SKRIPSI HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUMAH SAKIT

SKRIPSI HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUMAH SAKIT

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0015-KEPERAWATAN) : SKRIPSI HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUMAH SAKIT


BAB II
KAJIAN TEORI 

A. Budaya Organisasi 
1. Pengertian Budaya Organisasi 
Robbin (2007) mendefenisikan bahwa budaya organisasi adalah sebagai  suatu sistem makna yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan  organisasi tersebut dengan organisasi lain. Robbin mendefenisikan budaya  organisasi sebagai sebuah sistem pemaknaan bersama yang dibentuk oleh anggotanya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Riani (2011)  menjelaskan bahwa budaya organisasi merupakan sistem dari shared value,  keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling  berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. 
Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang  mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. 
Budaya organisasi adalah simbol dan interaksi unik pada setiap organisasi.  Hal ini meliputi cara berpikir, berperilaku, berkeyakinan yang sama-sama dimiliki  oleh anggota unit (Marquis, 2010). Budaya organisasi tampak dalam dimensi  aktivitas tugas dan aktivitas pemeliharaan (dinamika) kelompok/organisasi yang  berupa penggunaan bahasa, pengambilan keputusan, teknologi yang digunakan,  dan praktik kerja sehari-hari (Diklat DIKNAS, 2007). 
Druicker (dalam Tika, 2006) menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah pokok  penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya  dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan  kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami,  memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah. 
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka budaya organisasi adalah  aturan kerja yang ada di organisasi yang akan menjadi pegangan dari sumber daya  manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku dalam  organisasi. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam perilaku dan sikap mereka sehari hari selama mereka berada dalam organisasi tersebut dan sewaktu mewakili  organisasi berhadapan dengan pihak luar. Dengan kata budaya organisasi  mencerminkan cara staf melakukan sesuatu (membuat keputusan, melayani pasien, dll) yang dapat dilihat kasat mata dan dirasakan terutama oleh orang diluar  organisasi tersebut. Dapat juga dikatakan budaya organisasi adalah pola terpadu  perilaku manusia di dalam organisasi termasuk pemikiran-pemikiran, tindakan tindakan, pembicaraan-pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada generasi  berikutnya (Muluk, 1999). 
Organisasi yang berorientasi pada pelayanan kesehatan memerlukan budaya  dukungan (Support Culture) dan budaya peran (Role Culture) sebagai cara  meningkatkan motivasi dan kepuasan anggota organisasi. Budaya organisasi yang  efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam. Di rumah sakit  yang berbudaya demikian, dapat dipastikan hampir semua individunya menganut  nilai-nilai yang seragam dan konsisten. 

2. Fungsi Budaya Organisasi 
 Budaya organisasi menurut Tika (2006) memiliki beberapa fungsi yaitu :
(1) sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok lain, 
(2) sebagai perekat bagi staf dalam suatu organisasi, 
(3) mempromosikan stabilitas  sistem sosial, 
(4) sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk  sikap serta perilaku staf, 
(5) sebagai integrator, (6)membentuk perilaku bagi para  staf, 
(7) sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi, 
(8) sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan, 
(9) sebagai alat  komunikasi, 
(10)sebagai penghambat berinovasi. 
Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa  fungsi dalam organisasi yaitu memberi batasan untuk mendefinisikan peran  sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antar organisasi, memberikan  pengertian identitas terhadap sesuatu yang lebih besar dibandingkan minat  anggota organisasi secara perorangan, menunjukkan stabilitas sistem sosial,  memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan  pedoman untuk membentuk sikap dan perilaku anggota organisasi dan pada  akhirnya budaya orgnisasi dapat membentuk pola pikir dan perilaku anggota  organisasi. 
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik  organisasi maupun para anggotanya. Manfaat tersebut adalah memberikan  pedoman bagi tindakan pengambilan keputusan, mempertinggi komitmen  organisasi, menambah perilaku konsistensi perilaku para anggota organisasi dan  mengurangi keraguan para anggota orgnisasi, karena budaya memberitahukan pada mereka sesuatu dilakukan dan dianggap penting (Mangkunegara, 2005). 

3. Pembentukan Budaya Organisasi 
Robbins (2001) berpendapat bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk pembentukan budaya organisasi. Sekali terbentuk, budaya itu cenderung berakar,  sehingga sukar bagi para manager untuk mengubahnya. 
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa budaya organisasi diturunkan dari  filsafat pendiri, kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang  digunakan dalam merekrut/memperkerjakan anggota organisasi. Tindakan dari  manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima  baik dan tidak. Tingkat kesuksesan dalam mensosialisasikan budaya organisasi   tergantung pada kecocokan nilai-nilai staf baru dengan nilai-nilai organisasi dalam  proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi. 

4. Dimensi Budaya Organisasi 
Robbins (2007) menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah sebuah proses  deskripsi mengenai keadaan organisasi. Penelitian mengenai budaya organisasi  berfokus pada staf mampu merasakan budaya organisasi, terlepas dari mereka  suka atau tidak suka pada budaya organisasi tersebut. Budaya organisasi dapat dirasakan keberadaannya melalui perilaku anggota dalam organisasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pola dan cara-cara berpikir, merasa, menanggapi dan menuntun para anggota organisasi dalam mengambil keputusan maupun kegiatan kegiatan lainnya dalam organisasi.
Robbins (2007) menjelaskan bahwa pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari dimensi budaya organisasi. Dimensi budaya organisasi tidak ditetapkan  secara mudah melainkan berdasarkan studi empiris. Studi empiris ini biasanya  tidak dilakukan menggunakan sampel kecil melainkan menggunakan sampel besar  yang melibatkan beberapa organisasi. Hasilnya tidak ditemukan dimensi budaya  yang berlaku secara umum. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa memahami budaya organisasi melalui dimensi-dimensinya dapat menggambarkan budaya organisasi dari suatu organisasi tersebut. Banyak ahli yang menguraikan dimensidimensi dalam budaya organisasi salah satunya adalah Denison. Denison and Mirsha (1995) dalam Casida (2007) mengaikat budaya  organisasi dengan efektifitas organisasi. efektifitas organisasi tersebut dipengaruhi oleh empat faktor di dalam budaya organisasi yaitu keterlibatan (Involvement), konsistensi (consistency), adapatasi (Adadptation), Misi (Mision). 
1. Keterlibatan (involvement) 
Keterlibatan merupakan kunci yang tampak dan dapat dirasakan dalam setiap  budaya organisasi (Sutrisno, 2010). Keterlibatan merupakan dimensi budaya  organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi staf dalam proses pengambilan  keputusan (Sobirin, 2007). Denison (2000) dalam Casida (2007) menyatakan,  keterlibatan adalah suatu perlakuan yang membuat staf meras diikutsertakan 
dalam kegiatan organisasi sehingga membuat staf bertanggung jawab tentang  tindakan yang dilakukannya. Keterlibatan (involvement) adalah kebebasan atau  independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. 
Keterlibatan tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi  sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan  organisasi/perusahaan. Wesemann (2001) dalam Zwan (2006) menjelaskan bahwa keterlibatan mencakup kemampuan organisasi untuk membangun professional dan administrasi staf. Cho (2006) menyatakan bahwa staf yang memiliki perasaan  terlibat dalam organisasi, mereka akan merasa bagian di dalam organisasi dan  pendapat serta tindakan yang mereka lakukan akan terhubung langsung dengan  tujuan organisasi. Keterlibatan menciptakan partisipasi dan komitmen staf terhadap organisasi. Staf yang terlibat di dalam organisasi maka akan meningkat  kinerjanya (Denison (1990) dalam Zwan (2006)).

SKRIPSI HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN DIARE DENGAN DEHIDRASI DAN TANPA DEHIDRASI PADA BALITA YANG DATANG DI PUSKESMAS

SKRIPSI HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN DIARE DENGAN DEHIDRASI DAN TANPA DEHIDRASI PADA BALITA YANG DATANG DI PUSKESMAS

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0014-KEPERAWATAN) : SKRIPSI HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN DIARE DENGAN DEHIDRASI DAN TANPA DEHIDRASI PADA BALITA YANG DATANG DI PUSKESMAS


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1. Diare
a. Pengertian
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari 2 minggu (Subagyo B dan Nurtjahjo BS, 2010).
Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare kronis, yang keduanya dapat disebabkan karena infeksi dan non infeksi (Subagyo B dan Nurtjahjo BS, 2010).

b. Insidensi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Negara berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia dibawah 5 tahun. Di dunia terdapat 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Dari 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare, sedangkan di Indonesia, dari hasil Riskesdas 2007 didapatkan bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi terbanyak untuk golongan 1 -4 tahun yaitu 25,2% dibanding pneumonia 15,5%. Dari survei kesehatan demografi Indonesia (1991 ) menyatakan bahwa satu dari sepuluh balita menderita diare dalam dua minggu terakhir, selain itu setiap tahun di Indonesia terjadi 150 kejadian luar biasa dengan jumlah kasus sekitar 20.000 orang dan angka kematian sekitar 2 %. Angka kesakitan diare diperkirakan antara 120 - 130 kejadian per 1000 penduduk, 60% kejadian tersebut terjadi pada Balita (Depkes, 1993)

c. Etiologi
Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi. Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi non inflammatory dan inflammatory. Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan oleh bakteri, sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin (Subagyo B dan Nurtjahjo BS, 2010).
Beberapa mikroorganisme penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia 

d. Faktor-faktor risiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal - oral yaitu: (Subagyo B dan Nurtjahjo BS, 2010). melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen,
• kontak langsung tangan dengan penderita atau barang- barang yang telah tercemar tinja penderita
• tidak langsung melalui lalat Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain (Subagyo B dan Nurtjahjo BS, 2010).
• Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 -6 bulan pertama kehidupan bayi.
• Tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan lingkungan (MCK) dan pribadi yang buruk.
• Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik.
1) Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, insiden tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak (Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).
2) Infeksi asimptomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain ( Tjitra E,1994 )
3) Faktor musim
Di daerah tropik termasuk (Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan (Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010)
4) Epidemi dan pandemik
Vibrio cholera 0.1 dan shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemik dan pandemik yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia. Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh Vibrio cholera 1.0 biotipe Eltor telah menyebar ke negara - negara di afrika, Amerika latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah di Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1 menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, dikenal strain baru Vibrio Cholera 0139 yang menyebabkan epidemik di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah (Widayana IW, 2003) 5. Patofisiologi
Secara umum diare disebabkan oleh 2 hal, yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi. Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling tumpah tindih . Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi, dan imunologi (Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).
a. Gangguan absorbsi atau diare osmotik.
Secara umum terjadi penurunan fungsi absorbsi oleh berbagai sebab seperti celiac spure atau karena :
1) Mengkonsumsi magnesium klorida
2) Defisiensi enzim sukrase - isomaltase adanya defisiensi laktase defisien pada anak yang lebih besar.
Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmosis antara lumen usus halus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeabel, air akan mengalir kearah lumen jejunum, sehingga air akan banyak terkumpul dalam lumen usus. Natrium (Na) akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorbsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak bisa diserap seperti magnesium, glukosa, sukrosa, laktosa, maltosa disegmen ileum dan melebihi kemampuan absorbsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan - bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama (Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).
b. Malabsoprsi
Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi vili. Lebih lanjut mikroorganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, enter oadherent E.coli) menyebabkan malabsorbsi nutrisi dengan mengubah fisiologi membran brush border tanpa merusak susunan anatomi mukosa. Hal ini dapat terjadi pada keadaan: (Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).
• Maldigesti protein lengkap, karbohidrat dan trigliserida diakibatkan insufisiensi eksokrin pankreas.
• Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat, trigliserida,
• Pemberian obat pencahar; laktulosa, pemberian magnesium hydroxide (misalnya susu magnesium).
• Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat,
• Pemberian makan atau minum yang tinggi karbohirat, setelah mengalami diare menyebabkan kekambuhan diare.
c. Gangguan sekresi atau diare sekretorik
1) Hiperplasia cripta
Teoritis adanya hyperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atropi vili (Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso, 2010)
2) Luminal secretagogeus
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membrane protein sehingga menyebabkan perubahan saluran ion, yang akan menyebabkan Cl di kripta keluar. Disisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl .
Bahan laksatif dapat menyebabkan efek bervariasi pada aktifitas NaK - ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler, meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal . Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak ( Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010)
3) Blood - Borne Secretagogues.
Diare sekretorik pada anak - anak di negara berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E.coli atau cholera. Berbeda dengan negara berkembang, sedangkan di negara maju diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada, kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan oleh neoplasma pankreas, sel non- beta yang menghasilkan VIP, polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya: sindroma watery diarrhea hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk jarang. Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada villus dan kripta, sehingga semua enterosit terlibat dan dapat terjadi pada mukosa usus yang normal ( Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).
4) Diare akibat gangguan peristatik
Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh banyak yang menyebabkan diare. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain ( Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).
5) Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan lymphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan sering kali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.
Bakteri patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktifkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorbsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Sebagai contoh, C. difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein, Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V. cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton (Subagyo B & Nurtjahjo BS, 2010).

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0013-KEPERAWATAN) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi dan Histologi Payudara
Payudara terletak di fascia superficialis yang meliputi dinding anterior thorak. Pada perempuan setelah pubertas payudara membesar dan dianggap berbentuk seperti setengah bulat. Pada wanita dewasa muda payudara terletak diatas costa II sampai VI dan terbentang dari pinggir lateral sternum sampai linea axillaris media. Pinggir lateral atas payudara meluas sampai sekitar pinggir bawah Payudara tersusun atas beberapa bagian yaitu :
Pada bagian luar terdapat papilla mammae (puting susu) berbentuk kerucut dan mungkin warnanya merah muda, coklat muda atau coklat tua. Bagian paling luar papilla ini ditutupi epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk yang berhubungan langsung dengan kulit di dekatnya (Junqueira, 2007). Daerah berwarna gelap yang mengelilingi puting susu disebut areola. Pada areola terdapat kelenjar-kelenjar kecil yang disebut kelenjar montagomery, menghasilkan cairan berminyak untuk menjaga kesehatan kulit disekitar areola (Roesli, 2000).
Payudara tersusun atas lobulus-lobulus dimana setiap lobulus terdiri dari sekelompok alveoli berbentuk kantong, tersusun atas epitel yang aktif mensekresikan  ASI selama menyusui. ASI yang dihasilkan akan dialirkan melalui sistem duktus laktiferus menuju sinus laktiferus. Sinus laktiferus merupakan saluran ASI melebar dan membentuk kantung disekitar areola yang berfungsi untuk menyimpan ASI (Sherwood, 2001).
Jaringan lemak di sekitar alveoli dan duktus laktiferus menentukan besar kecilnya ukuran payudara. Payudara besar atau kecil memiliki alveoli dan sinus laktiferus yang sama, sehingga dapat menghasilkan ASI sama banyak. Disekeliling alveoli juga terdapat jaringan otot polos yang akan berkontraksi dan memeras keluar ASI. Keberadaan hormon oksitosin menyebabkan otot polos tersebut berkontraksi (Soetjiningsih, 1997).

