(0020-HUKUM) SKRIPSI PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan
a. Pengertian Kepailitan
Pengertian kepailitan menurut Undang-undang No.37 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 adalah "sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesan nya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini". Pengertian kepailitan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni "keadaan atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang".
Pengertian kepailitan menurut Bernadette Waluyo adalah "eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib " (Bernadette Waluyo, 1999:1).
"keadaan atau kondisi seseorang (individu, persekutuan, perseroan, kotamadya) yang tidak sanggup untuk membayar hutang yang menjadi kewajibannya". Syaratnya termasuk seseorang yang melawan permohonan tidak sengaja yang telah terpenuhi, atau yang telah memenuhi permohonan tidak sengaja, atau orang yang telah diputuskan bangkrut. Pengertian pailit menurut Black's Law Dictionary tersebut dapat dihubungkan dengan "ketidakmampuan untuk membayar" dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela maupun atas permintaan pihak ketiga, yakni suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan (Black's Law Dictionary dalam Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:11).
Secara etimologi kepailitan berasal dari kata pailit, selanjutnya istilah "pailit" berasal dari bahasa Belanda "fillet" yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah "fillet" sendiri berasal dari Perancis yaitu "filleted" yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata "to fail" dengan arti sama, dan dalam bahasa latin disebut "failure". Selanjutnya istilah pailit dalam bahasa Belanda adalah "faiyit", maka ada pula sementara orang yang menerjemahkan sebagai "paiyit" atau "faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah "bankrupt" dan "bankruptcy" (Viktor M.Situmorang dan Hendri Soekarso, 1993:18).
b. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia
Dasar umum kepailitan adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1131 dan Pasal 1132. Kemudian dasar khusus tentang kepailitan di Indonesia, diatur dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Sutan Remi Syahdeni, 2002:25).
Di Indonesia pengaturan mengenai kepailitan sudah lama ada yaitu dengan berlakunya Faillisements Verordening yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Akan tetapi, karena permasalahan ini kurang popular sehingga saat itu jarang sekali kasus kepailitan muncul ke permukaan. (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999: VII).
Peraturan kepailitan di Indonesia mengalami penyempurnaan karena dianggap tidak dapat memadai terhadap situasi pada masa sekarang ini, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan pada tanggal 9 September 1998 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-undang Kepailitan itu telah ditetapkan menjadi Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. Pada tahun 2004 pemerintah kembali mengadakan penyempurnaan terhadap peraturan ini yaitu dengan diundangkannya Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
c. Faktor-faktor dan Asas-asas Kepailitan
Berdasarkan penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu: 1) Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam
waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
2) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan (kreditor separatis) yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor pailit atau para kreditor lainnya yaitu kreditor prefer en dan kreditor konkuren.
3) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.
Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Berdasarkan penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004 asas-asas tersebut antara lain yaitu:
1) Asas Keseimbangan
Undang-undang No. 3 7 Tahun 2004 mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
2) Asas Kelangsungan Usaha
Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3) Asas Keadilan
Asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.
4) Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiil nya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
d. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan Pailit
Syarat-syarat pailit yang dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah
"debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditor nya".
1) Debitor Mempunyai Dua atau Lebih Kreditor
Keharusan adanya dua kreditor merupakan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:
"Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutang kan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan."
Inti rumusan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa kebendaan yang merupakan sisi positif harta kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yaitu kreditor. Pengertian adil disini adalah harta kekayaan tersebut harus dibagi secara:
a) pari Passau, harta kekayaan harus dibagikan secara bersama-sama di antara para kreditor nya;
b) prorata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara
keseluruhan (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:107).
Syarat memailitkan debitor berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 hanya dimungkinkan apabila debitor memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concurs us credit rum. Undang-undang No.37 Tahun 2004 akan kehilangan raison d'être-nya apabila seorang debitor hanya memiliki seorang kreditor. Eksistensi dari. debitor yang hanya memiliki seorang kreditor diperbolehkan mengajukan pernyataan pailit terhadapnya, maka harta kekayaan debitor yang menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang merupakan jaminan utang tidak perlu mengatur mengenai pembagian hasil penjualan harta kekayaan. Seluruh hasil penjualan harta kekayaan tersebut sudah pasti merupakan sumber pelunasan bagi kreditor satu-satunya itu. Tidak akan ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta kekayaan debitor karena hanya ada satu orang kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:53).Rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi tidak tercapai accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor itu untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehan kepada semua kreditor nya sesuai tata urutan kreditor tadi menurut ketentuan Undang-undang No.37 Tahun 2004. Dengan demikian jika seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor saja, maka kepailitan akan kehilangan rasio nya sehingga disyaratkan adanya concurs us credit rum (Setiawan, 2001:53).
2) Tidak Membayar Sedikitnya Satu Utang Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih
Pengertian utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah "kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhan nya dari harta kekayaan debitor".
Pengertian utang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah uang yang dipinjam dari orang lain. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagih annya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.