2.1.1. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan bagian dari kebijakan public dapat dipahami sebagai salah satu aktivitas dari kegiatan suatu institusi. Implementasi kebijakan adalah satu aktivitas dari kegiatan administrasi sebagai suatu institusi dimaksudkan sbagai salah satu proses kegiatan yang dilakukan oleh unit administrasi atau unit birokratik.
Kebijakan ialah tindakan (politik) apa pun yang diambil oleh pemerintah (pada semua level) dalam menyikapi sesuatu permasalahan yang terjadi dalam konteks atau lingkungan sistem politiknya. Dipahami seperti ini, maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup pula kegagalan bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja untuk tidak berbuat sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan (baik secara sadar atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan (constraints) tertentu agar publik atau masyarakat tidak dapat menyikapi secara kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term" utamanya dalam konteks kebijakan, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis kebijakan, konsep ini menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan. Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian tertentu.23
Intinya, isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri. Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.24
Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan. Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka. Singkatnya, timbulnya isu kebijakan terutama karena telah terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang dihadapi pada suatu waktu tertentu.
Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah. Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja perumusan atas suatu isu, sesungguhnya amat bersifat subjektif.
Dilihat dari sudut ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang kelompok, atau pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu isu.
Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan itu, secara berurutan dapat dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu fungsional, dan isu minor. 25 Kategorisasi ini menjelaskan, bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya secara politis.
Sebagai kasus yang agak ekstrem, dan perspektif politik bandingkan misalnya antara status peringkat masalah kemiskinan vs masalah pergantian pengurus organisasi politik di tingkat kecamatan. Namun. perlu kiranya dicatat bahwa kategorisasi isu di atas hendaknya tidak dipahami secara kaku. Sebab, dalam praktek, masing-masing peringkat isu tadi bisa jadi tumpang tindih, atau suatu isu yang tadinya hanya merupakan isu sekunder, kemudian berubah menjadi isu utama.
Sedikitnya ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini. Pertama, sebagai telah disinggung di muka, proses pembuatan kebijakan di sistem politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah atau isu tertentu. Kedua, derajat keterbukaan, yakni tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi kebijakan publik.26 Agar suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan, maka pada derajat tertentu ia haruslah diciptakan, dipikirkan atau setidaknya, diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh atau kontrol pemerintah. Dalam kondisi yang normal, memang secara implisit disyaratkan bahwa agar sebuah isu dapat menjadi kebijakan praktis harus mampu "menembus" pelbagai pintu akses kekuasaan berupa saluran-saluran tertentu (birokrasi dan politik) baik yang formal maupun yang informal, yang sekiranya relatif tersedia pada sistem politik. Adanya persyaratan seperti itulah yang menyebabkan isu kebijakan tidak jarang menjadi semacam "arena" atau ajang pertarungan kepentingan politik, baik terselubung atau terang-terangan.
Dalam sejumlah literatur (Lihat: Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu. Di antara sejumlah kriteria itu yang penting ialah:
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang;
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatic;
3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang luas;
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas;
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat;
6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.27 Meskipun kriteria di atas memiliki derajat kredibilitas dan makna ilmiah yang cukup tinggi, namun hendaknya jangan dijadikan sebagai resep siap pakai, melainkan hanya sekadar dijadikan sebagai semacam kerangka acuan. Sebab, banyak bukti yang menunjukkan, bahwa meskipun beberapa persyaratan di atas relatif terpenuhi, dalam praktek kebijakan di Indonesia ternyata tidak jalan.
Kendati kriteria isu yang kita paparkan di atas relatif bisa terpenuhi, namun dalam praktek sebenarnya tidak ada jaminan bahwa suatu isu secara otomatis akan dapat menembus secara, mulus pintu akses kekuasaan dan menjadikannya sebagai agenda kebijakan publik. Untuk dapat memahami dengan baik mengapa isu tertentu relatif mudah menembus pintu-pintu kekuasaan sementara isu yang lain tidak, memang bukan pekerjaan yang gampang.
Kendatipun demikian, untuk keperluan itu kita dapat menggunakan pendekatan sosiologi kebijakan dengan cara mencermati bagaimana peran dan pengaruh riil dari apa yang disebut sebagai agenda setters. Dalam teori sering disebutkan pada, umumnya yang secara potensial tergolong sebagai agenda setters ini adalah organisasi kelompok-kelompok kepentingan, kelompok-kelompok pemrotes, tokoh-tokoh partai politik, para pejabat senior pemerintah (sipil atau militer) atau tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat, para pembentuk opini, seperti editor surat kabar, dan sebagainya.28
Posisi dari kelompok tertentu yang berpengaruh akan semakin kukuh jika mereka dipersepsikan sebagai memiliki legitimasi dan kekuasaan atas isu tersebut, sehingga pandangan-pandangan mereka atas isu yang diperdebatkan dianggap memiliki nilai keabsahan tertentu. Proses masuknya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah pada hakikatnya merupakan suatu proses yang "berdosis politik" sangat tinggi. Artinya proses ini sangat dipengaruhi secara kental oleh bagaimana perwujudan dari distribusi kekuasaan riil (the real distribution of power) yang berlangsung di suatu negara, organisasi, atau masyarakat secara keseluruhan.29
Praktik politik kebijakan, bisa jadi beberapa kelompok atau organisasi ternyata tidak mampu menembus pintu akses kekuasaan sama sekali, sementara kelompok lain relatif dapat menembus, pintu akses itu, namun tak memiliki daya resonansi dan dampak yang cukup besar pada diri policy-makers, sedangkan sekelompok kecil orang lainnya terbukti bukan hanya mampu menembus pintu akses, melainkan mampu mempengaruhi secara nyata tahap proses penyusunan agenda kebijakan, hingga akhirnya bahkan menjadi kebijakan yang sebenarnya.
Secara umum penetapan kebijakan biasanya diawali dengan adanya suatu permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat dan berkembang menjadi isu. Isu yang tersebar di masyarakat tersebut kemudian diagendakan para pengambil