2. Fisiologi Menyusui
a. Air susu ibu dan hormon prolaktin
Setiap kali bayi menghisap payudara akan merangsang ujung saraf sensorik di sekitar payudara sehingga merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menghasilkan hormon prolaktin. Hormon prolaktin akan menyebabkan sel sekretorik di alveoli menghasilkan ASI (Sherwood, 2001).
Dari gambar di atas setelah hormon prolaktin dihasilkan, hormon tersebut berada di peredaran darah selama 30 menit setelah penghisapan puting. Hormon prolaktin dapat merangsang payudara menghasikan ASI untuk minum berikutnya. Sedangkan untuk minum yang sekarang, bayi mengambil ASI yang sudah ada (IDAI, 2008).
Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari sinus laktiferus, makin banyak produksi ASI. Makin sering bayi menyusu makin banyak ASI yang diproduksi. Sebaliknya makin jarang bayi menyusu, makin sedikit payudara menghasilkan ASI. Jika bayi berhenti menghisap maka payudara akan berhenti menghasikan ASI. Prolaktin umumnya dihasilkan pada malam hari, sehingga menyusui pada malam hari dapat mempertahankan produksi ASI. Hormon prolaktin juga akan menekan ovulasi, sehingga menyusui secara eksklusif akan memperlambat kembalinya fungsi kesuburan dan menstruasi. Oleh karena itu menyusui pada malam hari penting untuk menunda kehamilan (Soetjiningsih, 1997)
b. Air susu ibu dan hormon oksitosin
Hormon oksitosin diproduksi oleh bagian posterior kelenjar hipofisis. Hormon tersebut dihasilkan bila ujung saraf sensorik di sekitar payudara dirangsang oleh isapan bayi. Oksitosin akan merangsang kontraksi otot di sekeliling alveoli dan memeras ASI keluar dari alveoli ke sinus laktiferus yang dapat dikeluarkan oleh bayi dan atau ibunya (Sherwood, 2001).
Oksitosin dibentuk lebih cepat dibandingkan prolaktin. Keadaan ini menyebabkan ASI di payudara akan mengalir untuk dihisap. Oksitosin sudah mulai bekerja saat ibu berkeinginan untuk menyusui (sebelum bayi menghisap). Jika reflek oksitosin tidak bekerja dengan baik, maka bayi mengalami kesulitan untuk mendapatkan ASI, padahal payudara tetap menghasilkan ASI namun tidak mengalir keluar (IDAI, 2008). Efek penting oksitosin lainnya adalah menyebabkan uterus berkontraksi setelah melahirkan. Hal ini membantu mengurangi perdarahan, walapun kadang mengakibatkan nyeri. Nyeri diakibatkan karena adanya kontraksi uterus yang berfungsi membantu involusi uterus (Cunningham, 2002).
Keadaan yang dapat meningkatkan hormon oksitosin yaitu perasaan dan curahan kasih sayang kepada bayi, celotehan atau tangisan bayi, dukungan ayah dalam pengasuhan bayi seperti menggendong bayi ke ibu saat akan disusui atau disendawakan, mengganti popok dan memandikan bayi, suami juga dapat membantu pekerjaan rumah tangga (Roesli, 2000).
Beberapa keadaan yang dapat mengurangi produksi hormon oksitosin yaitu rasa cemas terhadap perubahan bentuk payudara dan bentuk tubuh, meninggalkan bayi karena harus bekerja, ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi, rasa cemas, sedih, marah, kesal, atau bingung, dan rasa sakit terutama saat menyusui (Depkes RI 2007).
Tanda dan sensasi reflek oksitosin aktif antara lain sensasi diperah di dalam payudara sesaat sebelum menyusui atau pada waktu proses menyusui berlangsung, ASI mengalir dari payudara bila ibu memikirkan bayinya, atau mendengar bayinya menangis, ASI menetes dari payudara sebelah bila bayi menyusu pada payudara yang lainnya, ASI memancar halus ketika bayi melepas payudara pada waktu menyusui, Adanya nyeri yang berasal dari kontraksi rahim, kadang diiringi keluarnya darah dari vagina selama menyusui di minggu pertama, Hisapan yang lambat, dalam dan tegukan bayi menunjukan bahwa ASI mengalir ke dalam mulut bayi (Kristiyanasari, 2009).

