Kata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-undang nomor 32 tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian kewenangan itu sendiri didasarkan kepada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan juga didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor 32 tahun 2004, adalah :
1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah;
2) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
b ertanggungj awab;
3) otonomi daerah yang luas dan utuh tersebut diletakkan pada daerah
Kabupaten/Kota;
4) pelaksanaannya otonomi daerah hams sesuai dengan konstitusi negara;
5) Otonomi daerah hams lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom;
6) Otonomi daerah hams lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif;
7) asas dekosentrasi diletakkan pada daerah propinsi;
8) tugas pembantuan dapat dari pemerintah pusat kepada daerah dan dapat juga
dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai pembiayaannya.
Sesuai dengan amanat undang-undang Otonomi daerah Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, penyerahan wewenang diikuti dengan penyerahan 3P (Personalia, Pembiayaan dan Prasarana/aset).
1) Personalia, Penyerahan atau pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai
daerah dimaksudkan dalam rangka mendukung tugas-tugas yang dibebankan
kepada daerah sehingga secara teknis tugas-tugas yang dilimpahkan tersebut
tidak terhambat pelaksanaannya sebagai akibat dari tidak tersedianya sumber
daya manusia.
2) Pembiayaan,
Dari aspek pembiayaan, pelaksanaan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan dimaksudkan untuk mendukung terselenggaranya pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan yan diberikan. Adapun yang menjadi komponen dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah antara lain sebagai berikut : Dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
3) Prasarana dan sarana (aset).
Dalam mendukung kewenangan yang dilimpahkan ke daerah, maka pemerintah pusat juga menyerahkan berbagai aset sehingga menjadi aset daerah. Beberapa aset tersebut, antara lain berupa gedung-gedung kantor termasuk tanah dan sarana mobilitas. Namun tidak seluruh aset pusat diserahkan kepada daerah, antara lain tempat penginapan dari Departemen Pekerjaan Umum, dan Aset milik Departemen Perhubungan seperti Bandara dan pelabuhan. Hambatan-hambatan dalam impledilihat dari beberapa aspek yaitu
diantaranya:
1) Aspek Pemerintahan, pelaksanaan otonomi daerah disatu sisi sangat
memberikan harapan untuk cepat-cepat meraih satu kemajuan karena adanya
kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri pemerintahan, disisi lain
dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya ditopang oleh Sumber Daya
Manusia yang memadai.
2) Aspek Keuangan,
Pendapatan Asli Daerah rendah, karena sebagian besar daerah kabupaten/ kota di Bali, kecuali Kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki pendapatan asli daerah sangat kecil sehingga tidak mampu membiayai pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah-daerah masih sangat tergantung dari kucuran dana pusat, seperti dana DAU,DAK dan lainnya. 2.2 Kemandirian keuangan daerah
Hasil penelitian otonomi daerah yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerja sama dengan Badan Litbang Depdagri (1991) menyatakan bahwa ada 6 macam faktor yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah melaksanakan otonomi daerah, yaitu kemampuan keuangan daerah, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan organisasi dan demografi. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan keuangan itu sendiri adalah kemampuan daerah membiayai segala urusan rumah tangganya baik pemerintahan maupun pembangunan dengan menggunakan pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri atau PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kemandirian daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah, yaitu dengan menggunakan variabel pokok kemampuan keuangan daerah. Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (seluruh penerimaan daerah yang bersangkutan), sehingga peningkatan Pendapatan Asli Daerah erat kaitannya dengan kemandirian keuangan suatu daerah.
Menurut Santoso (1995), walaupun PAD tidak dapat seluruhnya membiayai APBD, tetapi proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Hal yang sama dikatakan Kuncoro (1995) bahwa indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total APBD.
