SKRIPSI EUTHANASIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHAT DARI SEGI HUKUM PIDANA

Sunday, January 10, 2016
(0008-HUKUM) SKRIPSI EUTHANASIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHAT DARI SEGI HUKUM PIDANA


BAB II
EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS

A. Euthanasia Menurut Undang-undang HAM
Se bahagian lapisan masyarakat belum memahami tentang makna hakiki hak manusia. Pada umumnya mereka hanya mengetahui karena banyak mendengar disebut-sebut dalam peraturan sehari-hari, melalui media-media cetak ataupun elektronik. Sedangkan upaya-upaya penyuluhan tentang hak asasi manusia ini belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dari kenyataan tersebut maka menimbulkan banyak kasus yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia ditafsirkan secara keliru. Ada yang berpikiran ini bersifat universal absolute, universal relative, partikularistik absolute, dan partikularistik relative.
Banyak pengaduan ke Komnas Ham yang sesungguhnya permasalahan mereka terletak dalam ruang lingkup Hukum Perdata atau Hukum Pidana, tetapi karena kekurangan pemahaman maka mereka datang dan minta agar Komnas HAM menanganinya dengan harapan mendapat penyelesaian.
Sesungguhnya pemahaman tentang hak asasi manusia seperti tertuang dalam deklarasi hak asasi manusia PBB, terdapat perbedaan-perbedaan antara Negara-negara barat dan timur. Negara barat, hak dan kebebasan individu harus dihormati dengan sepenuhnya oleh pemerintah dan masyarakat, individu berhak sepenuhnya mengeluarkan pikiran, perasaan dan menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya sesuai dengan selera nya sendiri.
Sedangkan di Negara-negara timur (termasuk Indonesia) hak kebebasannya dibatasi dengan faktor-faktor agama, adat istiadat masyarakat setempat dan budaya masing-masing. Jadi hak kebebasan individu dibatasi dengan penghormatan pada moral, dan kehormatan sebagian besar masyarakat. Jadi deklarasi hak asasi manusia -manusia secara keseluruhan hanya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan hak asasi manusia di dunia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi tersebut dapat digunakan sebagai ukuran antara bangsa mengenai hak asasi manusia.
Deklarasi hak asasi PBB tahun 1948, menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak dan kebebasannya tanpa ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Walaupun deklarasi tersebut sangat penting artinya namun mengingat PBB tidak memiliki struktur kekuasaan yang dapat memaksakan kepada anggotanya agar mengimplementasikan ke dalam undang-undang nasional dan kebijaksanaan masing-masing anggotanya, maka tentunya deklarasi tersebut tidak mungkin menjadikan dasar dalam memberlakukan prinsip-prinsip yang tercantum di dalamnya.
Negara-negara sebagai anggota masyarakat dunia, mengakui bahwa hak-hak asasi manusia yang mendasar tidak diperoleh dari warga Negara tertentu saja, tetapi didasarkan pada sifat kepribadian manusia. Karena mereka membenarkan perlunya perlindungan internasional dalam bentuk konvensi yang memperkuat atau melengkapi perlindungan yang diberikan oleh hukum nasionalnya, maka Negara kita adalah Negara hukum, artinya bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan, tetapi segala sesuatunya hams dilandasi secara hukum dan menjadikan sebagai supremasi.
Pancasila yang menjadi landasan idiil Negara, mengandung nilai-nilai luhur, dimana sila kedua yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" merupakan tuntunan bagi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang juga dijiwai pula dalam Pembukaan UUD 1945.
Mengingat hak asasi manusia sebagai suatu yang terkait dengan berbagai aspek seperti harga diri, harkat dan martabat manusia maupun bangsa, oleh karenanya dalam penanganannya hams melibatkan semua unsur penegak hukum, lembaga-lembaga penyelenggaraan Negara, LSM dan lain sebagainya dan tidak mungkin dilakukan secara ragu-ragu. Apalagi hanya melalui sebuah Komnas HAM saja.
Dalam rangka menjamin hak asasi manusia nampaknya pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menerbitkan Undang-undang tentang hak asasi manusia. Walaupun tidak mungkin semua hak asasi manusia dimaksud diatur dalam Undang-undang, oleh karenanya UUNo. 39 tahun 1999 tentang hak asasi yang meliputi pada seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti dalam Pasal 105 ayat 1 sebagai clausal yang menyatakan "bahwa disamping hak asasi manusia yang diatur dalam berbagai Konvensi
Internasional yang telah diratifikasikan oleh Negara RI yang sudah menjadi hukum positif bagi rakyat Indonesia."
Tentunya sangat menyambut baik terhadap keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia tersebut, yang didalamnya pula sekaligus mengatur lembaga pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia yaitu dinamakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia ini, Komnas HAM diberi wewenang untuk melakukan "sub poema", yaitu berwenang memanggil saksi-saksi dengan sanksi bilamana tidak memenuhi panggilan dimaksud tanpa alasan yang sah. Bahkan juga dapat meminta dokumen tertulis sebagai barang bukti atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan lain yang di mungkinkan adalah dalam penyidikan terhadap pelanggaran hak asasi berat, diakui sebagai barang bukti awal yang cukup guna diproses oleh penyidik dan penuntut umum dan diteruskan ke Pengadilan.
Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999, hak kodrat yang paling utama diatur adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur di dalam pasal 9 ayat 1 yaitu:
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Pasal 33 ay at 2 yaitu : Setiap orang berhak untuk bebas dari pengilangan paksa dan penghilangan nyawa.6.
Sedangkan di dalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula di dalamnya hak untuk mati.
Berbicara mengenai hak untuk hidup dan hak untuk mati akan terkait dengan masalah Hukum Pidana yang disebut dengan euthanasia. Namun masalah hak untuk mati itu tidaklah bersifat mutlak, jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhan nya dan pengobatannya yang diberikan sudah tidak ada gunanya lagi. Dalam situasi yang demikian, si penderita boleh menggunakan hak untuk matinya dengan cara kepada dokter untuk menghentikan pengobatan.
Misalnya menjadi semakin rumit, bila seseorang pasien sudah sekarat dan tidak sadar selam berbulan-bulan, kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi maut akan merenggut nyawanya. Baik penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang tiada terhingga itu dengan jalan melakukan tindakan euthanasia.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »