleh Susabda, sebagai berikut:18
Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb) sebagai Konselor dengan konselinya (kiten, orang yang minta bimbingan), dalam mana konselor mencoba membimbing konselinya ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere) yang memungkinkan konsele itu betul-betul dapat mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, di mana ia berada, dsb; sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Berdasarkan definisi di atas, nampak paling tidak ada empat aspek penting yang harus dikenal oleh setiap Konselor (hamba Tuhan), yaitu: (a) Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara konselor dengan konselenya; (b) Hamba Tuhan sebagai Konselor; (c) Suasana percakapan konseling yang ideal (condusive atmosphere); (d) Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan padanya.
Selain pengertian di atas, terdapat beberapa defenisi Konseling Pastoral. Menurut Clinebell, Konseling Pastoral adalah ungkapan pendampingan yang bersifat memperbaiki (reparatif), yang berusaha membawa kesembuhan bagi orang lain (baik anggota dari suatu gereja maupun anggota dari persekutuan pendampingan lain) yang sedang menderita gangguan fungsi dan kehancuran pribadi karena krisis.19 Di sini, Konseling Pastoral dipahami sebagai wujud dari penyembuhan dalam Pendampingan Pastoral yang mana tidak terbatas pada anggota gereja tetapi bagi persekutuan lainnya lagi.
Hampir sama dengan pandangan Clinebell, namun di sini Leory Aden mengusulkan pandangannya mengenai Konseling Pastoral yang lebih luas dan mendalam lagi yakni sebagai suatu perspektif Kristen yang mencari upaya untuk menolong atau menyembuhkan dengan cara 'menghadiri' situasi kehidupan seseorang yang mengalami kesulitan. Konseling Pastoral ini tidak terbatas hanya melayani mereka yang berada dalam lingkungan iman Kristen saja, tetapi masih dimungkinkan untuk menjangkau orang di luar iman Kristen.20 Dalam pengertian ini, ditekankan mengenai aspek penting dari kehadiran dalam Konseling Pastoral dan pelayanan konseling ini juga dimungkinkan untuk diberikan kepada mereka yang berasal dari luar persekutuan Kristen.
Berdasarkan uraian pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Konseling Pastoral tidak hanya sebatas hubungan pertolongan antara dua orang, akan tetapi lebih dari itu. Konseling Pastoral merupakan hubungan segitiga yang melibatkan Alah, hamba Tuhan dan pribadi yang sedang mengalami masalah. Kategori hamba Tuhan di sini tidak hanya dibatasi pada pendeta, tetapi Diaken/ Majelis lainnya atau anggota jemaat pun turut terpanggil oleh Allah untuk melakukan tugas Pelayanan Pastoral ini. Konseling Pastoral tidak hanya ditujukan kepada anggota jemaat saja, tetapi juga kepada siapa saja yang membutuhkannya tidak terbatas pada lingkungan persekutuan gereja.
Dalam dunia Pastoral, orang seringkali memperdebatkan dua kata yang berkaitan dengan Pelayanan Pastoral, yakni Penggembalaan dan Konseling Pastoral. Karena itu, dalam memahami pengertian Konseling Pastoral, kita perlu mengerti apa yang dimaksud dengan Penggembalaan dan apa hubungannya dengan Konseling Pastoral? Sehingga kita dapat semakin memahami konseling pastoral dengan jelas.
Penggembalaan dan Konseling Pastoral adalah pemanfaatan hubungan antara seseorang dan orang lainnya dalam pelayanan. Hubungan itu memungkinkan timbulnya kekuatan dan pertumbuhan yang menyembuhkan baik dalam diri orang-orang yang dilayani maupun dalam relasi-relasi mereka. Penggembalaan mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka. Konseling Pastoral adalah sebuah dimensi dari Penggembalaan.
Adapun pengertian Konseling Pastoral tidak hanya sampai di sini saja, melainkan dalam uraian mengenai segala aspek yang berkaitan dengan Konseling di bawah ini, kita akan semakin memahami apa itu Konseling Pastoral Holistik dalam konteks masyarakat Indonesia.
Istilah Holistik berasal dari kata sifat wholistic (huruf w tidak terbaca dalam penuturannya) dalam bahasa Inggris. Kemudian dalam bahasa Inggris logat Amerika disederhanakan menjadi holistic (dalam beberapa dialek lokal di Amerika huruf h tidak terbaca dalam penuturannya). Dalam bahasa Indonesia menjadi Holistik. Kata Holistik berasal dari kata benda whole yang berarti keseluruhan, utuh, lengkap, dan sempurna. Bahkan, kata Holistik bisa juga diartikan sebagai sehat. Secara konkret, ketika menghadapi orang yang sedang mengalami krisis, kita harus melihatnya secara lengkap, utuh dalam keseluruhan sebagai manusia, dan bukan sebagai kasus penyakit atau masalah tertentu.
Van Beek dalam bukunya 'Konseling Pastoral',23 menguraikan secara jelas mengenai pelayanan Konseling Pastoral secara Holistik. Dalam penjelasannya, ia menggunakan istilah perspektif menyeluruh. Adapun uraian penjelasannya berangkat dari titik pandangnya terhadap kehidupan manusia yang sangat kompleks. Perspektif menyeluruh ialah suatu pandangan terhadap situasi dan masalah-masalah konseli yang dapat menghasilkan informasi mengenai semua aspek dalam kehidupannya. Dengan kata lain, Konselor harus mempertimbangkan persoalan-persoalan konseli dalam segala kompleksitasnya. Semua aspek dari kehidupan konseli perlu diperhatikan sedikit banyak untuk menjamin pemahaman yang cukup lengkap mengenai kesulitan yang mengganggu dia. Untuk menyederhanakan kompleksitas hidup manusia itu kita bisa membagi hidup manusia menjadi empat aspek (fisik, sosial, mental, spiritual) yang dapat digambarkan sebagai berikut:24