3. Air Susu Ibu (ASI) 
a. Pengertian
ASI manusia adalah suatu suspensi lemak dan protein dalam suatu larutan karbohidrat-mineral. Seorang ibu yang menyusui dapat dengan mudah memproduksi 600 ml ASI perhari (Cunningham, 2002).
b. Komposisi ASI
Air susu ibu (ASI) mengandung makronutrien yaitu karbohidrat, protein dan lemak dan mikronutrien adalah vitamin dan mineral. Air susu ibu hampir 90% terdiri dari air. Volume dan komposisi nutrient ASI berbeda untuk setiap ibu bergantung dari kebutuhan bayi. Perbedaan volume dan komposisi diatas juga terlihat pada masa menyusui (kolostrum, ASI transisi, ASI matang, dan ASI pada penyapihan) (IDAI, 2008).
1) Komposisi ASI menurut stadium laktasi adalah :
i. Kolostrum
Kolostrum adalah ASI khusus berwarna kekuningan, agak kental dan diproduksi dalam beberapa hari setelah persalinan. Sekresi kolostrum berlangsung selama kurang lebih 5 hari, dan mengalami perubahan menjadi ASI matur 4 minggu setelahnya (Cunningham, 2002). Dibandingkan dengan ASI matur, kolostrum mengandung lebih banyak mineral dan protein yang sebagian besar terdiri dari globulin, tetapi lebih sedikit mengandung gula dan lemak. Antibodi yang terdapat pada kolostrum, dan kandungan immunoglobulin A-nya dapat memberikan perlindungan pada bayi baru lahir untuk melawan pathogen enterik, kolostrum juga memudahkan perjalanan kotoran pertama bayi yang disebut mekonium. Kolostrum membantu proses maturasi saluran cerna sehingga dapat mencegah alergi dan intoleransi makanan. Total energi kolostrum 58 Kal/100 ml kolostrum. Volume kolostrum sekitar 150-300 ml/24 jam (Soetjiningsih, 1997).
ii. ASI transisi
ASI transisi merupakan ASI peralihan dari kolostrum menjadi ASI matur. ASI transisi ini disekresi dari hari ke-4 sampai hari ke-10 dari masa laktasi, Kadar protein dalam ASI transisi semakin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak semakin tinggi. Volume ASI transisi akan semakin meningkat (Kristiyanasari, 2009). 
iii. ASI matur
ASI matur merupakan ASI yang disekresi pada hari ke-10 dan seterusnya dimana komposisinya relatif konstan. Pada ibu yang sehat dimana produksi ASI cukup, ASI ini merupakan makanan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan. ASI matur merupakan suatu cairan berwarna putih kekuningan yang diakibatkan warna dari garam Ca-caseinat, riboflavin, dan karoten yang terdapat di dalamnya. ASI matur ini tidak akan menggumpal jika dipanaskan dan terdapat beberapa antimikrobial, antara lain: antibodi terhadap bakteri dan virus, sel (fagosit granulosit, makrofag dan limfosit T), enzim, protein (laktoferin, B12 binding protein), faktor resisten terhadap stafilokokus, komplemen, interferron producting cell, dan hormon-hormon (Soetjiningsih, 1997).
c. Komposisi ASI secara Umum :
i. Karbohidrat
Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan berfungsi sebagai salah satu sumber energi bagi otak. Kadar laktosa dalam ASI dua kali lipat dibandingkan dengan kadar laktosa dalam susu formula. Penyerapan laktosa ASI lebih baik dibandingkan laktosa susu formula atau susu sapi sehingga angka kejadian diare intoleransi laktosa pada pemberian ASI lebih sedikit (IDAI, 2008).
ii. Protein
Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung protein casein yang lebih sulit dicerna oleh usus bayi. Disamping itu, beta laktoglobulin yaitu fraksi dari protein whey yang banyak terdapat di protein susu sapi dan dapat menyebabkan alergi tidak terdapat dalam ASI. Kualitas protein ASI lebih baik dibanding susu sapi. ASI mempunyai jenis asam amino lebih lengkap dibandingkan susu sapi. Salah satu contohnya adalah taurin. Taurin diperkirakan mempunyai peranan pada perkembangan otak karena protein ini ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada jaringan otak yang sedang berkembang. Kadar taurin dalam susu formula hanya sedikit dibandingkan susu sapi. Jumlah dan kualitas nukleutida ASI lebih banyak dan lebih bagus dibanding susu sapi. Nukleutida ini memiliki peranan dalam meningkatkan pertumbuhan dan kematangan usus, merangsang pertumbuhan bakteri baik dalam usus dan meningkatkan penyerapan besi dan daya tahan tubuh (Soetjiningsih, 1997).
iii. Lemak
Kadar lemak dalam ASI lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi dan susu formula. Kadar lemak yang tinggi ini dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa bayi. Lemak omega 3 dan omega 6 yang berperan dalam perkembangan otak bayi banyak ditemukan dalam ASI. Disamping itu ASI juga banyak mengadung asam lemak rantai panjang diantaranya asam dokosaheksanoik (DHA) dan asam arakidonat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan jaringan saraf dan mata. Susu sapi tidak mengandung DHA dan ARA oleh karena itu hampir semua susu formula ditambahkan DHA dan ARA, tetapi DHA dan ARA yang ditambahkan ke dalam susu formula tidak sebaik yang terdapat dalam ASI (IDAI, 2008).
iv. Vitamin
Semua vitamin terkandung dalam ASI manusia, tetapi dalam jumlah bervariasi, dan pemberian makanan pada ibu akan meningkatkan sekresinya (Cunningham,
2002).
v. Mineral
Kadar mineral dalam ASI tidak begitu dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu dan tidak pula dipengaruhi status gizi ibu. Mineral di dalam ASI memiliki kualitas lebih baik dan lebih mudah diserap dibandingkan dengan mineral dalam susu sapi. Mineral utama yang terdapat dalam ASI adalah kalsium yang berfungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan tulang, transmisi jaringan saraf dan faktor pembekuan darah. Kandungan zat besi baik dalam ASI maupun susu formula keduanya rendah serta bervariasi, namun zat besi dalam ASI lebih mudah diserap. Kandungan mineral zink ASI jauh lebih rendah dari susu formula, tetapi tingkat penyerapannya lebih baik. Penyerapan zink dalam ASI, susu sapi, dan susu formula berturut-turut 60%, 43-50%,, dan 27-32%. Mineral dalam ASI yang kadarnya lebih tinggi dibanding susu formula adalah selenium, yang sangat dibutuhkan pada saat pertumbuhan anak cepat (Soetjiningsih, 1997).

4. Keunggulan ASI dan Manfaat Menyusui
Keunggulan dan manfaat menyusui dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: aspek gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, neurologis, ekonomis dan aspek penundaan kehamilan (Kristiyanasari, 2009).
a. Manfaat ASI Bagi Bayi.
i. Manfaat Kolostrum
Beberapa manfaat kolostrum untuk bayi diantaranya kolostrum mengandung zat kekebalan terutama IgA untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare, mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan mengandung karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Membantu mengeluarkan mekonium yaitu kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan, jumlah kolostrum yang bervariasi walaupun sedikit namun cukup untuk memenuhi gizi bayi (Soetjiningsih, 1997).
ii. Aspek Psikologik
Saat proses menyusui terjadi kontak langsung antara ibu dan bayi sehingga timbul ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi. Bayi akan merasa aman dan puas karena bayi merasakan kehangatan tubuh ibu dan mendengar denyut jantung ibu yang sudah dikenal sejak masih dalam rahim. Adanya interaksi tersebut penting untuk pertumbuhan dan perkembangan psikologik bayi (Kristiyanasari, 2009).
iii. Aspek Kecerdasan
Interaksi ibu-bayi dan kandungan gizi ASI sangat dibutuhkan untuk perkembangan sistem syaraf otak yang dapat meningkatkan kecerdasan bayi. Penelitian menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI secara eksklusif memiliki IQ point 4.3 point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4-6 point lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8.3 point lebih tinggi pada usia 8.5 tahun, dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI (IDAI, 2008).
b. Manfaat ASI Bagi Ibu
i. Aspek kontrasepsi
Dengan menyusui secara eksklusif dapat menunda haid dan kehamilan. Penghisapan puting payudara akan menghambat sekresi LH dan FSH. Dengan demikian menyusui mencegah ovulasi dan berfungsi sebagai cara mencegah kehamilan walaupun tidak 100% efektif sebagai alat kontrasepsi (Sherwood, 2001).
ii. Aspek Kesehatan Ibu
Isapan bayi pada puting ibu merangsang keluarnya hormon oksitosin yang membantu involusi uterus dan mencegah perdarahan pasca persalinan. Penundaan haid dan pencegahan perdarahan pasca persalinan dapat mengurangai kejadian anemia defisiensi besi. Penelitian membuktikan menyusui bayi secara eksklusif dapat menurunkan angka kejadian kanker payudara dan ovarium sebanyak 25 % (Cunningham, 2002).
iii. Aspek Penurunan Berat Badan
Ibu yang menyusui bayinya secara eksklusif ternyata dapat lebih mudah dan cepat kembali ke berat badan semula seperti sebelum hamil (Roesli, 2000).
c. Manfaat ASI Bagi Keluarga.
Memberikan ASI secara eksklusif dapat menghemat pengeluaran dana keluarga karena keluarga tidak memerlukan dana tambahan untuk membeli susu formula selain itu menyusui sangat praktis. Karena dapat diberikan kapan saja dan dimana saja keluarga tidak perlu menyiapkan air masak, botol, dan dot yang harus dibersihkan terlebih dulu (Kristiyanasari, 2009).
d. Manfaat ASI Bagi Negara.
Adanya faktor protektif dan zat nutrisi yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi baik dan dapat menghindari bayi dan anak dari penyakit infeksi misalnya diare, otitis media, dan infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah sehingga akan menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi selain itu dapat pula menghemat subsidi rumah sakit dan menghemat devisa Negara karena anak yang mendapatkan ASI lebih jarang dirawat di rumah sakit dari pada bayi yang di beri susu formula. Jika semua ibu menyusui diperkirakan dapat menghemat devisa Negara yang seharusnya digunakan untuk membeli susu (Kristiyanasari, 2009).