Menurut Kuncoro (1995), pembangunan terutama fisik yang cukup pesat selama orde baru merupakan akibat dari kebijakan fiskal yang sentralistis, tetapi di sisi lain ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar. Kertergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat mengakibatkan pemerintah pusat memiliki kontrol yang kuat terhadap daerah dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan. Hal ini akan membatasi pemberdayaan masyarakat, prakarsa dan kreatifitas dan peran serta masyarakat.
Menurut Halim (2002) kemandirian keuangan daerah dapat dicari dengan rumus Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), yaitu :
PAD
DDF= ^xl00% (1
Sehubungan dengan ini, penelitian yang dilakukan Fisipol UGM bekerja sama dengan Badan Litbang Depdagri untuk mengukur kemampuan daerah tingkat II dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001, menggunakan nilai persentase PAD terhadap APBD tersebut yang disebut derajat desentralisasi fiskal (DDF).
Tingkat kemandirian fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dipelajari dengan melihat pada besarnya Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF). Menurut hasil Penelitian Tim Fisipol UGM (1991) persentase perbandingan antara PAD terhadap TPD menggunakan skala interval berikut :
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 - 10,00 Sangat Kurang
10,10 - 20,00 Kurang
20,10 - 30,00 Sedang
30,10 - 40,00 Cukup
40,10 - 50,00 Baik
> 50,00 Sangat Baik
Sumber : Fisipol UGM (1991)
Penentuan tolok ukur kemampuan keuangan daerah dilihat dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) tersebut dinilai wajar mengingat sebagian besar sumber penerimaan di daerah telah dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga kontribusi pajak daerah dan retribusi serta Pendapatan Asli Daerah lainnya terhadap total penerimaan daerah sangat kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah Pusat mengkategorikan bagi daerah yang rasio PAD terhadap TPD berada diatas 30 persen dinyatakan cukup mampu dalam pelaksanaan otonomi dilihat dari sisi keuangannya. Menyadari hal tersebut Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran selalu memberikan subsidi dan bantuan kepada daerah.
2 3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menumt UU Nomor 32 tahun 2004, Bab V Keuangan Daerah, pasal 6 bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah meliputi :
1) pajak daerah;
2) retribusi daerah;
3) perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan;
4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, meliputi:
(1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan;
(2) hasil jasa giro;
(3) pendapatan Bunga;
(4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan;
(5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan
atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Adapun pengertian pajak daerah menurut UU nomor 28 tahun 2009 adalah Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jenis pajak menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut adalah sebagai berikut :
1) Jenis Pajak provinsi (ayat 1) terdiri atas:
(1) Pajak Kendaraan Bermotor;
(2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
(3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(4) Pajak Air Permukaan; dan
(5) Pajak Rokok.
2) Jenis Pajak kabupaten/kota (ayat 2) terdiri atas:
(1) Pajak Hotel;
(2) Pajak Restoran;
(3) Pajak Hiburan;
(4) Pajak Reklame;
(5) Pajak Penerangan Jalan;
(6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
(7) Pajak Parkir;
(8) Pajak Air Tanah;
(9) Pajak Sarang Burung Walet;
(10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
(11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Sedangkan pengertian Retribusi Daerah menurut Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Secara garis besar obyek retribusi dapat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu retribusi :
(1) Jasa Umum;
(2) Jasa Usaha; dan
(3) Perizinan Tertentu.
Pengertian perusahaan daerah berdasarkan UU nomor 52 tahun 1962, yaitu badan usaha milik daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk menambah pendapatan daerah dan mampu memberikan rangsangan berkembangnya perekonomian daerah tersebut. Halim (2002) mengartikan perusahaan daerah merupakan unit organisasi dalam tubuh pemerintah daerah yang didirikan untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah yang mendirikan, dan prestasi perusahaan daerah tersebut diukur berdasarkan perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan nilai investasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai investor.
Sementara itu lain-lain pendapatan asli daerah yang sah diperoleh antara lain dari hasil :
1) penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
2) hasil jasa giro;
3) pendapatan bunga;
4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.