A. Perintah untuk Memakai Jilbab dalam Al-Quran
Perintah memakai jilbab diterangkan dalam dua surat dalam Al-Quran, yakni, surat Al-Ahzab ayat 59 dan surat An-Nur ayat 31. Dalam surat Al-Ahzab 59 Allah berfirman:
Artinya, "hai, nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanita, dan istri-istri orang mukmin, 'hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Penyayang."
Para ahli tafsir, termasuk Buya Hamka,15 berpendapat bahwa alasan wajibnya memakai jilbab yang ditegaskan dalam surat Al-Ahzab—yang turun belakangan— adalah lantaran dahulu, menjelang malam, banyak orang munafik bertebaran di jalan-jalan dan tempat-tempat penyeberangan jalan untuk mengganggu para budak wanita. Pada waktu itu, lazimnya dalam kultur Arab di mana nabi hidup, budak-budak tidak
mengenakan penutup sebagaimana wanita merdeka melakukannya. Akibatnya, ketika lelaki pengganggu itu mengganggu wanita merdeka, mereka dapat berkilah bahwa mereka mengira yang mereka ganggu adalah wanita-wanita budak. Berdasarkan peristiwa ini, maka akhirnya turun penegasan perintah berjilbab dalam surat Al-Ahzab—yang sudah disinggung sebelumnya dalam surat Al-Nur. Dari as babun Nuzulul tersebut nampak jelas bahwa tujuan perintah jilbab adalah justru karena Islam bermaksud menghormati kaum wanita, melindungi mereka dari gangguan orang-orang munafik, dan bukan untuk mengekang atau membelenggu kebebasan seperti yang dituduhkan orang-orang Barat. Islam memberikan kewajiban-kewajiban bagi wanita yang justru, menurut Hamudah Abdalati dalam Islam in Focus, "suit her nature and, at the same time, cautions her against anything that might abuse or upset her nature."16
Selain itu, menurut Murtadha Muthahari, para ahli tafsir sebagian besar sependapat bahwa alasan mengapa kaum wanita mukmin diharuskan berjilbab adalah untuk menjaga kehormatan dirinya. Disebutkan dalam Wanita dan Hijab demikian: Semua ahli tafsir sependapat bahwa ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di Madinah yang berhubungan dengan ayat ini. Ada sekelompok orang munafik dan orang yang berpenyakit dalam hatinya. Mereka mengganggu masyarakat, khususnya budak-budak wanita dan juga lain-lainnya. Lalu bila mereka ditanya mengapa mereka melakukan ini, mereka mengatakan, "kami sangka mereka itu budak wanita. Budak wanita termasuk yang dikecualikan. la tidak perlu mengenakan penutup di hadapan laki-laki yang bukan muhrim, dan bila mengenakan pakaian luar, ia tidak mengenakannya sampai menutupi rambutnya.
Dalam surat An-Nur (31) disebutkan bahwa kaum wanita mukmin diperbolehkan memperlihatkan auratnya hanya kepada orang-orang tertentu dari kerabatnya. Berikut keterangannya: Terjemah: "Cocok dengan kodratnya, dan pada saat yang sama, menjaganya dari apapun
yang dapat menyelewengkan atau merusak kodratnya." Hamudah Abdalati, Islam in Focus (Riyadh:
One Seeking Mercy of Allah, tt) h. 111 Artinya, "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau Putera Putera mereka, atau Putera Putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau Putera Putera saudara lelaki mereka, atau Putera Putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."
Sebagian besar ulama sepakat bahwa perintah memakai jilbab adalah wajib, hanya saja mereka berbeda pendapat soal batasan-batasan bagian tubuh yang hams ditutup wanita dengan jilbab itu. Ada yang melihat seluruh tubuh wanita adalah aurat dan karena itu—kecuali mata—seluruhnya hams ditutup. Ada juga yang berpendapat bahwa aurat wanita dikecualikan pada wajah dan telapak tangan dan karena itu mereka tidak perlu menggunakan cadar.
Karena itu, pada prakteknya, di Indonesia pada masa kini, ada sebagian muslimah berjilbab mengikuti mode pakaian yang trend—seperti yang ditampilkan Zaskya Adya Mecca di televisi, ada yang hanya menutup normal sampai ke dada saja, ada yang menutup tubuh dengan gamis dan jilbab yang lebar—yang populer disebut "jilbaber," ada juga yang dengan ketat sampai menutup wajahnya dengan cadar.
