KODE : T-(0114) : TESIS POLA PEMBINAAN RELIGIUSITAS PERILAKU SISWA (STUDI KASUS DI SMA X)
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Religiusitas Perilaku Siswa di Sekolah
1. Pengertian
Sejak pemikiran manusia memasuki tahap positif dan pungsional sekitar abad ke-18, pendidikan (baca: pendidikan agama) mulai digugat eksistensinya. Suasana kehidupan modern dengan kebudayaan passif serta terpenuhinya berbagai kualitas kehidupan secara teknologis-mekanis, pada satu sisi telah melahirkan etika dan moral.
Krisis moral tersebut tidak hanya melanda msyarakat lapisan bawah (grass not), tetapi juga meracuni atmosfir birokrasi negara mulai dari level paling atas sampai paling bawah. Munculnya penomena white collar crimes (kejahatan kera putih atau kejahatan yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, polisi, atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para elit, merupakan indikasi kongkrit bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional.
Realitas di atas mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektivitas pembinaan religiusitas perilaku siswa di sekolah yang selama ini dipandang oleh sebagian masyarakat telah gagal dalam membangun efeksi anak didik dengan nilai-nilai yang enternal serta mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah. Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengembang peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil kalau tidak dikatakan gagal dalam mengemban misinya.
Sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pengisian kognitif mahasiswa, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi kurang bermoral.1Aspek afektif dan psikomotor yang sangat vital keberadaannya terabaikan begitu saja.
Penomena di atas tidak terlepas adanya pemahaman yang kurang benar tentang agama dan keberagamaan (religiusitas). Agama sering kali dimaknai secara dangkal, tekstual dan cenderung esklusif. Nilai-nilai agama hanya dihafal sehingga hanya menyentuh pada wilayah kognisi, tidak sampai menyentuh aspek efeksi dan psikomotorik.
Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih merujuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, sedangkan keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati nurani pribadi. Oleh karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.
Istilah nilai keberagamaan merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata yakni nilai dan keberagamaan. Menurut Rokeach dan Bank bahwasanya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan dimana seorang bertindak untuk menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu obyek. Sedangkan keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.
Menurut Gay Hendricks dan Kater Ludeman dalam Ary Ginanjar, "Terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang menjalankan tugasnya, diantaranya: kejujuran, keadilan, bermanfaat bagi orang lain, rendah hati, bekerja efisien, visi kehidupan, disiplin tinggi dan keseimbangan."
Dalam kelompok pembelajaran, beberapa nilai religius tersebut bukanlah tanggug jawab Guru Agama semata, kejujurang tidak hanya disampaikan lewat mata pelajaran agama saja, tetapi juga lewat mata pelajaran lainnya. Misalnya seorang guru untuk mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya.
Begitu juga seorang guru Ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat pelajaran Ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah yang diutamakan.
Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah) tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.
Menurut Nurcholis Majid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do'a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingka laku manusia yang terpuji, yang dilakukan dari memperoleh ridho atau perkenan Allah swt. Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingka laku manusia dalam hidup ini, yang tingka laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah swt. dan tanggung jawab pribadi dihari kemudian.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan atau untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Bila nilai-nilai religius tersebut telah tertanam pada diri siswa dan dipupuk dengan baik, mereka dengan sendirinya akan tumbuh menjadi jiwa agama. Dalam hal ini jiwa agama merupakan suatu kekuatan batin, daya dan kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut para ahli ilmu jiwa agama, kekuatan tersebut bersarang pada akal, kemauan dan perasaan. Selanjutnya, jiwa tersebut dituntun dan dibimbing oleh peraturan atau undang-undang Illahi yang disampaikan melalui para nabi dan rosul-Nya, untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan baik kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Bila jiwa agama telah tumbuh dengan subur dalam diri siswa, maka tugas pendidik selanjutnya adalah menjadikan nilai-nilai agama sebagai sikap beragama siswa. Sikap beragama merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya kepada agama.
Sikap keagamaan tersebut karena adanya konstitusi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur kognitif/psikomotorik. Jadi sikap keagamaan pada anak sangat berhubungan erat dengan gejala kejiwaan anak yang terdiri dari tiga aspek tersebut.
2. Macam-macam religiusitas perilaku siswa di sekolah
Dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam sumber ajaran Islam, nilai yang pundamental adalah nilai tauhid. Ismail Raji al-Faruqi, "Memformalisasikan bahwa kerangka Islam berarti memuat teori-teori, metode, perinsip dan tujuan tunduk pada asumsi Islam yaitu tauhid.
Nilai-nilai tersebut memberikan arah dan tujuan dalam proses pendidikan dan memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan. Konsepsi tujuan pendidikan yang berdasarkan pada nilai tauhid menurut an-Nahlawi disebut ahdaf al-Rabbani, yaitu tujuan yang bersifat ketuhanan yang seharusnya menjadi dasar dalam kerangka berfikir, bertindak, dan pandangan hidup dalam sistem dan aktifitas pendidikan.
Berkaitan dengan hal tersebut, budaya religius sekolah merupakan cara berfikir dan cara berindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religiusitas (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara menyeluruh. Allah Berfirman dalam al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 208:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."
Menurut Glock dan Stark (1966) dalam Muhaimin ada lima macam dimensi keberagamaan (religiusitas), yaitu:
a. Dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut.
b. Dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan.
c. Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang.
d. Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.