5. ASI Eksklusif
a. Pengertian
Pemberian ASI eksklusif adalah hanya memberikan air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain sejak lahir hinga bayi berusia enam bulan (MENEGAP, 2007) Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan menyusui eksklusif sejak lahir selama enam bulan pertama hidup anak, dan tetap disusui bersama pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup sampai berusia dua tahun atau lebih.

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN POSYANDU DENGAN KUNJUNGAN IBU YANG MEMPUNYAI BALITA KE POSYANDU

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN POSYANDU DENGAN KUNJUNGAN IBU YANG MEMPUNYAI BALITA KE POSYANDU

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0012-KEPERAWATAN) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN POSYANDU DENGAN KUNJUNGAN IBU YANG MEMPUNYAI BALITA KE POSYANDU


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Posyandu
1. Definisi Posyandu
Posyandu merupakan perpanjangan tangan puskesmas yang memberikan pelayana dan pemantauan kesehatan yang di laksanakan secara terpadu yang di lakukan oleh dan untuk masyarakat. Posyandu sebagai wadah peran serta masyarakat, yang menyelenggarakan sistem pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan kualitas manusia.(UGM, 2007).
Posyandu adalah suatu forum komunikasi, ahli teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis dalam mengembangkan sumberdaya manusia sejakdini. (Effendy, 1998).
2. Tujuan Posyandu
Tujuan pokok dari pos pelayanan terpadu adalah :
a. Untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak
b. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu untuk menurunkan IMR (Infant Mortiliy Rate)
c. Untuk mempercepat penerimaan NKKBS
d. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang peningkatan kemampuan hidup sehat
e. Untuk pendekatan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam usaha meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada penduduk berdasarkan letak geografi
f. Untuk meningkatkan dan pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka alih teknologi untuk swakelola usaha-usaha kesehatan masyarakat.
3. Sasaran Posyandu
a. Bayi berusia kurang dari 1 tahun
b. Anak balita usia 1-5 tahun
c. Ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu nifas
d. Pasangan usia subur
4. Kegiatan Posyandu
a. Panca Krida Posyandu
Lima kegiatan Posyandu, yaitu: Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Imunisasi, Peningkatan gizi dan Penanggulangan gizi.
b. Sapta Krida Posyandu
Tujuh kegiatan Posyandu, yaitu: Kesehatan ibu dan anak, Keluarga Berencana, Imunisasi, Peningkatan gizi, Penanggulangan gizi, Sanitasi dasar, dan Penyediaan obat esensial.
5. Sistem Posyandu
Sistem 5 (lima) meja :
a. Meja 1 (satu) :
1) Pendaftaran
2) Pencatatan bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan pasangan usia subur.
b. Meja 2 (dua) Penimbangan balita, ibu hamil
c. Meja 3 (tiga) Pengisian KMS
d. Meja 4 (empat)
1) Diketahui berat badan anak yang naik atau tidak naik, ibu hamil dengan resiko tinggi, pasangan usia subur yang belum mengikuti KB
2) Penyuluhan kesehatan
3) Pelayanan TMT, oralit, Vitamin A, tablet zat besi, pil unggulan dan kondom
e. Meja 5 (lima)
1) Pemberian imunisasi
2) Pemeriksaan kehamilan
3) Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan
4) Pelayanan kontrasepsi, IUD, dan suntikan.
6. Persyaratan Posyandu
a. Penduduk RW tersebut paling sedikit terdapat 100 orang balita.
b. Terdiri dari 120 kepala keluarga.
c. Disesuaikan dengan kemampuan petugas (bidan desa).
d. Jarak antara kelompok rumah, jumlah KK dalam 1 (satu) tempat atau kelompok tidak terlalu jauh.
7. Lokasi Posyandu
a. Berada ditempat yang mudah didatangi oleh masyarakat
b. Ditentukan oleh masyarakat itu sendiri
c. Dapat merupakan lokasi sendiri
d. Bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan dirumah penduduk, balai desa, pos RT / RW atau pos lainnya
8. Sarana dasar
Timbangan bayi, timbangan dewasa, kartu KMS, obat - obat berupa Vitamin A, tablet dan sirup Fe, kapsul iodium, obat cacing, oralit, ATK.
9. Sumber Dana
Pembiayaan Posyandu berasal dari berbagai sumber, antara lain :
a. Iuran pengguna / pengunjung Posyandu
b. Iuran masyarakat umum dalam bentuk dana sehat
c. Sumbangan / donatur dari perorangan atau kelompok masyarakat
d. Bantuan dari pemerintah terutama pada awal pembembentukan yakni berupa dana stimulan atau bantuan lainnya dalam bentuk sarana dan prasarana Posyandu.
Pengelolaan dana dilakukan oleh pengurus Posyandu. Dana harus disimpan ditempat yang aman dan jika mungkin mendatangkan hasil. Untuk keperluan biaya rutin disediakan kas kecil yang dipegang oleh kader yang ditunjuk. Setiap pemasukan dan pengeluaran harus dicatat dan dikelola secara bertanggung jawab.

B. Pelayanan Posyandu
Pelayanan posyandu meliputi kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular dengan imunisasi, penaggulangan diare dan gizi yang di lakukan dengan penimbangan balita. (http://irc-kmpk.ugm.ac.id, diakses tanggal 24 maret 2008) 
1. Jenis pelayanan yang minimal perlu diberikan kepada anak (balita dan baduta)
a. Penimbangan untuk memantau pertumbuhan anak, perhatian harus diberikan secara khusus terhadap anak yang selama 3 kali penimbangan pertumbuhannya tidak cukup naik sesuai umurnya (lebih rendah dari 200 gram/bulan) dan anak yang pertumbuhannya berada dibawah garis merah KMS.
b. Pemberian makanan pendamping ASI dan Vitamin A 2 (dua) kali setahun.
c. Pemberian PMT untuk anak yang tidak cukup pertumbuhannya (kurang dari 200 gram/bulan) dan anak yang berat badannya berada dibawah garis merah KMS.
d. Memantau atau melakukan pelayanan imunisasi dan tanda – tanda lumpuh layuh.
e. Memantau kejadian ISPA dan Diare, serta melakukan rujukan bila diperlukan.
2. Pelayanan Ibu hamil dan Ibu menyusui
Bagi ibu hamil dan menyusui, pelayanan diberikan oleh tenaga kesehatan baik oleh Bidan Desa maupun tenaga kesehatan dari Puskesmas di meja V (lima) saat Posyandu buka, berupa :
a. Ibu hamil : pemeriksaan kehamilan, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang mengalami KEK, pemberian tablet tambah darah, dan penyuluhan gizi dan kesehatan reproduksi.
b. Ibu menyusui : Pemberian Vitamin A, pemberian makanan tambahan, pelayanan nifas dan pemberian tablet tambah darah, penyuluhan tentang pemenuhan gizi selama menyusui, pemberian ASI eksklusif, perawatan nifas dan perawatan bayi baru lahir, dan pelayanan KB.
3. Pelayanan dengan kunjungan rumah
Kunjungan rumah dilakukan oleh kader dan bila perlu didampingi oleh pendamping dari tenaga kesehatan atau tokoh masyarakat maupun unsur LSM sebelum dan sesudah hari buka Posyandu.
Kegiatan yang dilakukan dalam kunjungan rumah meliputi :
a. Menyampaikan undangan kepada kelompok sasaran agar berkunjung ke Posyandu saat hari buka
b. Mengadakan pemutahiran data bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan pemetaan keluarga mi skin
c. Intensifikasi penyuluhan gizi dan kesehatan dasar
d. Melakukan tindak lanjut temuan pada hari buka Posyandu dengan pemberian PMT
e. Pemantauan status imunisasi dan lumpuh layuh
f. Dengan dukungan tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat melakukan kampanye pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan dari Puskesmas dan dapat membentuk kegiatan kelompok peminat kesehatan ibu dan anak.