Keberagaman pemakaian jilbab di Indonesia terjadi karena Islam sudah sedemikian mengakar dengan kultur bangsa Indonesia, sehingga agama dan tradisi menjadi ibarat dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Namun perbedaan sudut pandang dan metodologi dalam memahami Islam membuat berbagai kelompok dalam masyarakat di Indonesia berbeda-beda satu sama lain dalam memakai jilbab. Perbedaan pada mode jilbab seperti pada beberapa model di atas mungkin sudah lazim ditemukan jauh sebelum masyarakat Indonesia merdeka. Tetapi model-model jilbab dengan mengenakan cadar (penutup wajah) agaknya bam berkembang sejak beberapa dekade ke belakang, ketika gelombang modernisme dan pembahasan melanda berbagai masyarakat Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Baik yang berpihak pada pemakaian. cadar maupun yang tidak, keduanya berpegang kepada Al-Quran dan Hadits dengan ijtihad yang sangat hati-hati. Muthahari menganalisis polemik cadar ini sebagai berikut:20
Dalam sejarah Islam sudah biasa wanita muslimah keluar rumah dengan menggunakan jilbab dan cadar nya. Karena itu, hukum menggunakan cadar adalah wajib berdasarkan sumber sejarah. Bertentangan dengan pendapat ini, sebagian ulama melihat bahwa wanita yang menggunakan cadar dalam sejarah adalah bangsa-bangsa non-Arab yang memeluk Islam. Mereka masih meneruskan tradisi lamanya menggunakan cadar. Hal ini merupakan fakta sejarah bahwa wanita Romawi dan Persia menutup wajahnya dengan cadar. Karena itu, sumber sejarah juga dapat membuktikan bahwa cadar bukanlah tradisi Islam yang perlu ditiru.21
Selain berdasarkan bukti sejarah, polemik cadar juga didasarkan atas penggunaan qias. Dalam islam, segala sesuatu yang dapat menodai 'iffah (harga diri) serta kesucian adalah dilarang. menutup rambut, dada, dan lekuk-lekuk tubuh wanita dilarang karena dapat memancing syahwat, maka sangat tidak masuk akal jika menutup wajah tidak diwajibkan. Karena wajah dapat memancing syahwat, maka menggunakan cadar menjadi wajib. Bertentangan dengan pendapat tersebut, sebagian ulama melihat wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk beraktivitas, seperti pria—secara sosial, budaya, atau politik. Jika wanita muslimah wajib memakai cadar, otomatis kesempatan yang diberikan kepada wanita untuk beraktivitas menjadi semakin sempit dan cenderung membelenggu.22
Berdasarkan riwayat hadis, dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Rasulullah saw pernah berjalan di belakang al-Fadhl bin Abbas dalam perjalanannya yang melelahkan. Al-Fadhl adalah seorang lelaki tampan. Lalu nabi Muhammad berhenti di tengah masyarakat dan menyampaikan suatu fatwa. Saat itu datanglah seorang wanita cantik dari Khats'am menanyakan sesuatu kepada RasuluUah saw. mata al-Fadhl terus memandangi wanita itu dan mengagumi kecantikannya. Maka nabi saw menoleh kepada Al-Fadhl yang sedang memandangi wanita itu, lalu beliau julurkan tangannya ke dagu Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari pandangannya kepada wanita tersebut.. Hadis tentang Khitbah (pinangan) Dari Abu Hurairah: "Aku pernah berada di sisi Nabi, lalu seorang laki-laki mendatanginya memberi kabar bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar. Maka rasulullah menoleh kepadanya, 'sudahkah engkau melihat dia?' laki-laki itu menjawab, 'belum.' Beliau berkata: 'pergi dan lihatlah ia, karena sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu.'" Dari Mughirah bin Syu'bah bahwa ketika dia akan melamar seorang wanita, maka nabi saw berkata, "lihatlah dia, karena sesungguhnya itu sangat penting untuk kelanggengan kalian berdua." (Lihat Jami' Al-Tirmidzi h. 175)
Melihat wajah wanita ketika akan dinikahi hukumnya boleh. Maka dengan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik), melihat wajah wanita ketika tidak punya maksud menikahi adalah haram. Logikanya, dibolehkan melihat wajah wanita ketika meminang adalah karena sebelumnya dilarang melihat.25
Berseberangan dengan pendapat di atas, dengan menggunakan logika para ulama mengemukakan bahwa jika wanita wajib memakai cadar, maka bagaimana mungkin para lelaki muslim dilarang untuk menahan pandangannya terhadap perempuan? (seperti yang diperintahkan dalam surat Al-Nur ayat 30).
Sebagai tambahan, sebagian ulama berpendapat bahwa "Melihat wanita" ketika ingin melamarnya berbeda dengan "melihat" yang biasanya. Dibolehkan melihat wanita dalam khitbah adalah lebih dari sekadar melihat.26
Abdullah bin Sinan berkata: "saya pernah katakan kepada Abu Abdillah as (Ja'far Shadiq): 'seorang lelaki ingin menikahi wanita. Bolehkah ia melihat rambutnya?' beliau menjawab: 'ya. Jika ia benar-benar ingin membelinya dengan harga termahal."' (lihat Al-Wasa'il jilid III hal. 12 dan kitab Al-Tahdzib Jilid VII hal. 435)27
Dari Rajul, dari Abu Abdillah as. Berkata: "saya pernah katakan kepadanya, 'bolehkah seorang lelaki melihat seorang wanita yang ingin dinikahinya, lalu melihat rambutnya dan keindahan tubuhnya?' dia menjawab, 'hal itu tidak mengapa jika tidak bermaksud menikmati.'"(Lihat kitab Al-Kafi jilid V hal. 365 dan Al-Wasa'il jilid III hal. II)28
Memang, di luar konteks khitbah, melihat wajah wanita dilarang, tapi dalam arti dilarang menikmati nya. Maflium mukhalafah dari hadis khitbah hanya menegaskan larangan melihat wajah wanita, bukan perintah menutup wajah wanita dengan cadar.
Terakhir, argumentasi dari polemik cadar ini didasarkan atas ayat Al-Quran. Al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf dan tafsir Al-Shafi, mengatakan, bahwa kata "menjulurkan jilbab nya ke seluruh tubuh mereka" dalam ayat jilbab (Al-Nur: 31)) di atas adalah kiasan dari menutup wajah dengan jilbab.29
Selain itu, dalam ayat jilbab (An-Nur: 31) disebutkan, "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." perhiasan