C. Kunjungan Ibu-ibu ke Posyandu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kunjungan merupakan aktivitas seseorang dalam perihal mendatangi suatu objek tertentu. Begitu juga dengan ibu-ibu yang rajin mengunjungi posyandu dengan membawa balitanya. Dari segi pelaksanaan pelayanan posyandu dapat berjalan dengan baik apabila jumlah kunjungan yang tinggi. Fungsi posyandu bagi masyarakat desa sangat berarti, hal ini dapat di lihat dari jumlah kunjungan posyandu di desa lebih tinggi di bandingkan jumlah kunjungan posyandu di kota. Pemanfaatan kelengkapan pelayanan mempengaruhi kunjungan di posyandu. Kunjungan posyandu di desa lebih tinggi di bandingkan posyandu di kota.

D. Balita
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah balita.karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangaan anak selanjutnya.pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya.
Perkembangan moral serta dasar dasar kepribadian juga di bentuk pada masa ini.dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana di perlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian. Perkembangan psikososial sangat di pengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dan orang tua nya atau orang dewasa lain nya.. perkembangan anak akan optimal bila interaksi social di di usahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangan nya, bahkan sejak bayi masih dalam kandungan. 
SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0018-EKONPEMB) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 
1. Otonomi Daerah
Pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001 telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Lahirnya Undang-undang ini juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat "given" dan "uniform" (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat didisain dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk "berkreasi", sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung jawab penuh. 

a. Pengertian Otonomi Daerah
Secara etimologis, pengertian otonomi daerah menurut Situmorang (1993) dalam Shinta (2009) berasal dari bahasa Latin, yaitu "autos" yang berarti sendiri dan "nomos" yang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa Inggris, otonomi berasal dari kata "autonomy", dimana "auto" berarti sendiri dan "nomy" sama artinya dengan "nomos" yang berarti aturan atau Undang-undang. Jadi "autonomy" adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu, pengertian lain tentang otonomi ialah sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas insiatif dan kemauan sendiri. Hak yang diperoleh berasal dari pemerintah pusat.
Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut UU No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa otonomi daerah adalah wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No.22 Tahun 1999 berubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 

b. Prinsip Otonomi Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesej ahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan wewenang, tugas dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya hams benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utam dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelengaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c. Pemekaran Daerah sebagai Implikasi Otonomi Daerah
Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak "mendinginkan" euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesej ahteraan daerahnya sendiri-sendiri
Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah berdasar UUNo.5 Tahun 1974 (orde baru).
Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi pemekarannya lebih merupakan inisiatif pemerintah pusa ketimbang partisipasi dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis. Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian dibentuk DOB.
Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.

SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0017-EKONPEMB) : SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah dapat diartikan sebagai upaya mendirikan bagian wilayah tertentu melalui peningkatan kedudukan ,baik status maupun perannanya dalam administrasi pemerintahan Negara,sehingga masing-masing bagian wilayah tersebut menjadi daerah otonomi lainnya. Dengan pengertian tersebut, pemekaran wilayah berarti juga pemberian tanggung jawab pengelolaan pemerintah dan pembangunan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya masing-masing daerah akan berkembang dalam suatu ikatan Negara dan laju pembangunan pada semua wilayah akan semakin seimbang dan serasi (Santoso,2001).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, suatu daerah otonom bertanggung jawab mengatur urusan rumah tangga sendiri. Besar kecilnya tanggung jawab tersebut dapat dilihat dari berbagai indikator seperti aspek kuantitatif yang mencakup jumlah penduduk,wilayah bawahan,luas wilayah dan kelengkapan wilayah, sedangkan dari aspek kualitatif mencakup kondisi geografis , potensi wilayah dan sumber pendapatan.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tersebut menyatakan dengan jelas adanya desentralisasi, artinya diberikan kewenagan dan tanggung jawab kepada badan dan organisasi di daerah untuk melaksanakan pembangunan yang diwujudkan dengan pemberian otonom kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program regional. Dengan otonomi tersebut berarti seluruh pertanggungan pengelolaan dan pembiayaan program-program dilakukan oleh pemerintah dan daerah Konsep baru tentang otonomi daerah dituangkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya direvisi kembali dengan Undang-undang No 32 Tahun 2004, menyebutkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Jaweng (2001) , beberapa alasan dilakukannya perbaikan (revisi) terhadap Undang-undang NO 32 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah ke dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 adalah:;
- Alasan formal, yakni adanya mandat yang diberikan oleh MPR melalui Tap No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.Inti dari ketetapan majelis ini adalah rekomendasi perlunya perintisan awal untuk mulai melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap perlunya UU Pemerintahan Daerah yang berlaku. Diharapkan revisi itu nantinya bisa menciptakan kesesuaian dengan maksud bunyi pasal 18 UUD 1945 dan termasuk merencanakan soal pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi,kabupaten/kota,desa/marga/nagari dan lain sebagainya.
- Alasan ketidaklengkapan materi pengaturan sehingga menjadi potensial problem dalam pelaksanaanya. Undang-undang yang lahir di bawah derasnya tekanan politik yang dialami pemerintahan pada tahun 1999,kenyataannya mengabaikan sejumlah muatan dasar yang mestinya dicakup di dalamnya,atau mengaturnya secara tidak jelas dan tidak utuh sehingga menyebabkan kerancuan makna tafsirannya.Salah satu bukti ketidaklengkapan ini, dan pengaturan atas sebagiannya juga rancu, adalah menyangkut kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pus at dan status propinsi sebagai wilayah administratif (selain sebagai daerah otonom terbatas).
- Alasan inkonsistensi. Dalam hal ini, sejumlah pasal dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999 menunjukkan bahwa antara maksud dan prinsip dasar otonomi dengan terjemahannya dalam rupa pasal-pasal tersebut malah terjadi ketidaksesuaian (asimetris). Ketidaklengkapan dan inkonsistensi semacam itu membawa implikasi yang serius sepanjang perjalanan otonomi daerah sekarang ini, yang menimbulkan efek berlebihan dan kontraproduktif dari maksud awalnya. Hal tersebut paling nampak dalam kelahiran ribuan peraturan daerah (perda) yang belakangan ini ramai diperbincangkan.
Dalam aspek keuangan, suatu daerah otonom harus mampu dan mempunyai rencana penerimaan dan pengeluaran daerah. Daerah otonom yang mandiri lebih mengutamakan sumber-sumber penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah yang kemudian diperkuat oleh pendapatan yang bersumber dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu, sangat tergantung kepada kemampuan aparat pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku (Majidi,1991).

B. Manfaat Pemekaran Wilayah
Dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah, terdapat tiga unsur yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pembangunan dan sangat penting diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Ketiga unsur tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang saling terkait antara satu sama lain dan secara bersama-sama mempengaruhi pembangunan.
Unsur-unsur tersebut adalah :
(a) Daerah, dalam arti tanah, baik yang produktif maupun tidak produktif beserta penggunaanya. Dalam pengertian ini terkait dengan kondisi lokasi (letak),luas dan batas yang merupakan kondisi goegrafis setempat, 
(b) penduduk, yang meliputi jumlah,pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian, 
(c) tata kehidupan, meliputi: pola tata pergaulan warga (Bintarto,1983).
Selanjutnya oleh Bintarto (1983) dijelaskan bahwa ketiga unsur tersebut merupakan faktor dasar yang masih harus dikelola untuk mewujudkan pembangunan.. Dalam pengertian bahwa pembangunan itu sendiri ditentukan oleh usaha manusia dan tata geografi.
Nilai-nilai sosial yang merupakan cara hidup masyarakat, dapat sebagai penghambat dan pendukung pembangunan. Oleh sebab itu, rencana dan pelaksanaan pembangunan harus diselaraskan dengan kondisi sosial masyarakat. sebagai contoh, bagi masyarakat yang masih didominasi sistem ekonomi jasa yang tradisional, akan sulit menerima sistem perekonomian modern yang berhubungan dengan uang (misalnya perkreditan), walaupun diketahui perekonomian modern tersebut sangat berperan menunjang kemajuan masyarakat. Salah satu penghambat dalam hal ini adalah hubungan kekerabatan yang sangat erat yang dapat menghalangi proses pengawasan terhadap penyelewengan.
Peran serta penduduk dalam pembangunan dipengaruhi oleh sikap atau penilaiannya sendiri terhadap pembangunan, dan bukan oleh nilai-nilai atau norma-norma yang hidup melembaga didalam masyarakat. Nilai-nilai bersifat abstrak dan memberikan pengarahan yang normatif, sehingga tidak dapat (sangat sulit) berubah, sedangkan sikap manusia lebih realistis, sehingga mudah berubah (Pearson dalam Soedjito,1987). Juga dijelaskan bahwa sikap merupakan fungsi dari kepentingan, sedangkan kepentingan ditentukan oleh situasi lingkungan.
Sebagaimana pada umumnya, semua orang akan berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan. Melihat hubungan demikian, untuk melaksanakan pembangunan yang harus berorientasi bagi peningkatan kesejahteraan penduduk. Artinya, masyarakat perlu disadarkan bahwa upaya pembangunan yang dilaksanakan adalah demi kesejahteraan masyarakat, dengan demikian masyarakat akan berkepentingan dan selanjutnya dicerminkan dalam sikap mendukung pembangunan. Kepentingan masyarakat pedesaan harus bersifat langsung dan nyata. Dalam hal ini harus bersifat langsung dan nyata, menyentuh aspek-aspek perekonomian masyarakat yang pada umumnya tergolong lemah (warpani, 1984).
Bagi masyarakat pedesaan, adakalanya kesadaran akan pentingnya pembangunan harus diperkenalkan dari luar. Penyadaran tersebut dapat dilakukan melalui pemberian informasi ataupun tekanan-tekanan seperti tekanan ekonomi maupun politik. Dengan demikian masyarakat akan merasakan pembangunan sebagai kepentingannya sendiri sehingga mau melaksanakan pembangunan dengan sukarela tanpa merasa terpaksa. Kemudian agar perubahan-perubahan dirasakan tidak melanggar/menyalahi norma-norma yang hidup dan dipelihara oleh masyarakat,perlu kiranya agar perubahan tersebut didasari suatu prinsip idiologis.Idiologis tersebut akan menjadikan alasan pembenar (justification) terhadap perubahan yang direncanakan (Parson dalam Soedjito,1987) Prinsip idiologis tersebut hidup dalam masyarakat dan pada umumnya sebagai motto hidup masyarakat dan bernegara. Bagi masyarakat Indonesia, Prinsip idiologis tersebut adalah Pancasila.

SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH

SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0016-EKONPEMB) : SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 
1. Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, landasan pemberian otonomi kepada daerah dan pembentukan Daerah Otonom adalah Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 18 yang berbunyi " Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 18, ditetapkan antara lain (Novianto, 2005: 44):
1) Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
2) Di daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka semua menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3) Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu, pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Mengingat bahwa sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan hal yang berarti. Padahal beberapa undang-undang tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti akan tetapi pelaksanaan otonomi daerah belum efektif. Oleh sebab itu, pada era reformasi dibuat undang-undang baru yaitu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah ( Kuncoro, 2004: 6). Pada Tahun 2004 UU Nomor 22 Tahun 1999 disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004.

a. Pengertian Otonomi Daerah
Ketentuan Umum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah , yang melekat pada negara kesatuan maupun pada negara federasi. Di negara kesatuan meliputi segenap wewenang pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti:
1. Hubungan Luar Negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan Keuangan
4. Pertahanan dan Keamanan
Apa yang disebut diatas disebut otonomi luas. Sedangkan di negara federal, negara bagian melaksanakan melaksanakan otonomi yang lebih luas karena negara bagian dapat mengurus peradilan dan keamanan sendiri ( Winarna Surya, 2002:1).
Dalam literatur pemerintahan dikenal 3 sistem otonomi (Winarna Surya, 2002:2) :
1) Otonomi Formil: Yaitu suatu sistem otonomi dimana yang diatur adalah kewenangan-kewenangan pemerintah pusat yang dipegang oleh pemerintah pusat ( seperti: pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, peradilan, dan moneter fiskal dan kewenangan lainnya). Sedangkan kewenangan daerah otonom adalah kewenangan yang diluar kewenangan pemerintah pusat tersebut.
2) Otonomi Materiil: Merupakan kewenangan-kewenangan daerah otonom yang dilimpahkan oleh eksplisit disebutkan satu persatu (biasanya diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom). Sedangkan kewenangan daerah otonom adalah kewenangan yang diluar kewenangan pemerintah pusat tersebut.
3) Otonomi Riil: Merupakan kewenangan-kewenangan daerah otonom yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat, disesuaikan dengan kemampuan nyata dari daerah otonom yang bersangkutan (seperti sumber daya manusia, pendapatan daerah, pendapatan daerah regional bruto (PDRB), dll). Jadi kewenangan daerah otonom yang satu dengan daerah otonom lainnya tidak sama.

b. Prinsip Otonomi Daerah
Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah pusat di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesej ahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesej ahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 168).
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah penting, bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara daerah dengan pemerintah pusat, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 168). 

c. Alasan, Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah
Pengalaman dan pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu (khususnya selama Orde Baru), sistem sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian antara tindakan-tindakan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Hal ini lebih disebabkan oleh luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi, dan bahasa), tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan sistem otonomi daerah atau desentralisasi, diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerahnya masing-masing, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ( Mulyanto, 2007: 10)
Otonomi yang luas serta perimbangan keuangan yang adil, proporsional dan transparan antar tingkat pemerintah menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. Oleh karena itu, MPR sebagai wakil-wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu ketetapan MPR dimaksud adalah ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah untuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara Negara dengan Daerah-Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Konsekuensi dari pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut adalah daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai uraian diatas bahwa otonomi daerah pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur, mengelola rumah tangganya sendiri. Berkaitan dengan hal ini, peranan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah sangat menentukan berhasil tidaknya menciptakan kemandirian yang selalu diharapkan tersebut. (Halim, 2004:21).
Ada dua alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan desentralisasi (Mardiasmo, 2002: 66) adalah:
1. Intervensi Pemerintah Pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.
2. Tuntutan ekonomi muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa mendatang. Pada suatu era dimana globalization cascade semakin meluas pemerintah akan kehilangan kendali pada banyak persoalan seperti perdagangan internasional, informasi dan ide serta transaksi keuangan.

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0015-EKONPEMB) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN


BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 
1. Kemiskinan
Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas. Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Chriswardani Suryawati, 2005). Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan absolut, kondiai dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.
b. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
c. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
b. Kemiskinan buatan, lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak mendapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata. Menurut Nasikun dalam Chriswardani Suryawati (2005), beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
a. Policy induces processes, yaitu proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan, diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi relitanya justru melestarikan.
b. Socio-economic dualism, negara bekas koloni mengalami kemiskinan karena poal produksi kolonial, yaitu petard menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani sekala besar dan berorientasi ekspor.
c. Population growth, prespektif yang didasari oleh teori Malthus, bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deraet hitung.
d. Resaurces management and the environment, adalah unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e. Natural cycle and processes, kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal dilahan kritis, dimana lahan itu jika turun hujan akan terjadi banjir, akan tetapi jika musim kemarau kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
f. The marginalization of woman, peminggiran kaum perempuan karena masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang lebih rendah dari laki-laki.
g. Cultural and ethnic factors, bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya pada pola konsumtif pda petani dan nelayan ketika panenj raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
h. Exploatif inetrmediation, keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir.
i. Inetrnal political fragmentation and civil stratfe, suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
j. Interbational processe, bekerjanya sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi miskin.

2. Ukuran Kemiskinan
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.
Menurut Sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan (Criswardani Suryawati, 2005).
Daerah pedesaan:
a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang. Seseorang yang memiliki pendapatan kurang dari US$ 1 per hari masuk dalam kategori miskin (Criswardani Suryawati, 2005).
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengukur kemiskinan berdasarkan dua kriteria (Criswardani Suryawati, 2005), yaitu:
a) Kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) yaitu keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%, dan berobat ke Puskesmas bila sakit.
b) Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 meter per segi per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH EKSPOR SEKTOR INDUSTRI DAN PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH EKSPOR SEKTOR INDUSTRI DAN PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Saturday, May 28, 2016

(KODE : 0014-EKONPEMB) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH EKSPOR SEKTOR INDUSTRI DAN PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA


BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

A Pertumbuhan Ekonomi
1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika jumlah produksi barang dan jasanya meningkat. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan output dari tahun ke tahun yang merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2003: 10). Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan Hasil pertumbuhan ekonomi tersebut harus dapat dinikmati masyarakat sampai ke lapisan yang paling bawah. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana untuk mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembangunan hasil-hasilnya dengan lebih merata. Bila pembangunan dan hasil-hasilnya tersebut telah terdistribusi secara merata maka daerah - daerah yang miskin, tertinggal, dan tidak produktif akan menjadi produktif yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

2. Perhitungan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Fluktuasi pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun tercermin dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik atau agregat. Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal ukuran PNB (Produk Nasional Bruto) serta Pendapatan Nasioal {National Income).
Untuk menghitung besarnya pendapatan nasional atau regional, maka ada tiga metode pendekatan yang dipakai:
a) Pendekatan Produksi (Production Approach)
Metode ini dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan sektor ekonomi produktif dalam wilayah suatu negara. Yang dipakai hanya nilai tambah bruto saja agar dapat menghindari adanya perhitungan ganda.
b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
Metode ini dihitung dengan menjumlah besarnya total pendapatan atau balas jasa setiap faktor-faktor produksi. 
c) Pendekatan Pengeluaran {Consumption Approach)
Metode ini dihitung dengan menjumlahkan semua pengeluaran yang dilakukan berbagai golongan pembeli dalam masyarakat. Yang dihitung hanya nilai transaksi-transaksi barangjadi saja, untuk menghindari adanya perhitungan ganda.

3. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori pertumbuhan ekonomi melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi, yaitu:
a) Teori Jumlah Penduduk Optimal (Optimal Population Theory)
Teori ini telah lama dikembangkan oleh kaum Klasik. Menurut teori ini, berlakunya The Law of Diminishing Return (TLDR) menyebabkan tidak semua penduduk dapat dilibatkan dalam proses produksi. Jika dipaksakan, justru akan menurunkan tingkat output perekonomian.
b) Teori Pertumbuhan Neo Klasik {Neo Classic Growth Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Solow (1956) dan merupakan penyempurnaan teori-teori klasik sebelumnya. Fokus pembahasan teori ini adalah akumulasi stok barang modal dan keterkaitannya dengan keputusan masyarakat untuk menabung atau melakukan investasi. Asumsi penting dari model Solow antara lain:
1. Tingkat teknologi dianggap konstan (tidak ada kemajuan teknologi),
2. Tingkat depresiasi dianggap konstan,
3. Tidak ada perdagangan luar negeri atau aliran keluar masuk barang modal,
4. Tidak ada sektor pemerintah
5. Tingkat pertambahan penduduk (tenaga kerja) juga dianggap konstan,
6. Seluruh penduduk bekerja sehingga jumlah penduduk = jumlah tenaga kerja.
Dengan asumsi-asumsi tersebut, dapat dipersempit faktor-faktor penentu pertumbuhan menjadi hanya stok barang modal dan tenaga kerja. 
c) Teori Pertumbuhan Endojenus (Endogenous Growth Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Romer (1986) dan merupakan pengembangan dari teori Klasik-Neo Klasik yang kelemahannya terletak pada asumsi bahwa teknologi bersifat eksojenus. Konsekuensi asumsi ini adalah terjadinya The Law of Diminishing Return, karena teknologi dianggap sebagai faktor eksogen dan tetap. Konsekuensi yang lebih serius adalah perekonomian yang terlebih dahulu maju, dalam jangka panjang akan terkejar perekonomian yang lebih terbelakang, selama tingkat pertambahan penduduk, tingkat tabungan, dan akses terhadap teknologi adalah sama.
Teknologi merupakan barang publik. Oleh karenanya, selama perusahaan dapat menikmati dampak yang sama dari teknologi tersebut, tidak ada satu perusahaan pun yang berusaha memonopoli. Dengan demikian dalam hal ini, faktor teknologi bukanlah sebagai faktor eksogen melainkan faktor endogen.
d) Teori Schumpeter
Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuan kewirausahawanan (entrepreneurship). Sebab, para pengusahalah yang mempunyai kemampuan dan keberanian mengaplikasi penemuan-penemuan baru dalam aktivitas produksi. Langkah-langkah pengaplikasian penemuan-penemuan baru dalam dunia usaha merupakan langkah inovasi. Termasuk dalam langkah-langkah inovasi adalah penyusunan teknik-tahap produksi serta masalah organisasi-manajemen, agar produk yang dihasilkan dapat diterima pasar.
e) Teori Harrod-Domar
Teori Harrod-Domar dikembangkan secara terpisah dalam periode yang bersamaan oleh E.S. Domar dan R.F. Harrod. Keduanya melihat pentingnya investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, sebab investasi akan meningkatkan stok barang modal, yang memungkinkan peningkatan output.
1) Investasi